Awalnya hanya kecupan ringan. Namun, Ian melakukannya berkali-kali tanpa berhenti. Kara yang mulanya shock mulai teperdaya. Ia tenggelam dalam iris abu-abu yang berpendar sayu itu.
Perlahan Kara memejamkan matanya menikmati sentuhan sensual dari bibir Ian. Ia membuka bibirnya dan tanpa sadar membalas ciuman pria itu.
Ciuman itu semakin dalam. Ian mendominasi seiring dengan gerakan tangannya yang menahan sekaligus mengelus tengkuk Kara dari belakang. Ia mengulum, melumat dan menghisap bibir Kara atas dan bawah secara bergantian. Sesekali erangan serak lolos dari tenggorokannya.
Kara tersentak kala lidah basah pria itu membelai bibirnya dan menerobos masuk mengait lidahnya.
Sensasi tak biasa mulai menguasainya. Jantungnya berdetak cepat. Sekujur tubuhnya panas dingin. Bulu romanya sudahberdiri sedari tadi. Anehnya, ia biarkan saja pria itu bermain sesuka hati. Sialnya lagi, ia pun menikmati dan dan tak ingin berhenti.
“Kara,” bisik Ian diantara ciuman yang berlabuh semakin dalam.
Kara mengangkat sebelah tangannya. Jemarinya menangkup pipi Ian, membelai rambut-rambut halus berwarna pirang yang menurutnya sangat seksi. Bibir pria itu terasa manis, bahkan amat manis dan memabukkan.
Ian tersenyum menang. Ia menyesap manisnya bibir Kara tanpa ampun. Keduanya mencuri oksigen pendek-pendek di sela napas yang memburu.
“I think I’m in love with you,” bisik Ian setelah melepaskan ciumannya. Napasnya terengah-engah. Ia menautkan keningnya dengan kening Kara. Matanya diselimuti kabut gairah.
Kara pun terengah. Ada kekosongan yang ia rasakan tatkala Ian mengambil jarak.
Ia membuka mata, lalu seketika terbelalak. Kesadaran yang tadinya dirampas oleh ciuman konyol pria itu pun kembali.
What the hell!
Plak!
Telapak tangannya segera melayang. Wajahnya merah padam bak kepiting rebus. Rasa malu dan murka melebur jadi satu.
Ian mengaduh sambil memegangi pipinya. Dalam tempo beberapa menit, ia telah ditampar dua kali.
Matanya ikut terbelalak setelah tersadar dari perbuatannya. “Maaf, tadi—”
“Apa? Kau pria kurang ajar! Berani-beraninya kau!” Kara mengangkat tasnya dan memukuli Ian sekuat tenaga.
Ian ikut mengangkat tangan menghindari pukulan Kara yang hendak menyasar kepala dan tubuhnya. Sebelum ia berhasil menangkap tangan Kara, ia lagi-lagi mengaduh kesakitan ketika sudut-sudut tas yang keras itu membentur tulang bahunya.
“Hey, hey, stop!” serunya sambil memegang kedua tangan Kara erat-erat.
“Lepas! Aku akan melaporkanmu!” pekik Kara marah.
“Atas dasar apa?”
“Kau menciumku tanpa izin!”
“Tidak ada bukti dan saksi yang akan membenarkan laporanmu. Tapi, jika kamu terus memukuliku, akan kulaporkan balikatas dasar penganiayaan oleh seorang pengacara terhadap kliennya,” ujar Ian celingukan memeriksa jika mobil Kara dipasangi kamera dashboard.
“Sialan! Kau b******k!”
Ian tersengal-sengal. “Kamu juga membalas ciumanku!”
“Membalas apa? Jangan sembarangan!”
“Ciumanku. Apa perlu kita ulang sekali lagi? Kamu bahkan memejamkan matamu dan mengusap pipiku,” tantang Ian tak tahu malu.
“Ya ampun!” Kara melongo. “Aku tidak melakukannya!”
“You did!”
“Kau gila!”
“I am.”
“Kau sinting!”
“Itu nama tengahku.”
“Aku mengundurkan diri menjadi kuasa hukummu!”
“Atas dasar apa? Sebuah ciuman? Itu tidak termasuk dalam klausul pembatalan kontrak perjanjian kita. Aku masih mengingatnya dengan baik.”
“Arghhh! Persetan denganmu! Keluar!” pekik Kara panik.
“Apa?”
“Keluar! Kau bule b******k! b******n m***m tak tahu malu! Keluar!”
“Jangan rasis, dong!”
“KELUAR!!!”
***
Ian membentur-benturkan kepalanya ke roda kemudi. Ia merutuki kebodohannya yang tak mampu menahan diri. Belahan bibir Kara sangat menggoda. Begitu ia menyesapnya, rasanya begitu manis sampai tidak rela melepasnya begitu saja.
Jika saja tadi ia meneruskan ciumannya, bisa jadi tangannya sudah bergerak liar menelanjangi Kara. Orang-orang akan menangkap mereka berdua berbuat tak senonoh. Dapat dibayangkan headline media massa yang berbunyi, “Seorang Pengacara dan Kliennya Berbuat m***m di Parkiran Sebuah Kafe.”
Sungguh tidak elegan sekali!
Ya Tuhan! Aku sudah gila!
Wanita itu adalah kuasa hukum yang akan membelanya mati-matian di pengadilan. Entah mau dibawa ke mana nasibnya nanti, tergantung dari kelihaian Kara memainkan peranan.
Ia bahkan mengatakan hal-hal tak masuk akal seperti akan menikahi Kara suatu hari nanti. Yang benar saja!
Bahkan ia sempat mengatakan cinta. Padahal sebelum-sebelumnya, ia bersikukuh tidak akan pernah lagi ada kata cinta dalam kamusnya.
It was just a joke, wasn’t it?
Ian hanya tak menyadari. Sesuatu di hatinya menyerukan hal yang berbeda. He’s playing at risk!
***
Kendaraannya bergerak pelan. Kara menggigit kuku sembari sebelah tangannya mengontrol roda kemudi. Pikirannya berlarian liar kian kemari. Sampai sekarang, tubuhnya masih merinding dan darahnya berdesir.
Apa-apaan itu tadi? Membiarkan dirinya dicium oleh pria asing? Astaga!
Pria itu hanyalah seorang klien yang membutuhkan nasihat hukumnya dan ia dibayar mahal untuk itu. Tiba-tiba saja ia merasa harga dirinya terlalu murah.
Ya Tuhan, Kara! Kau ini gampangan sekali!
Kara merasa konyol dan marah dalam waktu yang bersamaan. Konyolnya, ia membalas ciuman pria itu dengan tak kalah panasnya. Namun, ia juga marah saat menyadari ciuman pertamanya direbut oleh seseorang yang bukan kekasihnya. Demi Tuhan, mereka baru bertemu tiga kali!
Bahkan Bram saja tidak berani mencium bibirnya. Pria itu berkata hanya akan melakukannya setelah mereka menikah. Bramtakut tidak mampu mengendalikan hasratnya sendiri.
Mengingat Bram, Kara tersenyum miris. Ia merasa tersentil. Siapa sebenarnya yang m***m di sini? Ia bahkan bersedia meladeni pembicaraan melantur Julian dengan semangat empat lima. Tak dapat dipungkiri, pria gila itu menyebalkan sekaligus menarik dalam waktu bersamaan.
Apa? Menarik? Kau sinting!
Setibanya di rumah, Kara buru-buru melepaskan sepatunya. Ia mengganti seragam kerja dengan kaos kebesaran dan celana pendek selutut. Kemudian ia terduduk di atas tempat tidur dengan bantal berada di pangkuan.
Jari telunjuknya membelai bibir yang membengkak. Jejak manis bibir pria itu masih tersisa di sana. Tanpa sengaja, ia mengulas sebuah senyuman.
“Habis cipokan sama siapa lo?”
Kara terperanjat menutup mulutnya. Pipinya seketika memanas. Matanya melotot pada Satya yang bersandar di pintu. Pria itu mengulum permen.
“Halah, nggak usah malu! Biasa aja kali!” Satya membaringkan diri di samping Kara. Ia menjadikan lengannya sendiri sebagai bantal. “Lo udah move on dari Bram?”
Kara diam saja. Meskipun ia membenci pria itu, tetap saja perasaannya belum teralihkan. Luka yang Bram torehkan belum jua sembuh.
Kata orang, cara cepat move on adalah dengan menemukan pengganti yang telah hilang. Tetapi, Kara tidak percaya.Mengalihkan cinta untuk orang yang baru dalam waktu singkat rasanya begitu sulit.
Selama ini, ia memfokuskan diri pada pekerjaan. Mengasah ketajaman skill–nya dan berubah menjadi sosok yang ambisius dalam menapaki jenjang karier.
“Hati gue masih sakit,” katanya buka suara.
“Lo masih cinta sama dia?”
Kara mengangguk lemah.
Satya memutar bola mata. “Terus, lo ciuman sama siapa?”
“Klien,” jawab Kara tanpa sadar.
“Hah!” Satya terlonjak bangun dari tidurnya. Sebelah tangannya menoyor kepala adiknya. “Gila lo, ya!”
“Sakit, sialan!” Kara balas menoyor kepala Satya.
“Uhuk!” Satya tersedak permennya sendiri. Ia memegang tenggorokannya lalu menepuk-nepuk dadanya. Keningnya mengernyit kesakitan.
“Mam to the pus! Mampus!” ledek Kara sinis.
Satya bernapas lega saat si permen lolos dengan sukses ke perutnya. “Lo pacaran sama klien?”
“Nggak.”
“Terus? Kok, bisa ciuman?”
“Entah, gue juga nggak tahu.”
Satya menempelkan punggung tangan ke dahi Kara. “Lo masih waras, ‘kan? Kenapa lo jadi bego begini, sih?”
Kara melotot. “Lo ngatain gue bego?”
“Lha, memang bego, ‘kan? Kenapa lo sampai ciuman sama klien?”
Kara termenung. “Entahlah. Gue juga heran.”
“Oh my God, Kara! I can’t believe this!” seru Satya tak percaya. Matanya tiba-tiba berbinar dan ia beranjak bangkit dari tempat tidur. “Mas Hanif harus tahu, nih!”
“Eh, mau kemana lo?” Kara cepat-cepat menyambar pinggang celana Satya. “Kalau lo berani bilang sama Mas Hanif, gue sunat lo sekali lagi!” ancamnya.
“Lho, gue ‘kan, belum pernah disunat? Mau lihat?”
“Ogah! Punya lo kecil!”
“Enak aja! Dielus-elus juga gede!”
“S*tan! Keluar lo sana!” Kara menyumpah sambil menendang pinggang Satya.
Pria tengil itu terjengkang ke lantai.
***
Ian menjawab semua pertanyaan yang diajukan tim penyidik dengan lancar. Kalimat demi kalimat diputar-putar dalam berbagai versi. Ia tetap menjawabnya dengan konsisten meski awalnya ikut pusing dengan alurnya yang sengaja dibuat berbelit-belit, tetapi intinya tetap mengarah pada hal yang sama.
Ini pertama kalinya Ian berhadapan dengan polisi. Senakal-nakalnya ia sewaktu SMA, ia hanya disidang oleh kepala sekolah di hadapan Ibra yang tertunduk malu mendengar aduan akan perangainya. Hukumannya pun paling-paling di–skors, disuruh membersihkan toilet dan semacamnya.
Kali ini Ian benar-benar sendiri. Ah, tidak! Ia didampingi pengacara cantik bermuka datar dan serius di hadapan orang-orang yang seketika berubah seram dalam ruangan ukuran dua kali tiga itu. Padahal tadi ia sempat melihat Kara tertawa bersama dengan mereka di luar sana.
“Sudahlah. Anda tinggal mengakui bahwa Anda memang menulis resep tersebut untuk pasien Anda, maka kasus ini akan lebih mudah untuk ditangani. Kami juga punya banyak pekerjaan lain. Dari semua bukti yang ada dan berdasarkan rekaman CCTV menunjukkan resep tersebut memang milik Anda.”
“Anda mengejar pengakuan dari klien saya, Pak,” protes Kara keberatan. Mengarahkan seseorang untuk mengakui perbuatannya untuk menghemat waktu penyidikan tidaklah dibenarkan. Apalagi status Ian masih sebagai saksi, belum naik menjadi tersangka.
“Semua bukti mengarah pada klien Anda, Bu.”
“Bisa jadi ada sabotase terselubung yang belum kita ketahui.”
“Anda sudah lihat sendiri rekaman CCTV. Bukti apa lagi yang akan Anda ajukan?” sanggah tim pengacara Nathaniel.
Kara menatap tajam pengacara senior tersebut. Ia tidak dapat menjawab. Memang, semua bukti mengarah pada Ian. Namun, ia tetap yakin ada sesuatu yang janggal di sini. Hanya saja, keyakinan bukanlah hal yang bisa dibawa ke meja hijau tanpa bukti yang konkret.
Meskipun pria itu brengseknya bukan main, Kara dapat melihat kejujuran di matanya setiap kali ia menginterogasinya.
Asumsi tidak bisa dijadikan alasan untuk bermain dengan hukum. Tetapi kali ini, asumsi itu pula yang menggiring Kara pada insting yang ia yakini benar.
***
Abdul memanggil Kara ke ruangan pribadinya setelah penyidikan selesai. Posisi Ian semakin terjepit. Tinggal menunggu waktu sebelum surat penahanan dilayangkan jika mereka tidak bisa menemukan bukti yang bisa menampik keterlibatan pria itu.
“Kenapa kali ini kamu ngotot sekali, Ka?”
“Apa Om tidak melihat ekspresi saksi terakhir? Dia begitu santai menjawab semua pertanyaan, seakan semua jawaban sudah tertata secara sistematis di kepalanya. Untuk seseorang yang baru kali ini berurusan dengan polisi, dia terlalu tenang,” jawab Karasembari memijit pelipis. Ingatannya melayang pada perawat yang bertugas mengantar resep ke bagian farmasi.
“Bisa jadi dia telah mempersiapkan dirinya dengan baik.”
“Om sendiri sudah menyidik banyak orang, bukan? Apa Om tidak bisa melihat perbedaannya? Dia itu perempuan, lho!”
Perempuan biasanya gampang dialihkan dengan pertanyaan menjebak, dan seringkali bingung menghadapi penyidikan untuk pertama kalinya. Tetapi tidak dengan perawat itu.
“Nggak usah bawa-bawa gender, deh!” sergah Abdul jengah. “Begini saja, kamu periksa kembali rekaman CCTV. Temukan sesuatu, apa pun itu.”
“Baik, Om,” jawab Kara lemah. Benaknya berkecamuk.
***
Kara dan Ian keluar dari kantor polisi menuju mobil mereka masing-masing. Raut lelah dan kusut terpancar dari wajah keduanya.
Tanpa disadari, sepasang mata hitam pekat mengawasi mereka dari sebuah mobil di seberang jalan. Bibirnya tertarik miring membentuk sebuah seringaian.
Kau tamat, Dokter!