Bahagia Denganmu

1358 Words
Bilal, Andramawan dan Kireina sedang merayakan ulang tahun Bilal disatu tempat makan. Ini adalah kegiatan langka di keluarga tersebut. Selain Bilal yang tidak menyukai Kireina sebagai ibu sambung, namun juga karena ayahnya yang sibuk jadi sulit sekali mengatur pertemuan di luar seperti hari ini. Kue ulang tahun minimalis telah tersaji, “Karena ayah merasa besok tidak bisa keluar, jadi tidak apa-apa ya perayaannya hari ini,” ucap Andramawan meminta maaf, ternyata ini bukan hari ulang tahun sebenarnya. “Selamat ulang tahun Bilal,” ucap sang ayah bersamaan dengan Kireina. “Tidak apa-apa, lagian besok juga aku tidak bisa karena akan bertemu dengan mama,” skakmat. Kedua orang tua itu terdiam kala Bilal menyebutkan tentang ibu kandungnya. “Kadomu juga tadinya mau Ibu ambil, hanya saja takut kamu tidak suka, jadi Ibu datang ke sini terlebih dulu.” Kireina mengalihkan pembicaraan. “Tentu tidak apa-apa,” bela sang suami, “Nanti kita pilih bersama mana yang kamu suka Bilal, kamu tahu ‘kan Bu kalau anak kita ini sangat pemilih, jadi biarkan saja dia memilih sendiri hadiahnya.” Bilal sudah tidak berminat mendengarkan suara ayah dan ibunya. Ia memalingkan muka ke luar, melihat jalanan yang cukup ramai di akhir pekan. Seorang perempuan dengan seragam yang sama dengan seragam sekolahnya berdiri bercermin tepat di depan Bilal, namun perempuan tersebut tidak akan bisa melihat siapa orang di dalamnya, karena kaca tersebut satu arah. “Apakah dia temanmu? Seragamnya sama denganmu?” komentar Andra. Kireina memalingkan wajah, ia tidak ingin diketahui memiliki hubungan keluarga dengan Bilal. Kireina adalah seorang guru, dan mengajar di sekolah dimana Bilal, anak sambungnya pun belajar. Namun keduanya saling merahasiakan hubungan keduanya. Bilal yang tidak menyukai Kireina adalah salah satu alasan mengapa keduanya merahasiakan hubungan kekeluargaannya. “Maaf, seharusnya jangan di sini, dan aku mencari tempat lain yang lebih tertutup,” ucap Andra merasa bersalah. “Aku tidak memikirkan akan banyak murid disini, apakah kamu merasa tidak nyaman sayang?” tanyanya penuh perhatian dengan pandangan yang begitu hangat. “Aku yang merasa tidak nyaman,” Bilal menyela, “Kalau ada orang yang tahu aku makan dengan guru,” tambahnya sambil membuang napas, “Kadonya biar aku saja yang memilih dan kalian tinggal membayarnya saja. Sekarang aku pergi dulu, kalau teman-temanku tahu maka akan menjadi masalah.” Bilal berdiri, meninggalkan kedua orang tuanya dan meninggalkan kue ulang tahun yang sama sekali belum ia sentuh. “Itu anak, dasar tidak sopan.” Kireina menenangkan suaminya dengan menyentuh tangan. “Biarkan saja, kamu bayar tagihan makannya, kita ikuti kemana Bilal pergi.” Andra hanya mengangguk setuju, apalagi yang akan ia lakukan, hari ini memang khusus diagendakan untuk Bilal. “Bilal… tunggu.” Kireina sudah berada di luar café, menyusul anak sambungnya yang dingin dan tidak peduli. “Kita jalan bersama-sama, tidak akan ada masalah jika kita hanya jalan bareng, toh gak ada sesuatu apapun yang harus dirahasiakan.” “Ish…” Bilal bernafas kasar. Sebenarnya tidak ingin jalan bersama dengan ibu sambungnya tersebut. “Tidak. Ini harus benar-benar dirahasiakan,” tolak pemuda dingin itu. Bilal belum selesai bicara, tiba-tiba seorang laki-laki dengan penampilan preman mengambil tas kireina yang menggantung di bahunya. Bilal hanya berdiri bingung, membiarkan sang penjambret pergi membawa tas miliki Kireina. Andra datang dengan sigap mempertanyakan dan melihat situasi, terlebih sang istri juga terjatuh karena tabrakan si preman cukup keras. “Ada apa?” tanyanya secara refleks. “Tas aku, tasku ada yang mengambil,” Kireina menunjuk orang yang tengah berlari membawa tas nya. Begitupun dengan Andra sigap berlari mengejar si penjambret. “Bilal, kau jaga ibumu dulu,” titah sang ayah sambil berlari. Meski itu adalah hari libur yang ramai, namun tidak banyak yang mau menolong Kireina menghentikan pencuri itu. Ia terus berlari menjauh dari sang pemilik tas dan melewati Eiko dan Hikaru yang tengah berjalan santai. “Hei… pencuri…” teriak Andra dari belakang mereka. “Pencuri?” refleks Eiko berlari mengejar pencuri tersebut. “Hei… kamu tak perlu mengejarnya. Itu berbahaya,” cegah Hikaru, namun terlambat, Eiko telah melesat pergi ke depan. Tak ayal, itu berarti Hikaru pun harus ikut mengejar Eiko. Adegan ini menjadi ajang kerja-kerajan antara pencuri, Eiko dan Andramawan. “Akh… aku juga harus mengejarnya.” Hikaru tidak bisa membiarkan Eiko pergi, ia ikut mengejar, dibelakangnya Andra lari semakin kencang. Akhirnya si pencuri tersudut, Hikaru berhasil mengejar Eiko, dan Andra masih tertinggal dibelakang. Dengan penuh tenaga, Hikaru bertarung dengan pencuri. Pencuri tersebut memegang sebuah balok kayu, sedangkan Hikaru dengan tangan kosong. Eiko yang penuh kekhawatiran menggunakan tenaganya untuk melepaskan balok kayu di tangan pencuri. Tak ayal, balok tersebut terbang. Hikaru bertarung satu lawan satu. Tak ingin kalah dengan ayahnya, Bilal ikut lari meninggalkan sang ibu yang masih duduk tersungkur akibat ditabrak pencuri. Hikaru masih bertarung, belum ada yang mengalah, beberapa kali Hikaru menendang perut pencuri, sampai akhirnya sang pencuri tercengkram, tengkurap di tanah. Tak lama Andra datang, dan memasangkan borgol. Eiko masih berdiri di sana merasakan matanya berputar, badannya panas dan melemah sedikit demi sedikit ia pun menyusul tumbang bersamaan dengan pencuri. Namun beruntung, Bilal langsung menangkap Eiko yang pingsan. “Cowok payung…” lirihnya masih bisa melihat Bilal, sebelum akhirnya ia benar-benar pingsan. Hikaru telah selesai dengan pencuri, dan langsung mendekati Eiko di pangkuan Bilal dengan panik. “Eiko… bangun, kamu tidak apa-apa?” sambil menepuk-nepuk pipinya tipis. Matanya terpejam, tapi bisa mendengar. “Aku sangat lelah…” lirihnya. “Makasih udah jagain, biar aku gendong saja,” ucap Hikaru pada Bilal yang masih memangku Eiko. Bilal hanya mengangguk, dan membiarkan perempuan imut itu dengan Hikaru. Andra dan Kireina sudah menunggu, keadaan baik-baik saja, tas yang diambil pencuri Bilal kembalikan pada ibu sambungnya. Dengan sigap ia memeriksa barang-barang yang ada di dalamnya. Ada satu benda yang ia sangat jaga baik-baik, dan jangan sampai hilang, dan benda itu ada. “Apakah ada yang hilang?” tanya Andra. “Semuanya masih lengkap, terimakasih kamu telah menyelamatkan tas ibu.” Sambil menggeleng ia menjawab. “Bukan…” belum selesai bicara ia langsung dipotong oleh Andra. “Keberanianmu harus diacungi jempol Bil, sama seperti aku, ayahnya,” tambah Andra. Padahal tidak seperti itu kejadiannya. Namun apa mau di kata, Bilal pun setuju dengan kebohongan yang dilakukan oleh Andra. Ia tidak berkomentar apa-apa. Sementar itu, Hikaru menggendong Eiko yang kehilangan tenaganya. Gadis polos itu begitu lelap tidur di punggung sang pemuda. Padahal hari sedang terik-teriknya. Beruntung, badan Eiko yang ramping tidak terlalu memberatkan Hikaru untuk menggendong sampai rumah. “Apakah dimanapun kamu bisa tidur?” tanya pemuda yang berwajah tampan itu, padahal Eiko tertidur lelap, mana mungkin pertanyaannya dijawab. “Kemampuanmu yang satu ini membuat orang lain khawatir tahu tidak, bagaimana kalau nanti kamu sedang sendiri dan tertidur di halte? Bisa-bisa kamu diculik dan tidak kembali lagi.” Hikaru terus mengoceh. “Udah tahu berbahaya, kenapa kamu malah mengejarnya, ini malah sok jago dan berani mengejar, ekh sekarang jadi lemah seperti ini,” selorohnya lagi. “Yang aku tahu, kalau ada sebuah ketidakadilan itu dihindari, dan itu yang dilakukan kebanyakan orang, kamu sok jagoan.” “Kamu memang berbeda dengan orang-orang yang aku kenal, dan mungkin kamu juga harus tahu, dari kebanyakan orang yang kamu kenal, aku adalah orang yang paling brengsek.” “Setiap hari aku menyuruhmu pergi, membuang barang-barangmu,” ia menjeda, menaikan posisi Eiko yang sedikit demi sedikit turun ke bawah. “Makanya kamu jangan tinggalin aku, kalau kamu menyuruh aku pergi, aku tidak punya tempat tujuan lagi,” rupanya Eiko sejak tadi sudah bangun dan mendengarkan semua ucapan pemuda tampan itu. “Hei… kamu sudah bangun? Ayo turun! Jangan sampai iler kamu jatuh di baju aku! Turun!” Hikaru menurunkan Eiko sedikit keras. “Kepala ku pusing Karu! Langit terasa berputar, langit terasa bergoyang, aku tidak kuat,” keluhnya, “Ayo gendong aku lagi…” dengan suara lembut dan manja ia merayu. “Aih… menyebalkan.” Hikaru kembali membungkuk, dan gadis itu langsung memeluk dari belakang, kembali digendong pemuda jagoan itu. “Makanya jangan banyak makan, kamu berat tahu,” keluh Hikaru berbasa-basi, padahal ia cukup kuat untuk membawanya. Eiko sangat menikmati posisi gendongan di punggung Hikaru, sampai tersenyum mendengar semua yang dikeluhkan penyelamatnya itu. “Menjadi manusia dan bertemu pertama kalinya denganmu adalah sesuatu yang sangat aku syukuri,” lirihnya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD