Sebuah Jawaban

1801 Words
. _ Satu nama, panjang ketika memintanya pada sang maha cinta_ " Virra di mana Bu?" Dimas duduk disebelah Ratih, membantu kegiatan ibunya di dapur. " Pamit shalat Asar, tidak biasanya menanyakan Adikmu itu. " Ratih menatap anak lelakinya disebelah. " Bukan apa - apa, aku lihat matanya sembab, apa sedang sakit?" “ Ibuk malah tidak perasan apa – apa. Kemarin masih sehat wal – afiat kok. mungkin siklus bulanan itu.” Jawab Ratih. Dimas manggut – manggut, jemarinya sibuk mengupas kentang.” Buk, aku nikah ya.” Ujarnya pelan, berusaha membuka obrolan tujuannya pulang ke rumah. “ Mau nikahin siapa? Selvi ya? ” Mata Ratih terlihat bahagia, perempuan yang sudah tidak memiliki hubungan apa pun namun masih tetap menjadi pembahasan Ayah dan Ibu Dimas. “ Bukan Bu, Selvi sudah tidak sama aku lagi kok.” Dimas menggeleng. “ Kamu sih, perempuan sebaik dan se - shalihah seperti Selvi digantungin. Ibu dan Ayah setuju sekali kalau kamu menikahi dia, beberapakali datang ke rumah, dia anak yang baik.” “ Karena dia baik, makanya bukan aku jodohnya Bu.” Dimas membersihkan tangannya yang kotor.“ Lagipula, aku belum ada persiapan apa – apa waktu Selvi minta dinikahi.” Ratih tersenyum kecil.” Lalu siapa perempuannya, Virra?” Bibir Dimas mengerucut.” Ibuk ini, kenapa jadi Virra. Dia kan Adik aku, sudah tinggal di rumah kita lama sekali.” “ Ya mana tahu, Virra itu tidak kalah shalihahnya seperti Selvi kok, Dim.” Ratih membanggakan,” nyari istri harus dilihat agamanya, bibit – bobotnya. Menjadi suami itu tanggungjawab seumur hidup, tugasnya berat.” Dimas tercenung, apa yang diucapkan Ibunya banyak benarnya. Bahkan mengenai Adelia Pertiwi saja ia tidak tahu, bagaimana bisa langsung meminta restu pada orangtuanya di desa. Namun, Dimas percaya saja. Ibu Yasmin, pemilik yayasan itu berhati lemah – lembut. Anaknya tidak mungkin jauh dari sifat Ibunya, kesimpulan yang selalu Dimas ambil ketika melangkah serius untuk menerima lamaran kemarin. “ Siapa perempuannya, Dim?” tanya Ratih, menyadarkan lamunan Dimas disebelah. Lelaki itu berdehem.” Adelia Pertiwi bu, anak pemilik Yayasan tempat aku mengajar.” Kini bergantian, Ratih yang terdiam lama. Memastikan indera pendengarannya tidak bermasalah, ucapan Dimas tadi bukan sekarang dengingan semata. “ Ibuk..” Dimas menyentuh lengan Ratih,” kok malah melamun?” “ Sudah berapa lama mengenal Adelia?” Manik mata Ratih menatap tajam anaknya. “ Belum lama, kenal juga karena Ibu Yasmin langsung yang menginginkan aku untuk menjadi menantunya, buk. Beberapa hari lalu aku dilamar dan Bu Yasmin menyiratkan harapan besar kalau aku tidak menolak.” “ Kamu menyukai Adelia?” Dimas berpikir, bingung juga. Ia belum bertemu Adelia, masih melalui perantara Ummi perempuan itu. “ Belum pernah bertemu Bu, dia sibuk kuliah dan kami memang belum ada dipertemukan.” Jawab Dimas. “ Mengapa kamu yakin menerima Adelia sebagai seorang istri?” “ Ibuk, jangan berpikiran buruk dulu tentang aku.” Dimas mengerti arah pembicaraan Ratih.” Aku lelaki, aku sanggup bekerja untuk masa depan kami nanti. Kalau saat ini aku menerima lamaran dan Allah memberikan jawaban, itu bukan suatu kesalahan Bu. Aku juga bukan asal terima dia, aku minta dia sama Allah dulu baru balik ke rumah ini.” “ Kamu belum mencintai dia Mas, begitu juga dengan Adelia. Apa bisa dia menerima kamu sebagai seorang suami, keluarga kita yang sederhana. Kamu harus pikir panjang, jangan terburu – buru menerima pinangan. Apa karena Adelia anak kota, cantik dan berasal dari keluarga terpandang. Itu bukan landasan pernikahan, kamu nyari yang sempurna secara materi dan fisik, nggak akan menemukan kebahagiaan.” “ Ibuk..” Kata Dimas, menarik napas panjang.” Aku tidak serendah itu, aku masih memiliki harga diri. Jika Adelia memang sudah menjadi jodoh, aku kan tidak bisa menolak. Aku belum pernah bertemu Adelia, melihat wajahnya saja juga belum. Namun ketika mendengar namanya, hatiku bergetar. Berbeda ketika aku bertemu Selvi, seperti teman kuliah dan Virra hanya sebatas Adik. Tidak bisa aku paksakan, Selvi juga berasal dari keluarga berada dan cantik. Virra lagi, baiknya Masyaallah di keluarga ini. Tapi Allah tidak hadirkan cinta di hatiku. Aku tidak bisa memaksakan karena Allah yang meletakkan rasa ini kepada siapa nantinya.” Ungkap Dimas bijaksana, menjawab tuduhan Ratih padanya. Perempuan yang berdiri dibelakang pintu dapur, terdiam sembari mendengarkan perbincangan ibu dan anak. Ia mengukir senyum tipis, berusaha baik – baik saja dengan perasaan dan keadaannya saat ini mengenai Dimas. I'M SORRY HUSBAND lelaki paruh baya berkaca mata memperhatikan wajah Dimas secara seksama, meyakinkan bahwa ucapan yang di dengarnya bukan sekedar bualan. Di ruang tamu hanya ada Ratih, Dimas dan Abdi.Mereka tengah membicarakan masalah serius mengenai lamaran dari keluarga Adelia. “ Kamu sudah siap menikah?” Abdi bertanya pada anak lelakinya yang sudah dewasa. " Insya Allah Yah, aku siap menjadi suami dan memikul tanggung jawab dari pernikahan." Dimas mengangguk mantap. “ Kalau kamu sudah siap, Ayah dan Ibukmu kembalikan pada pilihan kamu sendiri. Adelia atau bukan orangnya, terserah padamu, tapi ingat Dim. Pernikahan itu buat jangka panjang, urusannya hingga akhirat.” Abdi mengingatkan. “ Iya, Yah.” Dimas kembali mengangguk.” Aku minta doa restu dari Ayah dan Ibu, ketika nanti mendampingi Adelia, mendoakan pernikahan aku sakinah – mawaddah – warahmah.” " Dimas, kamu pun sudah dewasa dan Ibuk akan selalu merestui pilihan hidup kamu. Tidak pun Selvi, asal dia baik sebagai istri kita akan mendoakan yang baik." Ratih merangkul Anaknya penuh kasih sayang." Katanya Virra juga sudah siap untuk menikah, kalau kamu belum menikah mana mungkin dia ingin melangkahi kamu kan, nggak enak." " Virra akan menikah dengan siapa Buk?" Dimas menatap Ratih, wajahnya ikut bahagia. " Pernah cerita ke Ibuk, ingin memiliki hubungan yang serius dengan orang terdekat tapi belum berani menyampaikan langsung, mungkin tidak enak hati dengan kamu, kalau ternyata bakal naik pelaminan lebih dulu." Jawab Ratih. “ Dimas, kamu kabari dulu bu Yasmin mengenai lamarannya akan seperti apa. Mereka kan sifatnya hanya penjajakan, kita dari pihak lelaki yang akan melamar Adelia. Sekalian untuk persiapan pernikahan kamu. Biar keluarga kita bisa siapkan jauh hari, kapan bisa datang ke rumah mereka. Ayah dan Ibu pun harus rembukan, kita tidak ada tabungan lagi, sudah habis untuk modal sawah." " Lalu bagaimana Yah?" " Mungkin kebun di Utara akan Ayah jual, untuk biaya pernikahan kamu dengan Adelia." " Itu sudah menjadi urusan Ayah dan Ibuk, kamu kabari keluarga Adelia. Bahwa kita akan melamar." Ujar Ratih pada sang anak. Dimas menurut, masuk ke kamar untuk mengabari pihak Adelia.” Baik, Buk.” Abdi dan Ratih hanya menatap langkah anaknya yang menjauh, belum berani buka suara hingga tidak lagi terlihat dipelupuk mata. " Ayah kok keberatan ya Bu, Dimas itu menikahi anak orang berada.” Ujar Abdi mengeluarkan unek - unek di kepala. " Apa yang memberatkan Yah?" Ratih mengulurkan segelas kopi, asapnya masih mengepul. " Kurang merasa yakin saja,” Abdi menerawang.” Dimas itu akan kesulitan menyaingi kehidupan Adelia, dari latarbelakang saja sudah berbeda. Bagaimana nanti dia bisa membimbing istrinya, apa dia yakin mau menikahi Adelia?” “ Kalau saja Dimas bisa menerima, kita juga harus bisa Yah, sebagai orang tua.” Ratih memberi pikiran positif akan pandangan suaminya.” Lagi pula, kalau Ibu Yasmin yang minta langsung pada Dimas dengan cara mulia, pasti anaknya juga tidak kalah mulia. Buktinya Dimas, Ayahnya saja pekerja keras. Apa yang ayah miliki, diwarisi ke dia kan?” Abdi tertawa kecil.” Kita belum pernah bertemu dengan calon besan dan menantu, bagaimana mungkin bisa menilai mereka akan menerima kita." " Ayah, tidak baik menilai buruk orang lain. Mereka calon keluarga kita juga, menjadi keluarga besar. Bu Yasmin tidak mungkin melamar Dimas tanpa mencari tahu seluk - beluknya. Penilaian dia Insya Allah sepadan dengan penilaian kita sebagai orang tua Dimas." " Padahal Ayah berharap Dimas bisa menikahi Virra atau tidak ya Selvi. Mereka sudah kita kenal." Kata Abdi serius, benar – benar ikhlas. " Ayah,Virra itu kan Adiknya Dimas." Suara Ratih mengingatkan.” Tidak baik juga memaksakan perasaan Dimas, kalau nanti malah tidak bahagia, akan berakhir buruk dengan pernikahannya. Dia sudah dewasa, biarkan saja memiih jalan hidupnya sesuai keinginan. Dia anaknya yang manut, tidak banyak tingkah. Insya Allah jodohnya pun perempuan baik, kita sebagai orang tua hanya bisa mendoakan untuk anak –anak.” " Tapi Virra itu bukan saudara kandungnya Dimas Bu, cocok sekali menjadi menantu di rumah dan istri bagi Dimas. Anaknya sabar, tutur katanya lemah – lembut. Sopan ke orang tua." " Sudah Yah, Adelia bakal jadi menantu kita. Kalau sampai Virra dan Dimas mendengar ucapan Ayah tadi, mereka pasti akan salah paham dan hubungan mereka bakal tidak baik sebagai saudara." Abdi bangun dari kursi bambu, pamit menuju kamar untuk mengistirahatkan tubuh. " Virra." panggil Dimas pada gadis yang menguping perbincangan kedua orang tuanya. “ Iya..” Lirihnya, menoleh kebelakang, Dimas berdiri sangat dekat.” Ada apa?” “ Kamu mendengar perbincangan Ayah dan Ibu?” Virra mengangguk. “ Jangan diambil hati, Ayah dan Ibu memang suka berlebihan jika menyukai seseorang.” Ucap Dimas, sebab pembahasan orang tuanya terlalu melenceng jauh. Virra mengulum senyum, mengangkat kepalanya agar tidak menunduk.” Aku tidak terbebani dengan omongan Ayah. Apa yang Ayah katakan, ada baiknya juga." Wajahnya tampak habis menangis. " Kamu menangis?" Tanya Dimas kaget. Virra menggeleng.” Tidak." " Kalau tidak, mana mungkin bengkak seperti ini Vir.” Dimas menahan Virra agar tidak pergi.” Cerita pada Mas mu, mungkin saja ada yang aku bantu." “ Mas tidak akan bisa bantu aku.” Ia tersenyum kecut, menatap Dimas dihadapan. “ Memangnya masalah kamu terlalu berat? Apakah perasaanmu sedang terluka karena ditolak lelaki yang kamu cintai?" “Tidak Mas." “ Jujur Vir, Mas tidak bisa melihat kamu sedih seperti ini.” Ia masih bersikukuh mencari tahu penyebab Virra menangis. “ Mas tidak akan siap mendengarnya, Mas akan semakin terbebani, aku tidak apa - apa kok.” Virra kembali menunduk. “ Kata siapa Mas tidak siap mendengar? Mas akan pasang badan untuk bantuin kamu, apapun itu caranya, makanya cerita pada Mas, Vir.” Helaan napas dari Virra cukup menyita perhatian Dimas.”Yakin?" Dimas mengangguk." " Kamu, kamu orangnya Dimas yang sedang aku cintai. Aku tahu ini salah. Mencintai kamu yang sudah menganggap aku sebagai Adik sendiri. Tapi ketika mendengar kamu akan menikah, hati aku terasa sakit. Aku jatuh cinta denganmu dimulai dari pertamakali kita bertemu, kamu orang baik dan tulus. Saat kamu mengenalkan Mbak Ivy ke rumah, aku sama sekali tidak cemburu karena aku merasakan, sorot matamu tidak ada cinta di sana. Kali ini, kamu benar – benar menemukan orangnya, aku kesulitan bawa hati.” Airmatanya jatuh. Dimas kaget bukan main, menatap tidak percaya perempuan cantik dihadapan. Mereka memang hampir seusia, tua Dimas satu tahun daripada Virra. Yang membuatnya sulit menerima pernyataan barusan. Pertama adalah ungkapan perasaan dari Virra, kedua panggilan aku – kamu yang tidak pernah terlontarkan dari lisan Virra, bahkan menyeret namanya sebagai pelengkap cerita. “ Virra..” Panggil Dimas, masih kebingungan mencari jawaban yang pas." Kamu tidak salah orang?" TBC Best Regard, Ratniey
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD