Menuntut Nafkah Batin

1169 Words
“Pakai sekarang atau kupaksa kau tidak mengenakan baju!” “Atau apa? Mau melaporkan aku pada oma, begitu? Padahal cucunya sendiri yang berbuat curang dalam pernikahan ini.” Aku memotong ucapannya. “Terserah mau seperti apa penilaian kamu. Aku tak perduli. Yang jelas, kamu harus pikirkan benar-benar isi pesanku tadi.” “Masih berkeinginan menuntut hak, sedangkan kewajiban saja tak pernah kamu tunaikan.” “Zara, jaga ucapan! Kewajiban seperti apa yang belum aku tunaikan? Uang, harta, kemewahan sudah kamu dapatkan. Mana imbal baliknya untukku?” Ah, sudahlah. Lebih baik pergi saja daripada menanggapi ocehan gilanya. Lagipula, sebentar lagi oma datang. Membuat penyambutan untuk oma akan lebih baik. “Berhenti di situ! Kamu gak dengar ucapanku, ha!” Dia membentak. Apa gak bisa ngomong lebih halus? Bagaimana aku bisa tergoda sementara sifatnya kasar begitu? Davin mendekatiku dengan marah. Terlihat dari caranya berdiri lalu berjalan dengan cepat. Tanpa basa-basi, dia menyentak lenganku hingga aku terjatuh ke dadanya. Baru kali ini, tubuh kami sedekat ini. Tiba-tiba dadaku berpacu lebih kuat. Tetapi melihat sorot matanya yang nakal itu, membuatku segera meronta. “Aku gak berselera b******a dengan laki-laki yang di hatinya masih ada wanita lain,” ucapku bersungguh-sungguh. Ketika mengucapkan kata-kata itu, terlintas bayangan wanita seksi yang sering bersama Davin, yaitu Avril. “Jadi, apa maumu aku harus melibatkan hati, begitu?” Sialan, kenapa dia memandangku seperti itu? Apa Davin benar-benar akan meminta haknya malam ini? “Oke, anggap saja aku menginginkan kamu sepenuh hati. Berarti kamu mau memenuhi nafkah batinku?” Tuh, kan? Dia pasti sudah mode on. Gawat. “Lepaskan, Davin! Aku gak mau!” hardikku. “Kamu masih saja menolak setelah aku memintanya berulang kali! Apa aku perlu mengemis untuk mendapatkannya?” bentaknya kasar. Bukan, bukan seperti itu niatku. Andai saja dia meminta dengan cara lebih baik .... “Lalu, apa guna ibadahmu setiap hari jika satu keinginan suamimu tak bisa kamu penuhi?” Kok ngomongin ibadah sih! Benar-benar ... Davin! “Jangan bawa-bawa ibadahku. Kamu pun sebagai imam tak pernah menunjukkan itikad baik sebagai suami.” “Oya, apa kamu sadar, kalau perkataanmu baru saja menyinggung harga diriku?” Apa aku sudah keterlaluan? Rasanya enggak. “Aku tanya untuk yang terakhir kali, Zara Annisa. Bersediakah memenuhi kewajibanmu malam ini?” What? “Zara!” Dia serius? “Kenapa Cuma diam?” Dia pikir, aku bakal mau ditunggangi sama dia, hamil terus melahirkan anak dari pria yang bahkan tidak pernah menganggapku ada? Dia pikir, aku tak tau perselingkuhan dia di belakangku dengan Avril yang katanya Cuma rekan kerja itu? Dia pikir .... “Hump ....” Sialan! Davin, Davin menciumku. Kenapa mataku jadi berkunang-kunang? “Diam berarti iya,” bisiknya setelah itu. Aku mendorongnya dengan kuat. Membuat tubuhnya mundur beberapa langkah. “Dasar c***l. Kamu menciumku!” Aku mengusap bibir berulang kali menggunakan ujung jilbab yang kukenakan. “Sinting!” hardikku. Davin malah tertawa. “Cabuk katamu? Aku ini suamimu. Bahkan jika aku menuntut lebih dari ini, itupun sudah menjadi hakku.” “Tapi gak begini caranya!” “Tapi tadi diam saja. Kenapa sekarang jadi marah? Bilang saja menikmati, kelihatan kok.” “Davin!” Emosiku seketika memuncak. Aku mendekati Davin, kemudian mendorongnya ke belakang. Sayangnya, tenagaku tak cukup kuat untuk membuat tubuhnya yang kekar itu berpindah tempat. Malahan, dia menyekap aku dalam dekapan. Sekilas, aku merasakan aroma maskulin dari parfumnya. Terasa menentramkan. Inilah yang kusukai darinya, selalu harum walau sudah berkerja seharian. “Tak ada alasan lagi, Zara. Apa kamu pikir, aku punya stok kesabaran yang melimpah?” Davin mendorongku ke pembaringan. Aku menoleh, mengamati ranjang yang seakan sedang menunggu kami. “Davin, hentikan!” Dia melepas jilbab instanku bersamaan ambruknya tubuhnya yang menindih tubuhku. Saat itulah, tiba-tiba pintu di dobrak. “Astaga, sedang bergulat rupanya. Kenapa gak dikunci?” “Oma!” kejutku hampir bersamaan dengan Davin. “Oma pikir kamu menyiksa Zara. Gak bisa diam-diam saja apa? Gaduhnya sampai ke luar.” Kami saling berpandangan. Dan sepersekian detik baru menyadari jika kami saling berpelukan layaknya sepasang yang sedang memadu kasih. “Lanjutkan. Oma mau langsung pulang.” Davin langsung beranjak, kemudian mengejar oma. Sedangkan aku sibuk membenahi gamis yang tersingkap dan segera mengenakan jilbab instan yang dilepas paksa oleh Davin. Gara-gara Davin, eyang pasti memikir kami akan macam-macam. Tak berselang lama, Davin masuk lagi. “Kenapa gak bilang kalau oma mau datang?” Pertanyaannya bernada tinggi. “Bukannya kamu langsung mengintimidasiku begitu datang tadi? Kamu nanya, gak?” “Banyak alasan.” Davin marah. Ia membuka dan menutup pintu kamar mandi dengan kasar. Astagfirullah, kuatkan hatiku menghadapinya, ya Rabb. Bukan tak ingin menjadi istri penurut, istri yang tampak manis dan enak di pandang oleh suami. Tetapi, sikap dan tabiat Davin yang kasar dan arogan yang membuatku bersikap seperti ini. Sejak awal menginjakkan kaki di rumah ini, dia sama sekali tidak pernah berkata lembut. Bahkan kerap sekali menghardik dengan kata-k********r. Pantaskah dia mendapatkan haknya, sementara menjadikan aku layak di sisinya saja dia tidak sanggup? Sampai tengah malam, aku tidak melihat Davin kembali ke kamar. Seperti itu kebiasaannya ketika sedang marah. Dia akan memilih menyendiri di ruang kerjanya. Dalam hati, aku tetap merasa bersalah. Ingin sekali menyusulnya ke dalam sana, memberikan selimut saat dia sengaja tertidur di sana dan menemani tidurnya hingga matahari menampakkan diri. Ingin sekali, tetapi entah kapan. Mungkin tak akan pernah terjadi. ** Menjelang makan siang, tiba-tiba oma datang menemuiku. Oma membawa seorang pekerja salon dan menyuruhku berdandan seperti keinginan Oma. Bawahan kulot berwarna putih, kemeja polos hitam yang sengaja dimasukkan ke dalam oleh mbak salon tadi ditambah pasmina hitam polos, melengkapi penampilanku siang ini. “Kita berangkat,” ajak oma. “Kemana, Oma?” “Ke kantornya Davin.” “Ha! Ngapain?” “Makan siang, dong!” “Gak usah lah! Zara makan siang di rumah aja,” tolakku tanpa basa-basi karena oma pun tidak mengatakan apa-apa sejak awal jika mengajak ke kantornya Davin. “Oma yang mengajakmu, bukan Davin. Kamu harus terbiasa bersinggungan dengan orang banyak. Teman-temannya Davin biar tau kalau dia punya istri yang cantik.” “Gak perlu, Oma. Aku dan Davin tak punya kesulitan apa-apa. Tak masalah kalau aku harus di rumah saja, gak perlu tau kebiasaan Davin dan temannya di kantor.” “Kamu takut Davin marah?” Tebakan oma benar sekali. Sayangnya, aku hanya bisa menggeleng. “Itu kantornya oma. Davin Cuma kerja di sana, sama seperti karyawan lainnya. Kamu gak perlu takut. Ayo!” Jadi, oma mendadani aku seperti ini hanya untuk bertemu Davin. Aku jadi tersenyum kecut. Bisa kegeeran dia. “Zara, mulai sekarang, ikut kemana pun Davin pergi. Oma tak suka melihat uler keket itu semakin dekat dengan suamimu.” Uler keket? “Avril maksud Oma?” “Iya itu dia.” “Jadi, Oma mengajakku ke sana untuk makan siang sama Davin atau bertemu dengan Avril?” “Dua-duanya.” Keadaan bertambah rumit. Apa jadinya jika aku bertemu dengan Avril nanti? Dia pasti akan mengolok-olokku sama seperti waktu itu. “Pantas Davin gak betah di rumah. Penampilannya saja mirip emban.” Sialnya lagi, aku tak bisa menolak ajakan oma. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD