“Gimana kondisi Airin? Dirawat di mana sekarang?” tanya Costa setelah sarapan pagi itu. “Pindah ke RS Jantung. Masih gitu-gitu aja,” jawab Bram tak acuh. Ia menyendok sisa nasi goreng ke mulutnya. “Kok, lo gitu, sih? Nggak niat banget jawabnya?” “Terus, gue mesti jawab apa?” “Biar bagaimanapun, Airin itu isteri lo sekarang. Dia Tanggung jawab lo.” Bram mengangkat bahu mengabaikan sahabatnya. Costa geleng-geleng kepala. Hubungan Bram dan Airin di luar terlihat mesra, tetapi di dalam seperti air dan minyak. Ia tahu, Bram masih belum bisa melupakan Kara. Namun, seharusnya Bram dapat menghargai Airin selaku isterinya, ibu dari anak perempuannya. “Akhirnya Kara move on juga, ya,” celetuk Costa. “Maksud lo?” “Kemarin lo dengar sendiri, dia mau nikah sama bule.” “Itu kliennya.” “Masa?

