9. Symbiosis

2315 Words
Hampir pukul sembilan malam saat Ian menginjakkan kaki di ibu kota. Penerbangan dari Maluku lumayan menyita waktu dan tenaga. Perjalanan naik bus puluhan kilo meter menuju bandara membuat persendiannya terasa remuk. Ia ingin segera berbaring di tempat tidur empuk, dalam dekapan selimut dan dibelai semilir angin dari pendingin ruangan. Tetapi, bayangan kekasih yang menunggu setelah tiga minggu tidak bertemu, mengobarkan semangatnya untuk melepaskan rindu. Sudah satu tahun mereka menjalani hubungan jarak jauh. Ian mengikuti koas di luar pulau Jawa, meninggalkan Helena, sang pujaan hati di Jakarta. Ia hanya bisa pulang satu kali dalam sebulan. Kali ini ia beruntung. Rengekannya pada konsulennya—meminta izin dua hari saja untuk pulang—didengarkan setelah ia menyogok lelaki botak itu dengan hadiah sebuah dompet mahal bermerk. “Pesanan saya sudah ada?” tanya Ian pada penjaga toko perhiasan sebelum mampir ke apartemen Helena. “Sudah. Tunggu sebentar.” Pria itu masuk ke dalam mengambil pesanan Ian. Tak lama kemudian, dia keluar lagi dengan sebuah kotak perhiasan di tangan. Sebulan yang lalu, ia memesan sebuah cincin berlian bermata ruby yang harganya cukup menguras dompet. Sengaja ia mempersiapkan kejutan itu untuk melamar Helena malam ini. Masa pendidikannya tinggal satu tahun lagi. Niatnya mempersunting gadis itu semakin menggebu. Ian mengenal Helena di bangku kuliah. Di saat teman-temannya telah bersahabat dengan virus merah jambu itu di usia belasan tahun, ia mengakui dirinya sedikit terlambat. Bahkan Sam dan Fara sudah berpacaran saat mereka masih berseragam putih dongker. Ian mengiringi mereka seperti kambing congek. Malahan, ia menjadi saksi ciuman pertama pasangan itu di puncak Rinjani. Mengenaskan! Sebuah taksi membawanya ke apartemen Helena. Bibirnya tak henti-henti tersenyum. Sampai-sampai si sopir ikut tersenyum melihat tingkahnya. Ian menempelkan key card untuk memasuki unit Helena. Setelah pintu itu berbunyi, ia mendorongnya tanpa suara. Apartemen dua kamar itu terang benderang, tapi terlihat sepi.  Tak berapa jauh dari pintu masuk, ia mendapati sepasang sepatu kets berukuran besar, tampaknya milik seorang pria. Letaknya tak beraturan  seperti dilepaskan dengan terburu-buru. Keningnya berkerut heran. Ian berjalan mengendap-endap seperti maling. Pintu kamar Helena tidak sepenuhnya tertutup. Terdengar sayup-sayup suara desahan dari dalam sana.  Ia mendorong pintu itu perlahan. Seketika pupilnya melebar melihat sepasang manusia tanpa busana bergumul panas di atas ranjang. Si lelaki memacu tubuhnya naik turun, sedangkan si perempuan terus mengerang penuh kenikmatan. Sebuket bunga di tangannya jatuh ke lantai. Tungkainya mendadak lemas. Punggungnya tersandar di dinding. Hatinya seketika remuk. Aliran darahnya seakan berhenti. Matanya menatap nanar. Akhirnya sepasang insan itu menyadari keberadaannya. Helena memekik, lalu meraih selimut untuk membalutketelanjangannya. Wajahnya pucat pasi. Si lelaki pun tak kalah kaget. Ia terbirit-b***t mengenakan pakaiannya kembali. “Ian, ini—” Ian mengangkat tangannya tak ingin mendengar penjelasan apa pun. Matanya memerah. Ia terus menatap Helena yang menunduk ketakutan di atas ranjang. Rahangnya mengeras. Urat-urat lehernya bertonjolan. Ia mendekati wanita itu, tetapi si lelaki menahan langkahnya. “Ini salah gue, bukan Helena—” Terdengar suara pukulan keras diiringi pekik ketakutan Helena. Ian menghajar lelaki itu sekuat tenaga. Namun, tak ada perlawanan yang berarti. Lelaki itu terkulai lemas. Wajahnya bonyok dan berdarah-darah. Helena terus memohon dan menangis. Ia segera berlutut meraih tangan Ian. “Maafkan aku, Max. Ini ....” Ian mengibaskan tangannya kasar. “Apa kau masih merasa kurang, Helena? Apakah yang kuberikan padamu masih kurang?” ucapnya dingin. Wanita itu menggeleng cepat-cepat. “Maafkan aku, Max. Aku yang salah—” “Tentu saja kau yang salah!” potong Ian naik pitam. “Atau kau memang berniat menyalahkanku?” “Ti–tidak, Max. Ini salahku. Dave merayuku, dan—” “Dan kau menikmatinya? Di saat kau jauh dariku, kau menikmati perhatian pria lain? Dia temanku, Helena. TEMANKU!” Ian menyugar rambutnya kasar. Giginya gemeletuk menahan emosi. Sementara Dave mengerang lemah memegangi perutnya.  “Seharusnya kau berterus terang jika menginginkan hubungan seks sebelum kita menikah, Sayang. Aku yakin lebih bisa memuaskanmu dibandingkan dia!”  Helena menangis penuh penyesalan, sekaligus ketakutan. Ian terluka, sangat terluka. Wanita yang ia impikan menjadi teman hidupnya hingga menua, berkhianat di depan mata. Tak tanggung-tanggung, pasangannya memadu cinta adalah temannya sendiri. Senyuman sinis tersungging di sudut bibir. Ian merogoh ke dalam saku jaketnya. Kotak cincin itu ia lemparkan kasar pada Helena yang masih berlutut. “Jual saja! Paling tidak bisa membiayai hidupmu selama beberapa bulan.” Wanita itu meraung. Harga dirinya semakin tak bernilai. Ian keluar dari sana dengan hati hancur, diiringi pekik penyesalan Helena yang terus memanggil namanya. Di sepanjang perjalanan pulang, Ian menyesali nasibnya. Di mana letak kekurangan serta kesalahannya, sehingga Tuhan tega mengambil kebahagiaannya hingga tak bersisa. Air mata yang ia tahan mati-matian, mengkhianati tuannya sendiri. Ia menyeka tetesan bening itu dengan hati tersayat-sayat.  Katanya, pria tak boleh menangis, bukan? Harapannya musnah. Kepercayaannya lenyap tak bersisa. Ia kalah. Luluh lantak oleh cinta pertama. *** “Max? Boleh aku duduk disini?” tanya Helena dengan suara bergetar.  Tak sedikit pun Ian melepaskan pandangannya. Tangannya bersilang malas di perutnya. Kemudian, ia mempersilahkan wanita itu duduk dengan isyarat matanya. Helena masih saja mempesona. Gurat usia menambah kecantikannya. Wajah itu yang dulu membuat Ian tergila-gila, hingga rela memberikan segalanya. Dirinya yang bodoh dan naif, dimanfaatkan begitu rupa atas nama cinta. Wanita itu pula yang memanggilnya Max, sebuah panggilan khusus milik Helena seorang. Terakhir kali mereka bertemu adalah di malam Helena mengkhianatinya. Ian pernah mendengar Helena pindah ke Penang bersama suaminya tak lama setelah itu. Berbilang tahun berlalu, nyatanya rasa sakit itu masih ada.  Sial! Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Ian berdecak tak sabar. “Apa yang kau lakukan disini?” “Oh—” Helena mendongakkan kepalanya gugup. “Dave … dirawat d–di sana.” Jemarinya menunjuk rumah sakit di seberang jalan, tempat Ian bekerja. Ian mengangkat alis. “Oh, ya? Sakit apa?” “Dari hasil pemeriksaan, terdapat pembengkakan prostat. Indikasinya kanker,” jawabnya sendu. Helena sesekali menunduk memandangi jemarinya yang mengait resah di pangkuan.  “Wah, wah, kasihan sekali kau!” ledek Ian sinis. Helena mengerjap bingung. “Apa maksudmu?” “Perempuan mencapai gairah tertingginya di usia sekitar tiga puluh tahun. Malang sekali, suamimu malah punya penyakit yang tak bisa lagi memuaskanmu di ranjang. Poor you!” seru Ian memukul telak Helena tepat pada harga dirinya. Wajah wanita itu berubah merah padam. “Terapi prostat mempengaruhi gairah seksual pria. Berapa lama dia mampu menjaga ereksinya? Kuperkirakan dua sampai lima menit paling lama,” lanjut Ian. “Tutup mulutmu, Max!” bentak Helena geram. Ian mengedikkan bahu. “Kita berdua sama-sama dokter, Helena. Pastinya kau juga tahu. Kenapa kau harus marah?” “Pernikahan bukan hanya sekadar hubungan seksual!” “Tanpa hubungan seksual, pantaskah kau menyebutnya sebagai pernikahan? Aku ingin bertaruh, berapa lama kau mampu bertahan. Tipe wanita sepertimu ...” Ian menahan kalimatnya, “cenderung haus akan belaian.” Helena membuang muka. Ia kembali ditelanjangi akibat perbuat di masa lalu yang tak termaafkan. Max yang ia kenal dulu sungguh berbeda dengan Max yang ia hadapi sekarang. Dulunya, Max adalah pria malu-malu yang menjaga dirinya sebelum saatnya hubungan mereka diakui di hadapan Tuhan. Bahkan untuk menciumnya saja, pria itu gemetaran. Adalah kesalahannya yang tergoda oleh rayuan Dave hingga berakhir di ranjang. Bukan hanya sekali, tapi tak terhitung banyaknya saat Max menjalani koas. Parahnya lagi, mereka melakukan pengkhianatan itu di apartemen yang dihadiahkan olehMax pada hari ulang tahunnya. “Ma–maafkan aku, Max,” ucap Helena terbata-bata sambil menahan air matanya. Tenggorokannya membengkak. Ia menyampaikan niatnya yang sempat tertunda setelah dulu Max menghinanya habis-habisan.  “Untuk apa?” “Untuk kejadian bertahun-tahun yang lalu. Aku belum sempat meminta maaf padamu secara pantas. Setelah kau pergi, aku masih membawa rasa bersalah itu sampai sekarang. Rasanya lega bertemu lagi denganmu di sini.  “Aku ingin sekali menemuimu. Tapi, sejak saat itu aku pindah ke Malaysia. Jadi ...“ Helena berhenti bicara untuk melihat respon Max. Namun, pria itu  hanya menatapnya datar. “Max—" “Kenapa kau pindah?” Helena tergagap. “A–aku telanjur hamil dan kami ... pindah setelah menikah.” Ian mengembuskan napas kasar. Hatinya kembali sakit mendengar Helena punya anak dengan Dave. “Kenapa kau tega mengkhianatiku, Helena?” tanya Ian pelan. Nada suaranya sarat luka. “Max—” Ian mengangkat tangannya. “Izinkan aku bicara terlebih dahulu.”  Helena terdiam. “Aku tahu, mengungkit ini kembali setelah hatiku mati tak akan mengubah apa pun. Aku hanya ingin tahu alasannya. Paling tidak aku bisa bernapas lega dan tak lagi menyalahkan diriku ataupun kekuranganku. Aku memberi segalanya yang kau pinta. Mobil, apartemen, perhiasan, uang, segala yang kupunya adalah milikmu. It wasn’t about the money, right?” Ian memiringkan kepala melihat ekspresi Helena yang terus menunduk. “Aku bahkan menjaga diriku sendiri, tak menyentuhmu sebelum meminta restu dari ayahmu dan kita berjalan di altar dalam ikatan suci. Aku sangat mencintaimu pada saat itu. Tapi sepertinya, cinta saja tidak cukup. You only took me for granted!” Helena tenggelam dalam rasa bersalah. Air matanya menetes mengenang dosa-dosanya. “Kau tidak bersalah, Max. Itu murni perbuatanku, kesalahanku. Aku yang b******k, aku yang jahat mengkhianati pria baik sepertimu.” “Tanpa kau akui pun, kau memang b******k, Helena. Dan karena ulahmu pula, aku jadi ikut b******k!” Ian mengambil napas. “Seharusnya waktu itu kau jujur saja bahwa kau adalah gadis modern yang melegalkan seks sebelum menikah, karena ...“ Ian menahan mulutnya kala wanita itu kembali mendongak, “aku yakin lebih bisa memuaskanmu ketimbang Dave. Kau tahu sendiri, ‘kan, berapa ukuran kemaluan pria dari ras Eropa? Aku bisa membuatmu menjerit berkali-kali sampai lemas.”  Muka wanita itu tak lagi merah, melainkan sudah berubah kelabu. Rahangnya mengeras dan amarahnya menyala-nyala. “Jangan keterlaluan menghinaku, Maximilliano!” pekiknya. “Tanpa dihina pun kau sudah menghinakan dirimu sendiri. Aku hanya menambahkan sedikit bumbu agar kau sadar betapa bejatnya kau dulu mengkhianatiku,” balas Ian semakin kejam.  Helena kemudian menyusut air matanya. Ekspresinya campur aduk. Ian mengangkat punggungnya sambil menatap Helena tajam. “Jangan pernah muncul lagi di hadapanku, Helena. Bagiku, kau hanyalah sampah dari masa lalu yang ingin kubuang jauh-jauh!” *** Kara mengentak-entakkan sepatunya tanda tak sabar. Rasanya malas sekali mendengarkan sayup-sayup potongan kata dari sepasang manusia yang bernostalgia tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia terus melirik jam tangannya, memperkirakan kapan reuni mengharu biru itu akan berakhir. Setengah jam lagi, diskon besar-besaran kosmetik incarannya akan dimulai. Tak berapa lama kemudian, ia tak tahan lagi. Kara segera menghampiri kliennya dan pasangannya. “Permisi,” potongnya menginterupsi. Keduanya menoleh. Si wanita tampak menangis. Matanya sembab. “Maaf mengganggu kalian. Bisakah aku meminjamnya sebentar?” ujarnya menunjuk pada Ian dengan ibu jarinya. “Ini urusan yang—” “Hai, Sayang. Kamu sudah selesai?” Pria itu bergegas bangkit dan mengecup pipi Kara. Tangannya meraih pinggang Kara dan menggamitnya mesra. Senyumannya terkembang lebar.  Kara menganga. Tubuhnya menegang. “Ayo,” ajak Ian membawanya pergi. Tatapan matanya mengancam sekaligus memohon agar Kara mengikuti permainannya. Pipi Kara seketika memanas. Langkahnya tersaruk-saruk mengikuti Ian yang menyeretnya keluar dari sana. Setibanya diluar, Kara menarik tangannya hingga terlepas. Plak! Detik berikutnya, terdengar suara tamparan keras. “Kau sungguh keterlaluan! Jangan sekali-kali mempermalukanku atau aku sendiri yang akan menyeretmu ke penjara, Tuan Julian!” bentaknya marah.  Ian terbelalak, lalu buru-buru berkata, “Maaf, Kara. Aku tidak bermaksud begitu. Tadi itu hanya spontanitas semata, dan—” “Kara?” Sebuah suara menginterupsi pertengkaran mereka.  Kara menoleh, lalu menyumpah dalam hati. “Oh. Hai, Costa. Apa kabar?” balasnya berbasa-basi.  “Kamu baik-baik saja?” tanya pria itu dengan pandangan menyelidik. Di belakangnya, Bram ikut menatap Kara dengan raut penasaran. “Ya.” Kara tersenyum masam. Costa adalah sahabat dekat Bram, bisa dibilang partner in crime-nya. Mereka sangat akrab, seperti halnya Kara dan Airin, dulu sekali. “Aku  tidak apa-apa. Perkenalkan, ini Julian. Dia—” “Saya calon suami Kara,” potong Ian cepat. “Kami hanya sedikit berselisih paham. Harap maklum, cobaan menjelang menikah memang begitu. Ribut-ribut kecil mengenai desain undangan pernikahan, hiasan ranjang pengantin, dan semacamnya. Klise sekali,” tambah Ian sambil menautkan jarinya dengan jari-jari Kara, sekaligus memanfaatkan situasi Kara yang tampak tidak nyaman. Kara melongo. Mukanya kembali memerah. Satu sama, batin Ian tertawa dalam hati. “Oh, ya sudah. Selamat kalau begitu. Senang bertemu denganmu lagi, Kara,” ujar Costa berpamitan sebelum masuk ke dalamkafe. Sementara Bram sesekali menoleh ke belakang sambil terus mengikuti Costa. Mulutnya terkatup rapat, tapi ekspresinyamarah luar biasa. Kara menarik tangannya dari genggaman Ian, tetapi pria itu menahannya erat. “Kamu tidak ingin dia curiga, ‘kan?” Ian mengerling. Kara mendesis geram. “Lepaskan saya!” “Ayolah, Kara. Kita sudah melewati tahap malu-malu dengan saling meninggalkan kata saya dan Anda beberapa menit yang lalu. Kedua kata itu terdengar tidak enak di telinga bagi sepasang kekasih yang akan menikah,” sahut Ian.  Kara kembali tersadar. Alih-alih membalas ucapannya dengan gaya formal, Julian malah membalasnya dengan gaya santai, seperti pada malam pertemuan pertama mereka dulu. Seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama. Kurang ajar sekali! Kara bergegas masuk ke mobilnya. Ian dengan lancangnya ikut masuk dan duduk di bangku samping kemudi.  “Jelaskan apa maksudmu!” desis Kara geram. Kemarahannya sudah di ubun-ubun. “Maaf, Kara. Katakan saja itu semacam hubungan yang saling menguntungkan. Kamu juga butuh seseorang untuk dikenalkan pada mantan pacarmu,” kata Ian mencoba berspekulasi tentang hubungan Kara dengan Costa. “Costa bukan mantan pacarku!” “Lalu?” “Dia teman baik mantan pacarku. Dan kau, bisa-bisanya kau mengaku sebagai calon suamiku?” “Suatu hari nanti aku akan menjadi calon suamimu.” “Kau ini—” “Nah, begitu lebih baik. Bicara dalam bahasa baku membuat lidahku belepotan.” Kara melotot. “Dulu kau menggodaku. Barusan kau melecehkanku—” “Aku tidak melecehkanmu.”  “Berikutnya apa? Jangan bilang kau ingin membawaku ke tempat tidur!” “Well, jujur saja. Aku ingin sekali melakukan itu, Kara. Tapi sebelumnya, aku akan melakukan ini.” Secepat kilat Ian meraih tengkuk Kara dan membungkam mulut wanita itu dengan bibir panasnya. Kara terpana. Matanya membulat sempurna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD