Sebatas Mimpi

1456 Words
“ Serius harus pulang hari ini juga?" Lelaki yang baru saja bangun tidur menatap Dimas diambang pintu, bersiap –siap untuk pulang dikediaman orang tua. “ Mau bagaimana lagi, aku harus bicara pada Ayah dan Ibu. Mereka yang lebih mengerti, aku tidak bisa menyelesaikan sendiri.” Ia mengikat tali sepatu, sekilas melirik lelaki yang berdiri didekatnya. Aydan mengangguk, mengerti maksud ucapan Dimas." Ada uang?" " Masih, tabungan bulan lalu cukup untuk ongkos." " Simpan saja uang tabunganmu, Mas." Aydan masuk ke kamar. Tak lama lelaki itu kembali, mengulurkan beberapa lembar kertas berwarna merah bernilai rupiah. " Kamu pakai saja uang ini, tabungan itu jaga – jaga kalau nanti jadi lamaran.” Kata Aydan, meletakkan uang ke saku jaket Dimas. “ Eh, janganlah, Dan. Tidak enak pula aku.” Ia berusaha menolak namun Aydan bersikukuh agar diterima. “ Janganlah pula kau pikirkan dalam - dalam, bisa jatuh sakit nanti. Kau akan menikah." Dimas menatap Aydan yang berdiri di hadapan." Terima kasih banyak, Dan." " Kita susah – senang bersama, dari masa kuliah, kau juga tidak pernah pikir – pikir kalau mau bantu aku dan Bang Faqih. Yang terpenting urusan kamu selesai, segera menemukan jawaban terbaik untuk jodohan pilihan Bu Yasmin." Jawabnya menyemangati. Dimas memeluk tubuh sahabatnya, menepuk bahu Aydan penuh haru. Walaupun mereka berbeda suku, tidak ada batasan untuk berbuat kebaikan. " Aku pamit, Assalamualaikum." Dimas mengenakan helm, lalu naik ke atas motor.” Salam ke Bang Faqih, mohon doanya.” Aydan tertawa kecil, manggut – mangut." Waalaikumussalam, hati-hati, kabari kalau sudah sampai di rumah." Dimas mengacungkan jempol, Motor pun melaju, meninggalkan kontrakan yang mereka tempati. Tempat tinggal sejak masih kuliah, selain harga yang ekonomis, ia juga sudah malas diribetkan dengan barang – barang bawaan ketika akan pindah. Namun jika nanti benar - benar menikah, mau tidak mau ia harus keluar, meninggalkan Aydan dan Faqih sebab ia sudah memiliki istri, Adelia Pertiwi mana mungkin tinggal bersama dua orang temannya, bisa menjadi bahaya besar. IM SORRY HUSBAND Rumah panggung sederhana menjadi tempat Dimas berhenti, dua Adiknya terlihat sedang berada di halaman rumah. Sibuk membersihkan rumput – rumput liar, sedangkan yang paling kecil tampak asik dengan susunan bunga yang begitu indah. “ Assalamualaikum.” Sapa Dimas tersenyum, mengejutkan adik bungsunya yang sedang sibuk.” Rajin banget pada bersih – bersih.” “ Eh, Mas Dimas.” Ia berteriak kegirangan, memeluk kakak lelaki satu – satunya yang sudah lama menetap di kota. Dimas kembali tertawa, memeluk adik kecilnya itu.” Kangen nggak sama Mas Dimas?” “ Kangen banget, Mas pulang kok tidak memberi kabar ke Ibu dulu.” Sarah, adik Dimas yang berusia delapan tahun. Sudah duduk di kelas 5 SD, memang terbiasa dekat dan akrab dengan kakak lelakinya. “ Mau memberi kejutan untuk kamu dan keluarga, kalau Mas ngabarin Ibu, pasti yang ditunggu oleh – olehnya bukan kedatangan Mas, kan?” Ia mengusap puncak kepala Sarah, lalu tatapannya beralih pada perempuan yang usianya hanya selisih satu tahun dengannya. Virra Azzakia, adik angkat Dimas yang sudah lama ikut bersama keluarga, senyuman manis sebagai penyambut kedatangan Dimas. “ Apa kabar Mas?” tanyanya mengatup dua tangan, ia sudah tidak berani berjabat tangan karena batasan mahram. Dimas mengangguk.” Sehat, Alhamdulillah. Kamu bagaimana?” “ Seperti yang Mas lihat, Ibu dan Ayah masih di sawah. Kalau aku yang buatkan minum, tidak apa – apa?” Tawarnya pada Dimas. “ Tidak masalah Vir, kalau kamu merasa tidak direpotkan.” Dimas tertawa kecil. Virra menggulum senyum, kerudung lebarnya terbang ke kanan – kiri dihembus angin sore. “ Sarah ajak mas Dimas masuk ya, Mbak buat minum dulu.” Katanya pada si kecil. “ Oke mbak, ayo Mas.” Ia menggandeng tangan Dimas menuju rumah.” Mbak Virra makin cantik kan? Mas hati – hati lho, nanti suka ke Mbak Virra.” “ Suka gimana?” “ Ya jatuh cinta, katanya Fall in Love gitu.” “ Ih, kamu masih kecil Sarah. Nggak boleh ngomong begitu, belajar yang bener biar seperti Mas nih.” Ia menunjukkan diri begitu bangga.” Sudah jadi Guru.” Sarah mengerucutkan bibir.” Mas nggak mau ngajarin aku kok.” “ Yah, kan Mas udah kerja di kota. Kamu bisa belajar dengan Mbak Virra. Mas kan enggak mungkin ninggalin kerjaan, yang terpenting uang jajan kamu tiap bulan nggak pernah telat.” Ia mencubit hidung bangir sang adik, tertawa puas berhasil mengusili satu – satunya saudara kandung dari orangtuanya. Tidak ada yang berubah, setahun hanya dua kali Dimas kembali ke rumah ini. Hanya cat rumah yang diganti, isinya tetap sama. Ia menghirup udara begitu dalam, menikmati suasana yang sering dirindukan ketika di kota. Tangannya direntang, sudah berdiri di jendela sembari menatap hamparan sawah luas milik orangtuanya. Hidup di desa jauh berbeda dengan kehidupan di kota, di mana mata pencahariannya adalah bertani. Namun Dimas tidak pernah malu jika disebut anak desa. Masa kecilnya indah, bersama teman – teman mainnya ia sering menghabiskan waktu di sawah. Walau sekarang sudah terpisah, tetap saja kenangan itu akan menjadi cerita. “ Mas, minum.” Suara Virra menyadarkan aktifitas Dimas yang menikmati pemandangan diluar. Lelaki itu membalikkan tubuh, mata mereka saling bertemu.” Terima kasih banyak Vir.” Ia kembali duduk di kursi. Sarah sudah pamit untuk mandi. “ Mendadak sekali pulang ke rumah tanpa kabar, apa ada sesuatu yang terjadi di sana mas?” Virra duduk di sebelah Dimas. “ Ya begitulah, ada yang mesti Mas diskusikan ke Ayah dan Ibu.” Dimas meneguk perlahan teh hangat yang disuguhkan Virra. “ Mas, mau menikah ya?” Entah mengapa Virra langsung menebak kearah sana. Dimas menoleh ke sebelah, kaget mendengar pertanyaan Virra.” Kok kamu bisa tepat gitu sih nebak kepulangan Mas ke rumah?” Kekehnya, meletakkan piring alas minuman keatas meja. Virra tersenyum kecil,” mudah untuk ditebak.” “ Masa?” Dimas tidak percaya, mengambil kaca yang terpajang ditepi lemari dan memperhatikan setiap inci demi inci gestur wajahnya.” Yang ada banyak jerawatnya kali, Vir.” Lagi – lagi tawa Virra menghias bibir, menghela napas cukup dalam.” Kemarin aku mimpi, di rumah ini akan ada walimah. Itu sih, yang buat aku langsung nebak ke pernikahan.” “ Kalau Ayah dan Ibu mengizinkan Mas untuk menikah, soalnya ini benar – benar tidak pernah terlintas dipikiran, bahkan belum memikirkan." “ Kok bisa?” Virra menatap Dimas, penasaran.” Kekasih mas yang lalu itu? Mbak Selvi kan?” “ Oh, bukan. Selvi itu hanya teman kuliah. Mas belum pernah punya kekasih." “ Lalu?" “ Jika berjodoh, calon istri Mas anak pemilik Yayasan ditempat kerja, dijodohin sih lebih tepatnya.” Dimas menatap kikuk kearah Virra.” Kira – kira Ayah dan Ibu bakal memberi restu tidak Vir?" Virra membenarkan kerudungnya, mengalihkan tatapan Dimas yang menanti jawaban. Dadanya terasa sesak, kabar yang dibawa Dimas sangat menyayat hati. Memupuskan harapan yang sudah lama terpendam. “ Kenapa diam? Pertanyaan Mas sulit ya? Tuh, kamu saja mikir keras, bagaimana nanti Ayah dan Ibu.” Dimas mengusap wajah, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “ Mas, sudah siap menikah?” Virra memberi pertanyaan. “ Sudah Vir, Insya Allah. Bahkan Mas sampai istikharah meminta jawaban dari lamaran ini.” Sahutnya, mata Dimas terpejam, memikirkan bagaimana caranya menyampaikan maksud kepulangannya hari ini. “ Kalau Mas sudah siap mental dan materi, aku yakin Allah memberi kemudahan.” Ucapnya menenangkan kekhawatiran Dimas.” Selama niat menikahnya baik, Ayah dan Ibu akan memberi restu." “ Termasuk kamu?” Dimas mencandai Virra, tertawa padanya. “ Mungkin,” ujarnya membalas ucapan Dimas, tawanya terdengar hambar.” Lagipula, untuk apa Mas minta restu padaku." “ Loh, kamu kan Adik Mas. Namanya menikah, istri Mas akan jadi kakak ipar kamu. Kalau kalian nggak bisa akur, bagaimana?” “ Memangnya kami Kucing dan Tikus, aku percaya sama pilihan Mas. Lelaki baik seperti mas Dimas pasti jodohnya perempuan baik – baik juga.” “ Aamiin Vir, bagaimana dengan kamu sendiri? Sudah ada calon pendamping hidup?” “ Sudah, lagi merasakan cinta malah, tapi tidak mungkin bisa aku miliki.” Ia mengerucutkan bibir, “ bagaikan minyak dan air.” “ Wah, lelaki mana ini yang beruntung dicintai Virra? Ngomong ke Mas, mana tahu bisa dibantu buat taaruf.” Dimas terlihat begitu semangat. “ Kamu Mas, lelakinya. Semua yang kamu katakan itu hanya sebatas mimpi, yang nggak akan bisa kamu lakukan sendiri. Kamu pasti akan menolak, bahkan mungkin menjauh kalau tahu kenyataan yang sebenarnya, isi hatiku berlabuh pada siapa.” Batinnya sendu, diam – diam menatap wajah Dimas yang masih tertawa manis. " Kok jadi sedih?" Tanya Dimas khawatir. Virrra menggeleng." Biarlah, aku saja yang mencintai dia Mas, lelaki itu sepertinya memiliki pandangan yang berbeda dari aku." " Ya sudah, kalau memang itu mau mu. Percaya lah Vir, jodoh itu tidak akan bisa tertukar, kalau sudah menjadi takdir." Kata Dimas menenangkan, namun tetap saja, isi hati Virra sudah hacur - lebur. TBC Happy reading. Best Regard. Ratniey
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD