Beberapa hidangan masakan sudah tersedia, nasi, ikan, sambal, tahu tempe, semuanya lengkap.
“Akh ini benar-benar enak sekali, Keyri harusnya bisa merasakan makanan enak ini,” puji Eiko, matanya terpejam saat menikmati kunyahannys suap demi suap makanan ke mulutnya.
“Keyri? Siapa dia? Kamu sudah mengingat nama seseorang dimasa lalu?” Hikaru bertanya datar, namun menyelidik.
“E…e…” Eiko gugup. “Tidak… aku hanya sering makan ini sendirian, jadi aku merasa kasihan pada diriku sendiri,” dalihnya sudah mulai bisa membuat alasan sendiri.
“Kalau kamu mengingat seseorang, kasih tahu aku biar aku bantu kamu mencarinya, jangan terus-terusan disini.”
“Tapi kamu tak bisa melihatnya, hanya aku yang bisa melihat Keyri,” kata Eiko polos, “Sebenarnya dia bukan manusia,” sang gadis berkata perlahan, takut ada yang mendengarnya.
“Busyet… sejak kemarin kamu aneh banget, bicara sendiri, tidur sendiri, senyum sendiri, dan sekarang kamu mengaku bisa melihat hantu?” kata Hikaru cukup menegangkan, ia juga melihat sekitar rumahnya, apakah dia beneran ada, kepala dan matanya berkeliling rumah yang biasa saja, tidak ada perubahan sama sekali, lalu kembali memandang meja makan dan dikagetkan oleh kelakuan Eiko.
“Keerrerr…..” Eiko mengagetkan Hikaru, dengan rambut yang dikedepankan menutupi wajahnya. Hal yang dilakukan oleh Eiko cukup mengagetkan Hikaru.
“Takut ya?” tanya Eiko dengan wajah polosnya menakut-nakuti sang pemuda, memperlihatkan gigi-giginya yang rapi senang telah sukses menjahili Hikaru.
“Aiishh dasar,” dengus Hikaru. “Bicara denganmu aku jadi seperti orang bodoh.” Hikaru menyuapkan nasi dengan porsi yang cukup besar, melampiaskan kekesalan pada makanan. Begitupun dengan Eiko yang kembali menikmati satu suap dua suap masakan Hanan.
“Enak sekali…” senyumnya semakin lebar. Dan keduanya menghabiskan semua makan malam yang dihidangkan oleh Hanan.
Selepas makan malam, pemuda tampan dan pintar ini merenung, menyadari dirinya salah, ia harus mulai berdamai dan memikirkan rencana selanjutnya, apakah ia pindah sekolah atau bertahan dengan segala tekanan yang diberikan Maira.
Ia pandangi seragam tercintanya, ini adalah sekolah terbaik, sulit untuk pergi dari sana. Ditambah ia adalah siswa terbaik, walau terkadang kelakuannya yang jahil kurang disukai guru.
Ia ingat juga 10 juta yang harus dibayar karena ulah Eiko mengecat mobil Maira. Tangannya mengepal, kekesalannya sulit untuk dilampiaskan.
Ia mengambil seragam yang tergantung, melangkah keluar kamar menuju ruang belakang rumah. Ia berdiri tepat di sudut tong sampah kering.
Bruk…
Akhirnya ia memilih membuang seragam, dan mungkin itu berarti ia akan pindah sekolah. Saat hendak kembali ke kamarnya, ada suara yang sangat menarik minat telinganya.
“Eiko… enak sekali pijatanmu sayang,” terdengar suara Hanan yang begitu bahagia, “Tanganmu ternyata terampil untuk memijat Eiko, kenapa bisa seperti ini?” puji Hanan lagi.
“Enak sekali, ayo lanjutkan sayang…” pinta Hanan.
“Memangnya nenek tidak sakit aku pijat seperti ini? Aneh sekali, apa enaknya dipijat?” Eiko justru tidak percaya dengan kekuatan yang dimilikinya untuk memijat. “Oh, aku tahu, nenek harus gantian mijit aku, bagaimana?”
“Hei… kamu apa-apaan, masa kamu nyuruh orang tua memijit,” protes Hanan dengan lembut.
“Iya, Nenek, biar aku juga merasakan bagaimana enaknya dipijat,” dengan mata terbuka antusias dan senyum yang manis, mampu merayu Hanan dan mereka mulai saling memijat.
“Akh… Nenek, sakit…” Eiko malah kesakitan dipijit Hanan, badannya yang kecil, dan cenderung terlihat tulang-tulang belakangnya, menjadi masalah ia tidak dapat menikmati pijatan Hanan.
Hikaru yang mengintip di balik pintu, tersenyum melihat keakrababn Hanan dan Eiko. Ia sangat bahagia terutama melihat Hanan, jarang sekali neneknya tersenyum lepas seperti itu.
***
Keesokan paginya…
“Selamat pagi…” suara Eiko terdengar nyaring pagi ini, seperti biasa gadis polos itu selalu ceria, tanpa beban, setiap hari mereka lalui.
“Hei… Eiko… kenapa kamu pakai seragamku?” dilihatnya gadis itu tengah mengenakan seragam Hikaru yang semalam ia buang.
“Kenapa memang? Tidak boleh? Kamu sendiri yang membuangnya, jadi sekarang ini milikku, weee…” Eiko meledek Hikaru dengan menjulurkan lidahnya.
“Hei… lepaskan!” perintah Hikaru. Eiko berlari bersembunyi di belakang Hanan. “Bahkan kamu memasang dasinya saja tidak bisa,” tambah sang pemuda, memerhatikan penampilan Eiko yang jauh dari kata rapi.
“Memangnya kamu jadi mau pindah sekolah Karu?” tanya Hanan, namun tidak diindahkan oleh pemuda pintar tersebut. Hikaru malah berminat memerhatikan penampilan Eiko.
“Sini aku bantu kamu memakainya!” panggilnya, dengan sedikit niat usil.
“Benarkah?” Eiko sedikit tidak percaya.
“Benar, sini!”
Dengan polosnya Eiko mendekat kepada Hikaru, dan dengan sigap pemuda itu menarik dasi gadis polos itu sampai jarak mereka sangat dekat.
Eiko salah tingkah, jantungnya tiba-tiba memanas, apalagi ketika melihat jari-jari Hikaru mulai membuat simpul dasi perlahan. Pandangan mereka tiba-tiba beradu. Eiko semakin salah tingkah, namun tidak dengan Hikaru.
“Kena kamu!” Hikaru menjepit leher Eiko diantara lengan dan ketiaknya.
“Aw… Karu… lepaskan aku hei…” Eiko tak berdaya mendapatkan serangan mendadak dari Hikaru. “Lepas Karu, lepas…” ia memohon.
Hikaru kesenangan, semakin Eiko memohon, semakin ia bawa memutar. Sungguh jahil.
“Sudah, hentikan, kalian bukan anak kecil lagi.” Hanan menengahi dan mampu meredakan kekesalan Hikaru. “Pagi-pagi sudah rebutan baju, sudah-sudah, kita makan sekarang.”
“Jadi kamu benar-benar mau pindah sekolah?” Hanan bertanya lagi, untuk memastikan, jika Hikaru pindah, ia pun yang nanti akan terlibat dengan segala macam berkas sekolah, termasuk biaya sekolahnya nanti.
“Aku terlalu pengecut kalau terus berada di sana, sedangkan nenek banting tulang sendiri untuk membayar semua kerugian itu, aku tidak mau merepotkan nenek.”
“Syukurlah kalau begitu, kamu bisa memutuskan yang terbaik untuk dirimu sendiri.” Hanan menghela nafas, sedikit bebannya hilang, ia tidak perlu memikirkan bagaimana ganti rugi pada Maira, sekarang ia fokus saja dengan biaya sekolah Hikaru yang juga ikut turun, tidak setinggi sekolah sebelumnya.
“Kalau begitu, setelah makan kamu beli seragam, sekalian belikan pakaian juga untuk Eiko, biar dia punya baju baru dan tidak pakai baju nenek lagi.” Hanan mengambil uang dari sakunya, namun langsung direbut Eiko yang kesenangan akan mendapat pakaian baru.
“Aku juga ingin membeli seragam, yey…” senyumnya tak pernah luntur meski seberapa sering Hikaru mengusulinya.
“Nenek memang orang tua yang sangat baik,” peluk Eiko dan mencium pipi Hanan.
“Kamu lepaskan baju itu, kalau tidak, aku tidak akan membelikan pakaian baru untukmu!” ancam Hikaru.
“Kenapa sih kamu suka sekali membuang barang? Dan ini masih bagus, jadi tidak usah dibuang, untuk aku saja,” ucap Eiko sambil berputar-putar memerhatikan baju seragam Hikaru yang menempel dibadannya.
Hikaru tak menjawab lagi, ia mulai melahap sarapannya pagi ini. Setelah itu langsung menuju swalayan.
Hikaru melihat berbagai pakaian perempuan, satu persatu memperlihatkan pada Eiko.
“Apakah kamu suka yang ini?” sebuah kaos dengan lengan pendek dan berwarna kuning. Eiko menggeleng.
“Itu terlalu cerah.”
“Tapi ini cocok untuk kulitmu yang putih bersih.”
“Tidak. Pilih yang lain saja.”
Hikaru menyimpan kembali, dan memilah satu persatu pakaian yang menggantung.
“Ini?” sebuah kemeja kotak-kotak berwarna hijau dan hitam.
“Tidak, itu seperti semangka.”
“Semangka? Hei ini gambar kotak-kotak, mana semangkanya?”
“Warnanya, aku tidak suka.”
“Astaga.” Hikaru mulai kesal, padahal baru dua pakaian yang ia pilih.
“Lihat ini warna oren, pasti kamu anggap ini seperti mangga, dan ini warna ungu kamu anggap ini seperti anggur.” Lalu ia menyimpannya lagi. “Sudah, sebaiknya kita tidak jadi beli pakaian baru. Bodo amat kamu punya baju atau enggak. Pilih baju aja ribet banget.”
Hikaru melenggang keluar, ia malas memilih pakain untuk perempuan, terlalu pemilih dan sulit. Ia memfokuskan diri membeli seragam sekolah saja.
Ia menanyakan beberapa ukuran untuk seragam SMA dan mencobanya di ruang ganti.
“Nah itu pas Mas, tambah ganteng kalau pakai seragam,” puji pedagang, melihat penampilan Hikaru yang berbeda jika dibandingkan dengan memakai kaos biasa.
“Bener, kamu super ganteng sekarang…” komentar Eiko sambil membolak-balik badan Hikaru, memperhatikan setiap inci penampilan seragam barunya ke depan dan kebelakang.
“Hei… mundur sedikit,” sambil menggigit gigi, Hikaru sungguh risih dengan apa yang dilakukan Eiko.
“Tuh mas, pacarnya aja bilang ganteng, imut banget kamu mbak,” puji pedagang tersebut pada Eiko.
“Dia bukan pacarku.” Hikaru menendang pernyataan pedagang dengan nada datar.
“Sudah, lepaskan tanganku, ikh,” sang pemuda berusaha menepis tangan Eiko.
“Beliin aku yang itu.” Eiko menunjuk satu stel seragam yang sama dengan Hikaru. Bedanya yang dia pilih tentu saja untuk perempuan.
“Kamu boleh mencoba dulu, itu desain terbaru kami, pasti akan cocok sekali dengan kamu!” pedagang seragam itu dengan segera mengambilkan seragam yang dimaksud.
“Memangnya seragam SMA ada desain-desainnya, bukannya semua sama, putih abu-abu?” Hikaru heran dengan cara pedagang itu menawarkan supaya menarik.
“Tentu saja ada,” penjual hendak menjelaskan, namun sebelum itu ia memberikan satu setel seragam, dengan atasan putih dan rok abu-abu juga dengan dasi yang sudah menempel rapi pada kerah.
“Desain pada seragam ini bedanya adalah, dasi yang langsung menempel di seragam, sehingga mbaknya tidak perlu membuat pita dasi karena tinggal mengancingkannya saja. Juga berbeda lagi pada desain rok. Ini adalah perpaduan antara rok span dan rempel. Pada pinggir rok ini di buat seperti span, lalu bagian depan dan belakang atau tengah dengan tampilan rempel, ini adalah trend baru yang kami ciptakan,” jelas penjual pakaian panjang lebar.
Hikaru hanya mengangguk saja, tidak paham dengan model seragam apapun, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana ia bisa bersekolah dengan baik.
Eiko cukup lama berada di bilik ganti pakaian, sampai jenuh Hikaru menunggunya.
“Hei… kenapa kamu lama sekali?” Hikaru mengetuk pintu.
“Iya, sebentar.” Eiko akhirnya keluar dengan penampilan berbeda.
Rambut di urai tanpa bando, di lehernya terikat pita dasi yang telah rapi bertengger, dan rok selutut sangat cocok dengan Eiko.
Tring… Eiko mengedipkan sebelah matanya, mengibaskan rambut, membuat Hikaru cukup terpana melihatnya.
“Ayo Karu, aku mau beli yang ini,” Eiko menggandeng lengan Hikaru menuju kasir.
“Kita ‘kan hanya mencoba, jadi ayo kita pergi,” tolak Hikaru, menyeret Eiko menuju pintu keluar.
“Ayo… Karu, belikan aku ini!” Eiko bergelayut manja.
“Buat Apa kamu membeli seragam sekolah, kamu kan tidak sekolah.”
Eiko melepaskan tangan Hikaru kasar.
“Memangnya yang memakai seragam hanya yang bersekolah saja?” bentak Eiko.
“Dasar kuper. Ya iya, seragam hanya untuk yang bersekolah!” tegas Hikaru.
“Kalau begitu aku akan ke sekolah, itu cukup ‘kan?” ucap Eiko dengan nada manja dan mata kembali mengedip.
“Benar-benar gila,” pemuda itu menggelengkan kepalanya menyerah.