“Yuhuuuu! Gue bawa album baru,” kata Airin seraya masuk ke kamar Kara. Ekspresinya puas sekaligus sombong.
“Serius? Mau dong!” Kara merebut kotak kepingan disc dari tangan Airin.
Kedua remaja tanggung tersebut segera menghidupkan televisi dan CD player. Tak lama kemudian, mereka menggoyangkan badan ke kiri dan ke kanan, menirukan setiap gerakan yang mereka lihat dalam video klip Britney Spears. Penyanyi berambut pirang tersebut sedang hits di kalangan remaja di seluruh dunia.
Mereka sudah lama bercita-cita menjadi penari latar. Keduanya rajin berlatih meniru gerakan demi gerakan. Tak jarang pula, mereka mampir ke studio tari, menyewa salah satu ruangan untuk mempraktikkan yang telah dipelajari di depan cermin berukuran raksasa.
Hingga saat beranjak dewasa, keduanya menyadari bahwa menjadi penari latar bukanlah karier yang menguntungkan untuk menunjang masa depan, meski sesekali masih melakukannya di waktu luang.
“Sampai kapan, ya, kita kayak gini?” tanya Kara sambil berbaring menatap langit-langit kamarnya.
“Sampai tua, dong!” jawab Airin. Napasnya terengah-engah.
Secara fisik, Airin memang sedikit lemah. Beberapa kali ia absen dalam pelajaran olahraga yang menguras tenaga. Di saat Masa Orientasi Siswa pun, ia memiliki izin khusus dari dokter.
“Pokoknya janji, ya, kita akan terus bersama sampai tua. Nanti kita cari suami yang satu kota, biar nggak ada yang diajak merantau.” Airin melanjutkan.
“Dasar gemblung! Umur segini ngomongin suami? Lo udah siap netekin bayi kemana-mana?” maki Kara.
“Lho? Kok bayi, sih?”
“Iya, dong! Punya laki, ya punya anak. Dasar bego!”
“Iya, ya?”
Keduanya tertawa terbahak-bahak.
***
Berbagai selang penunjang kehidupan berseliweran di atas tubuh yang semakin kurus dari hari ke hari. Monitor pendeteksi detak jantung dan pengukur tensi, berbunyi bersahutan menampilkan kondisi vitalnya. Dadanya bergerak lemah setiap kali ia menarik napas. Wajahnya pucat seperti mayat.
Hypertrophic cardiomyophaty adalah sebuah kondisi di mana otot jantung menebal dan melemah. Hal ini membuat darah sulit dipompa keluar jantung. Penyebabnya hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti, selain disebabkan faktor genetik yang diturunkan dari anggota keluarga lainnya.
Seorang wanita paruh baya duduk di samping ranjangnya. Wanita itu menggenggam erat tangan Airin. Sebelah tangannya lagi, mengusap-usap kepala Airin penuh doa dan pengharapan. Air matanya menetes tanpa disadari.
Segala daya dan upaya telah ia lakukan untuk menantunya, termasuk mencari donor jantung sampai ke luar negeri. Tiada satupun yang ia temukan. Kalaupun ada, jantung tersebut tidak cocok atau tidak memenuhi syarat untuk menggantikan organ Airin yang bermasalah.
Mereka pasrah. Kedua orang tua Airin pun tidak dapat melakukan apa-apa selain mengirimkan do’a dalam deraian tangis dan air mata untuk anak tertua mereka.
Sesekali Airin terbangun menanyakan keberadaan dua nama. Ariyu, sang putri kandung yang baru berumur tiga tahun.Kemudian Kara, sahabat yang ia harap masih mau menemuinya menjelang ajalnya tiba.
Tidak satu kali pun ia menanyakan keberadaan suaminya. Bram hanya mampir sebentar-sebentar dengan alasan sibuk dengan pekerjaan.
Pernikahan di antara keduanya memang sebuah perjodohan yang dipaksakan. Karena itu juga, ia kehilangan sahabat satu-satunya demi menyelamatkan nyawa yang lain. Sebuah harga yang harus dibayar mahal di sepanjang pernikahannya yang penuh onak duri dan kepahitan.
Airin kerap kali menangis mengingat Kara. Ia hanya menginginkan kehadiran Kara sebagai permintaan terakhir untuk meminta maaf sebelum malaikat maut membawanya pergi, mengakhiri lembaran bukunya yang hampir habis. Terserah, jika ia memang harus dimaki dan dicaci.
“Ma?” panggil Airin lemah.
“Iya, Nak?” sahut Sekar sambil tersenyum.
“Ibu dan ayah, kemana?”
“Mereka pamit sebentar ke sekolah adikmu.”
Airin tersengal sebelum melanjutkan. “Anakku baik, ‘kan, Ma?”
“Riyu sehat, Sayang. Tadi sama susternya. Riyu nggak bisa lama-lama di sini.”
“Kara mana, Ma?”
Sekar menghela napas. Selalu saja Kara yang dipertanyakan setiap kali Airin tersadar dari tidur panjangnya akibat pengaruh obat-obatan.
“Jangan membenci Kara, Ma. Justru disini, aku lah yang merebut Mas Bram dari Kara. Mas Bram masih sangat mencintainya. Setelah aku pergi, aku mohon restui mereka, Ma.”
“Airin, kamu pasti sembuh. Mama tidak menginginkan perempuan lain menjadi menantu Mama.” Kerongkongan Sekartercekat.
“Aku tidak akan sembuh. Malaikat maut sudah menari-nari ingin membawaku pergi. Berjanjilah padaku, Ma. Jaga Ariyu—”
“Mama janji, Ai. Riyu tak akan kekurangan apa pun.”
“Restui Kara dan Mas Bram, Ma. Aku mohon!”
Sekar menyeka air matanya. Di awal Bram membawa Kara ke rumah, ada rasa tidak suka menyelimuti hatinya. Sikap dan sifat Kara yang meskipun sopan, bertentangan dengan kebiasaannya yang dibesarkan dalam adat istiadat Jawa kuno, walau ia telah lama merantau ke Jakarta.
Airin adalah sosok impian pada setiap menantu perempuan, lemah lembut, pintar memasak, penyabar, penurut, anggun dan ramah. Sementara Kara adalah sebaliknya. Sikapnya apa adanya, malahan terlalu jujur. Seringkali ia melihat Kara berdebat dengan Bram. Entah itu membahas masalah pekerjaan, bisnis, politik dan semacamnya dengan bahasa yang terlalu lugas dan blak-blakan.
Tutur kata Kara tidak sehalus Airin. Apalagi, gadis itu seorang pengacara, wanita karier yang lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Berbeda dengan Airin, desainer lepas yang banyak bekerja dari rumah.
Hal tersebut tidak sesuai dengan karakternya seorang perempuan gaya lama, di mana lelaki adalah sosok yang sangat dihormati dan pantang untuk dibantah seperti cara Kara memperlakukan Bram.
Kara sepertinya bukan tipe wanita pemalu dan tunduk pada suami. Bisa jadi Bram bukan lagi menjadi pemimpin rumah tangga, tetapi diletakkan sejajar kedudukannya dengan sang isteri. Tidak ada lagi prinsip suami dilayani bak raja, seperti ia memperlakukan suaminya sendiri.
Pada suatu hari, ia dan Bram berpapasan dengan Airin di sebuah pusat perbelanjaan. Bram memperkenalkan Airin sebagai temannya.
Sekar pun langsung menyukai gadis itu. Ia merasa cocok pada pandangan pertama. Diam-diam Sekar menyelidiki latar belakang Airin melalui orang kepercayaannya.
Di saat Bram mengutarakan niatnya ingin mempersunting Kara, ia semakin meragu, malah meminta Airin sebagai menantu,mengabaikan fakta Airin dan Kara adalah sahabat dekat. Tentu saja keduanya menolak mentah-mentah.
Sekar begitu menyayangi Bram, hingga dengan berat hati ia menyetujui niat anaknya. Namun, sebelum ia memberikanrestunya, sebuah kabar baru terkuak.
Kara bukanlah anak kandung keluarga Akvari, melainkan anak yang dipungut dari panti asuhan.
“Aku mohon, Ma.”
Sekar menarik napas dalam sebelum mengangguk dengan sebuah senyuman yang dipaksakan.
Seulas senyuman lega tercetak tipis di sudut bibir Airin. Dua bulir bening mengalir lembut dari sudut matanya.
***
“Kamu menyebut itu sebagai makan siang?”
Kara yang sedang menyuap bakso ke mulutnya, menggantung sendok di udara. Ia memejamkan mata mengutuk nasib sial yang datang menghampiri. Selera makannya langsung buyar.
“Apa menu makan siangku termasuk dalam klausul kerjasama kita?” sahut Kara dingin.
Ian menarik bangku di depan Kara. Bahunya bergidik melihat kuah bakso yang memerah. “Tidak. Sekadar mengingatkan saja. Capcaisin pada cabe dapat mengiritasi lapisan mukosa lambung jika dikonsumsi saat perut dalam kondisi kosong.”
Kara menenggak air putih dalam gelas, lalu mengelap mulutnya dengan tisu. “Mulutmu persis netizen kurang kerjaan. Dibalik kata mengingatkan selalu tersirat nyinyiran sok menggurui.”
“Itu tergantung persepsi, dari sudut pandang mana kamu melihatnya.” Ian mengerlingkan mata. “Oh, ya, aku senang kamu sudah melupakan interaksi formal di antara kita.”
Kara menatap Ian datar. Melihat senyuman pria itu, migrainnya mendadak kambuh. Harus diakui, sikapnya jadi canggung setelah ciuman kemarin lusa. Wajar saja, mereka tidak punya hubungan apa-apa melainkan karena pekerjaan. Jika bukan alasan profesionalisme, sudah sejak tadi Kara menendang Julian dari hadapannya.
Namun, tidak dengan Julian yang terlihat biasa-biasa saja. Bahkan setelah kejadian itu, Ian rajin mengiriminya pesan basa-basi ala remaja labil dan Kara hanya mengabaikannya. Manusia sinting itu pula yang berani-beraninya mengatakan cinta setelah menciumnya. Lucu sekali!
“Ada apa, Julian? Kita—”
“Ian.”
“Oke, Ian,” jawab Kara mengalah, “kita tidak punya jadwal konsultasi hari ini.”
“Aku hanya mampir melihat keadaanmu.”
“Aku baik-baik saja.”
“Syukurlah. Glad to hear that. Kenapa pesanku tidak dibalas?”
“Kau menemukan sesuatu dari rekaman itu?” kata Kara mengalihkan pembicaraan.
Ian tersenyum menyadari Kara menghindarinya. “Sayangnya tidak. Mataku sudah perih memelototi monitor sejak tadi malam. Jika kamu yang sudah ahli saja tidak menemukan apa-apa, apalagi aku?”
Kara menyingkirkan mangkok baksonya, lalu melipat tangan di atas meja. “Kau tidak cemas masuk penjara?”
“Tentu saja aku cemas,” sanggah Ian cepat.
“Kelihatannya tidak. Kau terlalu santai untuk ukuran seseorang yang akan digiring ke meja hijau.”
Giliran Ian menegakkan tubuh dan menantang mata Kara. “Kaum kami terbiasa menyembunyikan perasaannya ketika diterpa masalah. Tidak semuanya harus ditunjukkan seorang pria pada wanitanya, bukan?”
Kara mengerutkan kening. “Aku bukan wanitamu.”
“Someday you’ll be.”
“Astaga! Kau percaya diri sekali, eh?”
“Jika aku tidak percaya diri, maka aku tidak akan berada di sini.” Ian mengedikkan bahu sembari tersenyum lebar.
Kara menggeram kesal. Kepalanya semakin pusing. Perutnya seketika mulas!
“Maaf, mungkin ini bersifat personal. Tapi aku ingin tahu, siapa Rosi bagimu.”
“Rosi? Dia perawat, kadang-kadang menjadi asistenku di ruang praktik,” jawab Ian sekenanya.
“Kadang-kadang?”
“Ya, kami para dokter punya asisten yang di–rolling setiap minggu untuk membantu di ruang praktik.”
“Pernah terlibat hubungan pribadi?”
Ian terdiam sejenak.
Kara tersenyum menyimpulkan. “Mantan pacar?”
“Hubungan kami tidak seperti itu.”
“Lalu?”
Ian menimbang-nimbang sejenak, lalu ia memutuskan untuk jujur. “Hubungan kami, semacam simbiosis mutualisme. I need her body, she needs my money. As simple as that.”
Kara menganga. “You can’t call that as a kind of simple relationship!”
“Why not?”
“Karena saat ini, bisa jadi Rosi adalah penyebab kau berurusan dengan hukum.”
Ian mengerutkan kening. “Rosi … bukan tipe wanita seperti itu.”
“Kau yakin? Jika hubungan kalian hanya sebatas s*x buddy, tentunya kalian tidak saling mengenal dengan baik, bukan?”
Ian termenung. Rosi yang ia kenal adalah tipe wanita polos, meskipun tubuhnya entah berapa kali telah dicicipi oleh lelaki lain. Wanita itu malah cenderung bodoh di matanya. Atau Kara memang benar, dirinya dan Rosi tidak saling mengenal dengan baik?
“Ada apa dengan Rosi? Kamu mencurigainya?”
“Katakan saja begitu. Hanya sekadar asumsi tanpa bukti. Kau tahu sendiri, asumsi tidak bisa dibawa lebih jauh.”
“Ya, ya, ya. Kamu sudah mengatakan itu berulang kali. Aku sampai hapal,” jawab Ian sambil nyengir.
“I’m done. Selamat siang.” Kara memilih meninggalkan Ian di warung bakso dan memacu mobilnya menuju kantor yang terletak hanya beberapa ratus meter saja dari sana.
Belum ada perkembangan mengenai kasus Ian. Mereka menunggu hasil sidang di Majelis Kehormatan Etika Kedokteran sebelum mengambil langkah selanjutnya. Jika Ian diputuskan bersalah di sana, dia tamat!
Pria itu adalah playboy m***m kelas kakap yang telah tidur entah dengan berapa puluh wanita semasa hidupnya. Tiba-tiba saja, terbersit rasa kecewa dalam hati. Kara buru-buru menepis pikiran liarnya dan berdalih bahwa itu bukanlah urusannya.
Setibanya di kantor, langkahnya disejajari oleh Rista, si paralegal yang tak kalah mesumnya dibanding Julian. “Ka, lo punya pacar baru?”
“Pacar apaan?” jawab Kara bingung.
“Ihh, dasar songong! Si bule tadi pacar lo, ‘kan?”
Kara melongo. “Dia kesini?”
“Iya, nyariin elo. How lucky you are! He must be … big!” seru Rista mengedipkan mata.
“Astaga, Mbak! Bukan pacar gue, sumpah!”
“Halah! Ngaku aja, kenapa sih?”
“Kok, maksa gitu? Woi, bukan pacar gue!” pekik Kara saat Rista melenggang menuju ruangannya.
Kara menyumpah-nyumpah. Ia berjalan cepat-cepat menuju ruangannya sendiri.
Beberapa meter sebelum mencapai pintu, tubuhnya tiba-tiba membeku. Sepasang suami isteri paruh baya, telah berdiri menunggunya dengan senyuman canggung.
***
“Gimana perkembangan kasus lo?” tanya Sam pada Ian yang sedang memutar ulang rekaman CCTV di laptopnya.
“Bad,” jawab Ian tanpa mengalihkan mata. Ia sudah bosan melihat rekaman yang tidak menunjukkan celah apa pun. Setidaknya, penglihatannya menangkap semua berjalan seperti biasa. Bahkan, video di bagian farmasi terlihat sangat jelas dari berbagai sudut. Resepnya diterima apoteker, obatnya disiapkan sementara kertas itu dihimpit pemberat, lalu obatnya diberikan pada perawat. Rekaman di IGD pun menampakkan hal yang wajar.
Tidak ada sabotase seperti kecurigaan Kara. Rosi pun sepanjang yang ia ingat, bersikap biasa-biasa saja.
Ian menghela napas berat sebelum memijat keningnya. Masalahnya sudah seperti benang kusut yang semakin sulit diurai, ketika ujungnya saja belum ditemukan.
Demi apa pun, mereka harus menemukan bukti sebelum sidang di majelis kehormatan digelar Senin depan. Jika ia diputuskan bersalah di sana, tinggal menunggu detik-detik sebelum ia digelandang ke hotel prodeo.
Sam menepuk bahunya. “Gue, udah cerita sama Abang. Dia punya beberapa teman di kepolisian.”
Ian menoleh cepat. “Kenapa?”
“Lo nggak seharusnya menghadapi ini sendirian, Ian. Gue dan Abang sama-sama buntu soal medis dan hukum. Sebaiknya lo kasih tahu Padre. Beliau punya banyak pengalaman hidup. Siapa tahu kejadian ini disengaja, ‘kan? You need backup!”
Ian berdecak kesal, lalu menggeleng. “Nggak perlu! Padre tahu pun, toh, nggak ada gunanya.”
Sam menghela napas. Ia tidak mengerti hubungan macam apa yang terjalin antara Ian dan keluarganya. Padahal, Antonio dan Hanna adalah orang yang baik dan perhatian. Ian benar-benar tertutup soal itu. Meskipun bersahabat cenderung seperti bersaudara, ada ranah pribadi yang tak berhak ia campuri ketika Ian memilih menutup diri. Sama halnya dengan Ian yang tidak mau ikut campur urusannya jika ia tidak menceritakannya terlebih dahulu. Mereka saling menghargai privasi masing-masing.
Ian menyodorkan laptopnya pada Samudera. “Coba lihat, barangkali lo menemukan sesuatu.”
Sam menerima laptop dan memutar rekaman sebanyak dua kali. Sesekali keningnya berkerut tipis. Tiba-tiba, ponselnya berdering di atas meja. Ia menyambar benda itu dengan malas.
“Siapa?” tanya Ian.
“Bawahan gue.” Sam mengusap ponsel, lalu menempelkannya ke telinga. “Ya?”
...
“Hah?!” Wajahnya mendadak pias. Ia menoleh pada Ian yang balas menatapnya penasaran.
“Apa apa?” cecar Ian setelah Sam menurunkan ponsel dari telinganya.
“Saham perusahaan … anjlok!”