Sepulang dari kantor, Kara mampir ke sebuah gerai roti. Makanan bertekstur lembut tersebut sudah biasa menemaninya setiap malam, kala ia membawa pekerjaannya pulang atau saat menonton serial TV kesukaannya, seperti NCIS, CSI, Suits dan beberapa serial kriminal yang ditayangkan di saluran televisi berbayar.
Ia membungkuk di antara setumpuk roti dengan berbagai bentuk dan ukuran. Matanya berbinar mengambil beberapa bungkus dengan isian keju dan bergegas memasukkannya ke dalam keranjang.
“Ngeborong, Ka? Banyak banget?” Sebuah suara menginterupsinya.
Kara menegang sejenak sebelum kembali menguasai diri. Kepalanya tetap tidak menoleh ke arah suara tersebut. “Iya, dong.Gue nggak harus jadi isteri konglomerat untuk membeli apa yang gue mau, ‘kan?” jawabnya ketus.
Airin mengabaikan sindiran pedas Kara. “Keseringan makan gluten nggak baik buat kesehatan, lho.”
“Kenyataannya, sampai sekarang gue sehat-sehat saja. Apa kabar dengan lo yang keseringan diet? Lihatlah, badan lo udah kayak mayat hidup.” Kara menatap Airin dari atas sampai bawah dengan pandangan menilai. Sudut bibirnya terangkat sinis. Sahabatnya yang dahulu bertubuh ideal dan menjadi body goals setiap gadis, kini kurus kering. Tulang pipi dan selangkanya tampak menonjol. “Sepertinya, jadi isteri orang kaya nggak menjamin hidup lo bahagia, ya?”
Airin membeku di tempatnya. Bibirnya bergetar. Ia mengusap genangan air mata yang menetes tiba-tiba. Kara adalah sahabatnya, tapi kali ini kondisinya telah berbeda. Ia tidak bisa untuk tidak termenung mendengar ketajaman lidah Kara yang menghunjam hingga ke ulu hati.
Ia tidak tahu, entah sampai kapan Kara akan membencinya. Lebih dari empat tahun berlalu, tapi tak satu kali pun ia berhasil menemui sahabatnya, atau lebih tepatnya mantan, seperti yang selalu Kara katakan. Airin rajin mampir ke rumah Kara, ke kantor,bahkan menunggunya di tempat mereka biasa nongkrong. Kara tak pernah lagi menjejaki tempat istimewa mereka tersebut, terhitung semenjak Airin menerima pinangan orang tua Bram, yang saat itu masih berstatus sebagai kekasih Kara.
Saat ini, sebuah kebetulan membawa mereka bertemu berhadap-hadapan. Ia bersyukur sekaligus bersedih.
Sementara Kara menatap Airin dengan raut muak. Perasaannya campur aduk. Tak dipungkiri, ia membenci sekaligus menyayangi Airin. Perempuan itu adalah sahabat baiknya semenjak kecil. Mereka bagaikan sekeping koin yang selalu bersisian, bahkan seperti saudara yang tak terpisahkan. Mereka berbagi tawa, air mata, cerita suka dan duka. Tidak ada rahasia yang terpendam. Apa yang Airin rasakan, Kara pun dapat merasakannya.
Namun, layaknya sekeping koin, sifat mereka pun bertolak belakang. Airin adalah tipe idaman setiap pria, bersifat keibuan, lemah lembut, pintar merias diri, jago di dapur, dan bertubuh proporsional.
Karakternya berbanding terbalik dengan Kara yang tomboi dan cenderung suka berterus terang. Penampilan Kara pun seadanya, lebih suka mengenakan jeans dan kaos atau kemeja panjang untuk menyembunyikan lekuk tubuhnya yang sebenarnya sangat sempurna. Mungkin itu pula yang membuat Bram berpaling dan menjadikan Airin sebagai isterinya.
“Bisa kita bicara, Ka?” pinta Airin sambil terus mengekori langkah Kara. Tubuhnya sudah lelah. Namun, ia tetap bertekadmeluluhkan hati Kara, sekaligus mengurai benang kusut yang menghubungkan mereka.
Kara tidak punya waktu untuk berbasa-basi mengenai masa lalu yang hanya akan membuatnya suntuk sampai malam. Ia membawa setumpuk berkas yang harus dikerjakannya weekend ini sebagai bahan sidang di hari Senin. Rengekan Airin hanya dianggap seperti bunyi mesin rusak di gerai roti asal Singapura tersebut.
“Kara, sampai kapan lo diemin gue? Izinkan gue menjelaskan posisi gue, Ka!” Airin menyambar tangan Kara yang segera dikibaskan kasar oleh Kara.
“Tak ada penjelasan apa pun yang bisa merubah masa lalu, Ai. Hati gue masih sakit atas pengkhianatan kalian berdua. Cukup dengan lo menjauh dari hidup gue, maka gue akan melupakan sedikit demi sedikit luka yang membuat gue mati rasa!”
Kara mati-matian menahan geliat kabut tipis di bola matanya. Ia hanyalah perempuan bodoh yang masih memelihara cinta sekaligus dendam di lubuk hati. Mungkin hanya dengan kematian Bram dan Airin yang bisa membuatnya bernapas lega, saat ia tak perlu lagi berjumpa dengan kedua makhluk itu entah disengaja maupun tidak.
“Maafin gue, Ka. Gue tahu, apa pun pembelaan yang gue katakan hanya akan berakhir seperti dengungan kosong di kupinglo. Tapi lo harus tahu, gue nggak pernah berniat mengkhianati lo.”
“Lalu?” Kara terpancing. Gejolak emosi masih tercetak jelas di raut wajahnya.
“Gue terpaksa, Ka.”
“Hah, omong kosong!” bentaknya nyaring. Beberapa pasang mata melirik ke arah mereka berdua. Kemudian, Kara memilih pergi, mengabaikan Airin yang mengejarnya.
“Aduh!” Airin terduduk di lantai. Tubuhnya yang lemah tak bisa dipaksakan untuk mengejar Kara yang berjalan bak kesetanan. Ia memijit-mijit pergelangan kaki. Hatinya remuk melihat Kara hanya menoleh sekilas, tidak seperti dulu ketika Kara selalu hadir saat ia butuh. “Maafin gue, Ka. Maaf!” serunya terisak-isak.
Kara terus memacu langkahnya. Kerongkongannya tersumbat. Sebenarnya, ia tidak tega meninggalkan Airin atau pun mengabaikan jeritannya. Apalagi setelah teringat kata-kata ibunya bahwa Airin sedang sakit. Wanita itu memang terlihat kurus dan pucat.
Setibanya di luar, ia menghirup napas dengan rakus lalu mengembuskannya keras-keras. Tiba-tiba, matanya terpaku padasesosok pria yang sedang berjalan ke arahnya.
Pandangan mata mereka bersirobok. Pria itu seketika mematung. Sialnya, sorot matanya masih memancarkan kerinduan yang sama terhadap Kara.
Sejurus kemudian, pandangan Kara turun ke bawah. Pria itu sedang menggenggam tangan seseorang. Kara berdecak sinisseraya menahan sesak di dadanya.
Pria itu pun tersadar dan buru-buru melepaskan genggaman tangannya. Tingkahnya persis maling tertangkap basah. Ia berlarimengejar Kara yang berjalan cepat menuju mobilnya. “Kara, tunggu! Aku bisa jelaskan!”
“Kalian semua membuatku muak!” bentak Kara kasar sembari menghempaskan tangan Bram.
Bram tidak menyerah dengan kembali memegang pergelangan tangan Kara erat-erat. “Kara, tolong dengarkan dulu!”
“Apa lagi?” Matanya sekilas menangkap Airin sedang berjalan terpincang-pincang mendekati mereka.
“Aku … aku merindukanmu, Ka,” ucap pria itu lirih.
Airin membeku di tempatnya, sedangkan Kara tersenyum masam.
***
Dua cangkir cappucino hangat lolos ke dalam perutnya. Namun, Kara masih membolak-balik berkas di tangannya. Berulangkali ia membaca, tak satupun berhasil masuk ke benaknya.
Ia membenturkan kening ke pinggiran meja, berusaha keras menghalau bayangan pertemuan pertama kalinya dengan Bram sejak pria itu menikah.
Bram masih terlihat sama, gagah dan tampan. Bekas cukuran berwarna keabu-abuan membayang di sepanjang garis rahangnya, alisnya tebal, hidungnya mancung, sorot matanya teduh, serta sikapnya yang selalu melindungi.
Mereka menjalin hubungan sejak Kara masih kuliah dan mengalami pasang surut sepuluh tahun lamanya. Awalnya, mereka berniat menikah setelah menyelesaikan pendidikan magister dan Kara duduk sebagai pengacara. Sementara Bram memang telah dipersiapkan melanjutkan bisnis keluarganya.
Namun, impian dan harapan pupus ketika Bram malah menerima perjodohan dengan perempuan yang tak lain tak bukan adalah sahabat Kara sendiri. Siapa yang tidak sakit hati?
Kara mungkin bisa menerima jika perempuan itu bukanlah Airin. Ia juga tidak akan sesakit itu bila keduanya menolak. Tetapi nyatanya, mereka menerima begitu saja. Hatinya seketika hancur.
Jarum pendek pada jam dinding menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Kara bergegas berganti pakaian.
Tak lama kemudian, ia merapatkan pintu kamarnya perlahan. Matanya melirik ke kamar Hanif yang setengah terbuka. Pria itu sedang sibuk dengan ponselnya—mungkin menelepon tunangannya—sehingga tidak menyadari Kara lewat di depannyakamarnya.
Lampu-lampu di luar telah dimatikan pertanda seluruh penghuni rumah kini menempati kamar masing-masing. Karamemasukkan kunci cadangan yang ia simpan di saku celana, lalu menarik gagang pintu pelan-pelan.
“Mau kemana, Ka?”
Kara terperanjat. Jantungnya seakan mau copot.
Alamak!