bc

NAFKAH BATIN

book_age16+
1.9K
FOLLOW
7.1K
READ
drama
twisted
sweet
like
intro-logo
Blurb

Davin Diolano, 28 tahun, menuntut hak batin pada Zara Annisa, 24 tahun, yang tidak pernah ia dapatkan selama satu tahun pernikahan. Zara bukannya menolak. Ia ingin juga menunaikan kewajiban pada Davin sebagai wujud pengabdian sebagai seorang istri, tetapi suaminya itu harus memenuhi sejumlah syarat.

Apa yang sebenarnya yang membuat Zara Annisa enggan memenuhi kewajibannya? Apa saja syarat yang diajukan Zara? Bagiamana sikap Davin yang merasa tidak dihargai oleh Zara sebagai istrinya? Lalu, apa sebenarnya yang melatarbelakangi Davin mendadak menuntut hak batinnya?

chap-preview
Free preview
Satu Tahun Tanpa Nafkah Batin
[Kalau malam ini kamu masih tak mau memenuhi kewajibanmu, jangan salahkan jika aku menghadirkan wanita lain di rumah kita.] Satu pesan kukirim melalui aplikasi berwarna hijau kepada Zara, wanita mantan perawat oma. Dia sudah melupakan kewajibannya sebagai istri satu tahun terakhir ini. Tanpa menunggu balasan daari pesannya, aku melempar ponsel ke sofa. Rasa sakit di kepala membuatku tak bisa berbasa-basi lagi padanya. Satu tahun lalu, Zara kunikahi atas permintaan eyang dengan perjanjian hitam di atas putih, bahwa aku harus memiliki anak darinya, jika ingin eyang menandatangani penyerahan harta warisan. Aku tak pernah menganggapnya ada, tak pernah mengajak ke pesta atau acara-acara penting di kantor. Aku juga tak berniat memperkenalkan dia pada teman-temanku. Urusannya hanya sebatas rumah, tak mungkin lebih dari itu. Semua orang tau jika aku tidak akan bisa move on dari Avril, wanita yang gagal kunikahi karena tidak mendapat restu dari eyang. Karena alasan itulah, aku lebih nyaman menyembunyikan Zara dari khalayak ramai. Penasaran dengan balasan yang Zara kirimkan, aku menyambar kembali ponsel, lalu memeriksanya. Sial! Bisa-bisanya dia mengabaikan aku. Padahal pesan yang kukirimkan sudah dibaca. Sepertinya, aku memang harus nekat memberinya sedikit pelajaran. “Iis, tolong bawa pesananku kemari,” perintahku melalui sambungan telepon. Tak berapa lama, sekertaris pribadiku masuk dengan membawa sebuah paper bag. “Ini, Pak. Mau dikirimkan pada mbak Avril?” tanyanya. “Bukan pada Avril, tapi kirimkan ke rumah,” jawabku. “Baik.” Dia beranjak pergi. Aku berdiri mematung di dekat jendela. Memikirkan rencana untuk dapat menakhukkan wanita itu. Kenapa aku jadi terobsesi padanya? Padahal, Zara hanya hal kecil yang tidak aku perhitungkan keberadaannya. Aku mengangkat ponsel, dan menekan nomor Zara. Lama menunggu, akhirnya terdengar sambungan terjawab. “Halo, sudah baca pesanku?” tanyaku berbasa-basi. “Sudah,” jawabnya datar. “Kenapa tak dibalas?” “Yang penting sudah aku baca ‘kan?” Astaga, jawabannya membuatku kesal. “Oh, begitu ya? Sepertinya, kamu perlu diajarkan sopan santun.” Aku mematikan sambungan telepon dengan geram. Lalu, menyambar tas kerja dan segera menemui Iis. “Mana paper bag tadi?” tanyaku. “Baru mau saya kirimkan, Pak.” “Gak perlu,” ucapku. Iis menyodorkan paper bag tadi. Segera kusambar dan membawanya pergi. Seorang sopir membawaku pulang sesuai perintahku. Hatiku sudah berkecamuk memikirkan setiap perkataan Zara yang tidak pernah terdengar enak di telingaku. Sesampai di rumah, aku langsung menuju kamar. Tempat di mana Zara biasa menghabiskan waktu. Aku mendorong kasar pintu, hingga membuat seseorang yang ada di dalam sana menjadi terkejut. Zara sedang melipat alat salat. Dengan segera, dia bangkit dan mendekat untuk mengambil tas kerjaku, kebiasaannya di setiap aku pulang kerja. Aku melempar tas ke sofa. Hal itu membuatnya terkejut. “Pakai ini,” perintahku sambil menyodorkan paper bag padanya. Aku berjalan berjauh, membuka jas dan dasi, kemudian menjatuhkan bobot tubuh ke sofa. “Apa ini?” tanyanya. Aku memilih bungkam, membiarkan dia mencari tau sendiri. Tangannya bergerak merogoh isian papar bag. Sebuah lingerie berwarna soft pink berada dalam genggamannya. Ia terbelalak, dan berakhir dengan membuang barang itu ke ranjang. Sudah kuduga. Dia pasti tak akan mau mengenakannya. “Pakai sekarang atau-“ “Atau apa? Mau melaporkan aku pada oma, begitu? Padahal cucunya sendiri yang berbuat curang dalam pernikahan ini,” ucapnya memotong ucapanku. Terdengar sinis. “Terserah mau seperti apa penilaian kamu. Aku tak perduli. Yang jelas, kamu harus pikirkan benar-benar isi pesanku tadi.” “Masih berkeinginan menuntut hak, sedangkan kewajiban saja tak pernah kamu tunaikan.” “Zara, jaga ucapan! Kewajiban seperti apa yang belum aku tunaikan? Uang, harta, kemewahan sudah kamu dapatkan. Mana imbal baliknya untukku?” Zara tak membalas perkataanku. Malahan, dia bergerak menjauh. “Berhenti di situ! Kamu gak dengar ucapanku, ha!” Aku mendekat, dengan geram menyentak lengannya hingga tubuh ramping itu menabrak dadaku. “Aku gak berselera b******a dengan laki-laki yang di hatinya masih ada wanita lain,” hardiknya sambil meronta minta dilepaskan. Aku cukup terkesiap, memaklumi juga jika Zara mengatakan hal itu. “Jadi, apa maumu aku harus melibatkan hati, begitu?” Aku menelisik setiap inci dari wajahnya. Zara terlihat serba salah. “Oke, anggap saja aku menginginkan kamu sepenuh hati. Berarti kamu mau memenuhi nafkah batinku?” “Lepaskan, Davin! Aku gak mau!” “Kamu masih saja menolak setelah aku memintanya berulang kali! Apa aku perlu mengemis untuk mendapatkannya?” bentakku kasar. Zara terkesiap. Bibirnya bergetar antara ingin berbicara atau bergeming saja. “Lalu, apa guna ibadahmu setiap hari jika satu keinginan suamimu tak bisa kamu penuhi?” “Jangan bawa-bawa ibadahku. Kamu pun sebagai imam tak pernah menunjukkan itikad baik sebagai suami.” “Oya, apa kamu sadar, kalau perkataanmu baru saja menyinggung harga diriku?” Aku ingin sekali marah. Meluapkan emosi dengan berkata kasar. Tetapi, rasa di hati tak setega itu. “Aku tanya untuk yang terakhir kali, Zara Annisa. Bersediakah memenuhi kewajibanmu malam ini?” : : : POV Zara Annisa Apa dia pikir pernikahan hanya melulu soal s**********n? Pemenuhan hasrat untuk mencapai kepuasan? Aku tau, di balik sikapnya yang sok cool itu, dia berotak m***m. Nyatanya, dia selalu memaksa minta dilayani. Aku melempar ponsel setelah menutup panggilan dari Davin. Rupanya dia marah setelah pesannya aku abaikan. Kalau merasa membutuhkan nafkah batin, kenapa tidak memintanya baik-baik? Atau berusaha memperbaiki sifatnya yang kekanakan itu. Bagiamana aku bisa mempertimbangkan dan menjadikannya panutan di setiap sisi kehidupan ku, sementara di hatinya masih ada wanita lain? Dia pun tidak berusaha menghindari wanita mantan kekasihnya, bahkan terkesan mengumbar kemesraan di hadapan banyak orang. Apa dia pikir aku buta? Bisa dengan mudah melupakan kejadian demi kejadian menyakitkan melihat kemesraannya dengan Avril di hadapanku Malam ini, aku sengaja mengabaikan pesannya. Sudah berulang kali dia mengirimkan pesan serupa, dan aku tak berkeinginan membalasnya. Kubaca lagi isi pesannya yang bersifat mengintimidasi itu. Sama sekali tak lucu. [Kalau malam ini kamu masih tak mau memenuhi kewajibanmu, jangan salahkan jika aku menghadirkan wanita lain di rumah kita.] Andai saja aku bisa sedikit nekat dengan menunjukkan pesan ini pada oma, tentu dia akan kehilangan segala yang dia punya dari oma. Sayangnya, aku tak setega itu. Dalam termenung, tiba-tiba getar ponsel di tangan mengagetkan aku. Oma sedang menelepon. “Halo assalamualaikum, Oma,” sapaku. “Waalaikumsalam. Bagaimana, sehat?” tanyanya. Pertanyaan yang berulang-ulang setiap kali menelepon. Bukannya aku yang menanyakan kabarnya lebih dulu, tapi malah oma yang antusias akan kabarku? Ah, andai saja cucunya sama perhatiannya dengan oma. “Zara!” “Eh, iya. Alhamdulillah baik,” jawabku tergagap. “Oma lagi di luar. Nanti mau mampir sebentar. Davin sudah pulang?” “Em ... belum, Yang. Pasti masih di jalan.” “Jangan bohong. Oma baru saja menelepon ke kantornya kalau Davin masih di sana. Apa dia masih berbuat kasar padamu?” Huh, kalau sudah tau di kantor kenapa masih tanya? Kan menjebakku jadinya. “Zara!” “Enggak, Oma. Sama sekali enggak. Kami baik-baik saja kok.” “Oke, nanti kita bicara lagi di rumah. Ya sudah, assalamualaikum. “Waalaikumsalam.” Aku bergegas menjalankan kewajiban empat rakaat, salat isya sebelum oma datang. Ingin menyambutnya dengan mengajak makan malam. Biasanya eyang akan meninggalkan piring bekas makannya jika datang kemari. * Aku baru saja melihat sajadah, ketika tiba-tiba Davin pulang dengan mendobrak pintu. Apa-apaan dia? Apa dia marah lantaran pesannya tidak aku balas? Aku mendekat untuk membantunya membuka jas, dasi dan membawakan tas. Tetapi, Davin malah melempar tasnya ke sofa. Oh, jadi dia benar-benar marah. “Pakai ini.” Davin memberikan sebuah paper bag padaku. Aku mengernyit, menatapnya untuk mendapatkan jawaban. Rupanya dia enggan berbicara. “Apa ini?” tanyaku. Davin masih diam saja. Dasar tuli! Apa dia tak mendengar pertanyaanku? Terpaksa aku mencari tau sendiri barang bawaannya. Setelah mengeluarkan isinya ternyata sebuah lingerie berwarna soft pink. Aku melebarkan pakaian ini, lalu bergidik ngeri melihat kesemua bagian yang kurang bahan. Apa-apaan ini? Dia berpikir bisa melakukan adegan seperti di film dewasa denganku? Dengan mengenakannya pakaian miris ini? Cih! Aku melempar pakaian itu ke atas ranjang sambil melirik Davin. Rahangnya terlihat mengeras. Sepertinya, sebentar lagi emosi Davin akan meledak, lalu mengomel seperti biasanya. “Pakai sekarang atau kupaksa kau tidak mengenakan baju!” ****

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.3K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
98.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.3K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook