UL 3

713 Words
Entah benar atau tidak, tapi saat aku menatap Abra dia juga sedang menatapku dan langsung mengalihkan tatapannya. Entah itu benar atau hanya perasaanku saja, yang jelas aku tidak peduli. Bosan sih kalau harus ngejar orang yang nggak sama sekali natap kita. Biarkanlah. "Eh, jelek!" aku mendengus jengkel saat Huda mendorongku. "Apa sih, nyet?" tanyaku jengkel. "Itu ada, pak Imran." kata Huda sambil mengedikkan dagunya kedepan. Aku melihat kedepan, dan ternyata benar ada pak Imran, guru matematika. "Nggak balik lo?" tanya Huda. "Nggak, gue duduk sini aja. Bentar gue mau ambil buku, awas kalau sampai ada yang duduk disini." jawabku, lalu berjalan kearah tempat dudukku. "Gue duduk dibelakang, Nan." kataku sambil mencari buku tulis matematika ku.  "Sama?" tanya Nanda. "Biasa, anak monyet si Huda." balasku. Tanpa mengatakan apa apa lagi aku langsung kembali ketempat duduk Huda. Aku sempat melihat Nanda yang menoleh kebelakang melihatku. Aku tau Nanda cemburu, tapi aku dan Huda sudah berteman sejak SMP jauh sebelum aku mengenal Nanda. Karena itu aku tidak bisa menjauhi Huda, walaupun tau jika sahabatku menyukainya. "Buka buku paket halaman 59, kerjakan nomor 1 sampai 10. Saya ada keperluan mendadak, jadi tolong ketua kelas koordinir anak buahnya. Tugasnya dikumpul hari ini juga." ujar pak Imran, lalu pamit pergi meninggalkan kelas yang langsung disambut sorakan bahagia satu kelas. "Diem woy, jangan berisik! Kerjain tugasnya, hari ini dikumpul." kata Marco sang ketua kelas, yang langsung diserbu cibiran satu kelas. "Kerjainnya yah, nyet. Gue nyontek entar." kataku, aku membalikan tubuhku kesamping, menghadap kearah tempat duduk Abra. "Bebeb emang ganteng, tapi sayang hatinya beku kaya gunung es." gumamku, yang aku yakin hanya aku dan mungkin saja Huda yang bisa mendengar. "Enak banget omongannya, gue ngerjain nah lo enak enakan ngeliatin Abra. Ogah!" balas Huda. Aku menatap sebal kearahnya. "Lo kenapa sih nggak bisa banget bikin gue seneng?" "Seneng sih seneng, tapi nggak perlu ngorbanin orang lain juga kali." balasnya. "Apa omong." aku hanya mengangkat bahu acuh. "Kyyyaaaaaaaa!" Aku berteriak saat merasakan sebuah tangan memiting leherku, dan ternyata orang adalah Huda si anak monyet. "Lepas b**o, sakit!" aku memegang tangan Huda yang masih bertengger dileherku. Aku semakin mundur kebelakang saat Huda mengencangkan tangannya dileherku sampai aku harus bersandar didadanya. "Anjir, Prilli sama Huda ngapain pelukan?" kata Rahmat yang langsung menarik perhatian orang orang satu kelas. Aku masih memukul lengan Huda dileherku tapi dia tidak mempedulikannya sama sekali. Aku mengalihkan pandanganku keseluruh kelas, aku melihat Nanda yang menatap sedih dan cemburu kearahku yang kubalas ringisan. Lalu aku melihat Abra yang juga menatapku, kali ini tidak mengalihkan tatapannya lagi saat aku mendapatinya menatapku. "Bebeb." kataku sambil meringis, Huda memegang keningku sehingga aku menatapnya dengan kepala agak kebelakang. "Lepasin, b**o!" kataku sebal, dia hanya tertawa. "Nggak sebelum lo minta ampun." katanya kekeuh. "Oke oke, lepasin gue Da." pintaku, tapi Huda masih menggeleng. Asdfghjkl Rasanya aku pengen menendang Huda kedalam neraka paling dasar. "Nggak gitu. Bilang gini, Huda ganteng lepasin gue dong." katanya sambil menaik turunkan alisnya. What? Ini orang nyebelin banget sih. "Isshh, Huda ganteng lepasin gue dong." pintaku menurutinya. "Nggak pake ngedumel, Pril." Orang ini, benar benar bikin kesel. "Huda ganteng, tolong lepasin gue dong!" akhirnya aku bisa bernafas lega saat Huda melepaskan tangannya. "Anjir, Huda Prilli so sweet." ejek Rahmat. "Lo berdua cocok, buruan jadian gih!" tambah Acha. "Asli, kalian berdua emang bener bener cocok." kali ini Malik yang berkata. "Udah, lo sama Huda aja biar gue yang sama Abra." aku langsung menatap Angel tajam. "Mata lo. Ogah gue sama anak monyet!" balasku. Aku melihat Abra sebentar yang ternyata masih cuek. "Gue tembak, lo pasti nerima juga." cibir Huda. "In your dreams, boy." aku menepuk bahunya dengan sekuat tenaga, kesal juga lama lama sama dia. *******************              Aku menunggu bus yang dihalte dekat sekolah, sudah sekitar setengah jam aku menunggu tapi busnya tidak juga datang. Aku memperhatikan saat orang yang kukenali berhenti tepat didepanku dengan motor ninja merahnya. "Bebeb?" kataku kaget saat Abra membuka helmnya. "Buruan naik!" katanya. Irit banget sih bang ngomongnya. "Tapi--" "Buruan atau gue tinggal!" tanpa berpikir lagi, aku naik keatas motornya dengan bantuannya. "Pegangan." suruhnya, aku memegang bahunya. Aku gugup. "Gue bukan tukang ojek." dengusnya. "Eh?" tanyaku b**o. "Pegangan yang bener." Abra menarik tanganku dan menaruhnya melingkari pinggangnya. Aku merasakan tubuh Abra yang awalnya menegang menjadi rileks. Senyumkupun merekah saat untuk pertama kalinya, aku bisa merasakan sedekat ini dengan Abra. "Jangan tidur!" aku mengangkat kepalaku yang tadi bersender dibahunya, nyaman itu yang kurasakan. "Gue nggak tidur." aku sedikit berteriak agar Abra dapat mendengar ucapanku. "Oh. Lo pacaran sama Huda?" tanyanya. Aku tidak salah dengarkan? Dia bertanya padaku. Oh Tuhan. "Nggak lah, yakali!" balasku yang dibalasnya anggukan. Aku turun dari motornya saat kami berhenti tepat didepan rumahku. "Makasih." kataku yang dibalasnya anggukan, lalu pergi melajukan motornya  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD