UL 7

797 Words
Bunyi dentuman musik yang keras tidak membuat seorang pria yang asik menghisap rokoknya berhenti dari aktivitasnya itu. Abra menghisap rokok ditangannya kemudian menghembuskannya keatas, seperti itu dia lakukan hingga rokok yang dipegangnya habis kemudian menyalakan sebatang rokok yang baru lagi. Abra memperhatikan sekitarnya, sama sekali tidak terganggu dengan musik keras. Dia melihat semua orang yang asik menari bersama pasangan mereka dilantai dansa. Mendatangi club bukanlah hal baru bagi Abra, baginya club adalah tempat yang bagus untuk menghilangkan segala kepenatan dan keresahannya selama ini. Walaupun Abra sering mendatangi club, tapi dia tidak suka minum. Bukan berarti dia tidak pernah minum, hanya saja dia akan minum jika dia benar benar sudah pusing dengan masalahnya. Seperti saat ini, Abra hanya menikmati rokoknya dan alunan musiknya. "Bra, nggak mau nyoba turun?" Dimas menepuk bahu Abra, dia baru saja habis menari dengan cewek yang ditemuinya dilantai dansa. "Anjing lo manggil Bra!" Abra meninju bahu Dimas sedikit kencang, dia sangat kesal jika ada yang memanggilnya Bra yang diketahui salah satu pakaian dalam wanita. Maka karena itu dia lebih suka dibanding Ab atau Abra saja. "Becanda b**o!" balas Dimas sambil tertawa. Beberapa menit tidak ada perbincangan lagi diantara Abra dan Dimas, mereka sama sama menatap kearah sekitar, menikmati apapun yang mata mereka lihat. "Abra!" Abra menaikkan sebelah alisnya saat Dimas memanggilnya. "Apa?" Abra mengikuti arah pandangan Dimas, disana terlihat dua orang cewek dan dua orang cowok sedang duduk sambil berbincang. Tapi bukan itu yang menjadi fokus Abra sekarang, Abra hanya terfokus kepada salah satu cewek itu yang terlihat seperti gelisah, seakan tidak pantas dengan tempatnya berada sekarang. Abra semakin memusatkan pandangannya saat sepasang dari mereka meninggalkan cewek itu dengan cowok yang masih diam ditempatnya. Abra mengeraskan rahangnya saat melihat tingkah cowok itu yang sedang mencoba mendekati cewek itu. "Jauhin dia!" gumam Abra pelan, namun cukup tegas untuk didengar oleh cowok yang langsung berhenti menggoda cewek disampingnya. Cowok itu berdiri dan menatap Abra sinis. "Lo siapa?" Abra menatap cewek itu yang menunduk ketakutan, jika saja dia tidak mengenali cewek itu mana mungkin dia mau repot repot seperti ini. "Nggak perlu tau siapa gue." balas Abra datar. "Anjing lo!" sebelum cowok itu memukul wajah Abra tapi tangan Abra terlebih dahulu menahan pukulan cowok didepannya. "Jangan main main sama gue b*****t!" Abra memelintir tangan cowok itu tanpa peduli ringisan kesakitan cowok itu. Abra mengencangkan pelintiran lalu melepasnya dengan keras dan pergi meninggalkan cowok itu yang terduduk kesakitan sambil menarik lengan cewek yang terkejut menatapnya. Abra menyentakkan lengan cewek yang dipegangnya saat mereka sudah sampai disamping mobil Abra diparkiran. ***************** Prilli menundukkan wajahnya takut, entah dia takut dengan cowok yang tadi ingin menggodanya atau dengan cowok yang sekarang ada dihadapannya. "Ngapain lo kesini?" tanya Abra, dia sedikit menunduk untuk melihat wajah Prilli yang masih menunduk. Abra menggeram kesal saat pertanyaannya tidak dijawab bahkan yang ditanyapun sama sekali tidak menatapnya. Abra mengangkat dagu Prilli agar bisa menatapnya, dia jelas jelas melihat mata itu berkaca kaca. Prilli sangatlah malu sekarang, rasa takut yang dialaminya tadi kini entah menguap kemana saat dia melihat mata Abra yang menatapnya tajam. Dia malu akan apa yang akan dipikirkan Abra melihat teman sekelasnya yang notabene cewek berada diclub malam, ya walaupun tidak bisa dipungkiri jika Abra juga mengunginya. "Gue--" Prilli menelan ludahnya gugup. "Gue nemenin temen gue." "Nemenin temen lo terus lo nya ditinggal sendiri sama cowok tadi, gitu?" Abra menatap Prilli dengan pandangan tajam. Sungguh dia sangat tidak suka saat melihat Prilli berada ditempat yang semestinya tidak pernah didatangi oleh cewek sepertinya. Apalagi bayangan saat cowok tadi yang berusaha menggoda Prilli semakin membuatnya emosi, hingga tidak bisa membuatnya menikmati rokok ditangannya tadi. "Pulang." gumam Abra pelan tapi mampu membuat Prilli terkejut. "Hah?" "Pulang, Prilli." Abra sengaja menekan seriap katanya agar Prilli menurutinya sekarang juga. "Tapi kan temen gue masih didalem, terus gu--" "Gue yang anter lo" putus Abra. Abra menatap jengkel Prilli saat dilihatnya cewek itu masih terdiam ditempatnya padahal ia sendiri sudah membuka pintu mobilnya. "Masuk b**o!" perintah Abra geram. "Nggak. Temen gue masih didalem, gue nggak mau tinggalin. Kalau lo mau pulang, pulang aja sono!" Abra mendengus kesal mendengar penolakan Prilli, apalagi melihat wajah Prilli yang sangat menyebalkan. "Masuk atau gue cium." ancam Abra, kali ini sudah final. "Anjir, bisanya ngancem lo. Nyesel gue pernah manggil lo bebeb!" omel Prilli saat dia sudah duduk dikursi penumpang sebelah Abra. Abra hanya menatap Prilli yang sedang mengomel dari sudut matanya. "Dim, gue balik duluan. Iya bareng Prilli. Oke, thanks" Abra langsung mematikan teleponnya saat tidak ada lagi yang ingin dibicarakan. Setelah Abra menelpon, keadaan menjadi hening. Tidak ada satupun dari mereka yang memulai pembicaraan, radio dimobilpun tidak dinyalakan. Prilli lebih memilih memainkan handphonenya dan Abra tentu saja fokus menyetir. "Jangan pernah datang ke club lagi" gumam Abra. "Hah? Lo ngomong apa?" tanya Prilli memastikan apakah tadi Abra benar benar berbicara kepadanya. "Gue bilang, lo jangan pernah datang ke club lagi. Tempat itu nggak cocok buat lo."  Prilli mengalihkan fokusnya dari layar handphone-nya menjadi ke Abra. Ia mengernyitkan keningnya, apa maksudnya Abra melarangnya. Apakah Abra sedang mengejeknya sekarang. "Maksud lo?" tanya Prilli sinis. Abra hanya mengangkat bahunya acuh, menurutnya percuma saja memberikan alasan sebenarnya, toh tidak ada gunanya juga.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD