UL 9

1313 Words
Hari libur adalah hari yang ditunggu bermalas malasan seperti yang dilakukan Prilli, yang terbaring diatas tempat tidurnya. Prilli melihat notification i-phonenya, mengecek apakah ada pesan yang penting terlebih lagi jika itu pesan dari Nanda, tapi ternyata tidak ada sama sekali. "Lo marah beneran sama gue?" gumam Prilli dalam hati, wajahnya berubah sedih. Prilli memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi dengan hubungannya dengan Nanda. Entah apa yang akan terjadi, dia berharap tidak akan ada kebencian diantara mereka, setidaknya karena dia menyayangi sahabatnya itu. Prilli duduk diatas kasurnya saat sebuah panggilan terlihat dilayarnya. Nanda's calling "Halo?" itu sapaan pertama yang dilontarkan Prilli. "Apa?" "Gue dirumah." "Oh oke, gue tunggu."  Prilli mematikan sambungan teleponnya, lalu berjalan ke kamar mandi untuk segera bersiap-siap. Kurang lebih setengah jam akhirnya Nanda tiba, dan disinilah mereka duduk berhadapan dikursi ruang tamu rumah Prilli. "Lo mau minum apa?" tawar Prilli, Nanda menggeleng. "Nggak usah, gue bentaran doang kok." Suasana hening menyelimuti mereka, belum ada dari mereka yang memulai percakapan. "Hmm Nan, gue--" Prilli menjeda sebentar ucapannya. "Minta maaf" Nanda mengangguk mengerti tapi tidak ada senyum diwajahnya. "Gue tau. Gue kesini juga mau ngomongin sesuatu." Prilli mendengarkan dengan seksama perkataan Nanda. "Gue tau lo itu emang sahabat terbaik buat gue." Prilli ikut tersenyum melihat Nanda memberikan senyuman kepadanya. "Tapi gue juga tau lo nggak bisa ngejauhin Huda, walau gimanapun lo lebih kenal Huda sebelum lo ngenal gue." Prilli bergerak gelisah, ia tau akan kemana pembicaraan mereka ini. "Gue nggak mau munafik, bilang kalau gue nggak masalah kalau lo deket sama Huda, gue nggak suka tapi selama ini gue maklumim." "Sampe kemaren gue bener-bener nggak terima, lo perlakuin Huda kayak gitu dan gue juga marah kenapa Huda nggak pernah mau nolak kalau itu menyangkut sama lo." "Guenya aja yang emang b**o, kayak lo bilang, tetep suka sama orang yang nggak sama sekali suka sama kita." "Nan." gumam Prilli lirih saat melihat Nanda yang mulai menangis, Nanda menggeleng menandakan dia tidak apa-apa. "Selama seminggu ini, gue pikir dengan kita jaga jarak, lo bakalan ngerti." Prilli meneguk ludahnya dengan susah payah karena 'lagi-lagi' mendapatkan tatapan penuh kecewaan dari Nanda. "Tapi sayangnya itu nggak berarti sama sekali buat lo, gue liat Huda selalu perhatian sama lo, dan gue juga ngeliat lo sama Huda di cafe kemaren. Gue emang nggak ada hak buat ngatur-ngatur kalian berdua, tapi seenggaknya lo tau gimana posisi gue Pril. Gue nggak bisa terima semuanya dengan mudah. Mungkin lo bilang gue childish karena ngejauhin lo demi cowok tapi gue juga nggak bisa munafik buat nggak benci sama lo Pril." "Gue permisi, anggap aja kita nggak pernah sahabatan." Nanda berdiri dari duduknya lalu pergi tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Prilli terdiam ditempatnya, apakah hubungannya dengan Nanda sudah berakhir seperti ini. Ingin rasanya dia menjawab semua perkataan Nanda tadi, tapi dia tidak bisa, tau betul jika memang dialah yang bersalah. Prilli memejamkan matanya sebelum airmatanya menetes, semuanya akan terasa lebih mudah jika dia mau menjaga jarak dari Huda. Tapi nasi sudah menjadi bubur, tidak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk memperbaiki hubungannya dengan Nanda, terlebih lagi Nanda sudah membencinya. *************** Upacara senin akan segera dilakukan, Prilli berlari menuju lapangan menyusul teman-temannya yang sudah mengisi lapangan membentuk barisan. Tadi pagi Prilli kesiangan, semalam dia tidak bisa tidur dan baru jam 2 pagi dia bisa tertidur. "Aman, nggak telat huftt." Prilli mengusap dadanya, berlari membuat nafasnya putus-putus, syukurlah dia tiba dibarisan sebelum upacara mulai. "Tumben kesiangan." Huda yang tepat dibelakang Prilli, berbisik pelan ditelinga Prilli. Saat ini Prilli berada dibarisan cewek paling belakang yang otomatis dia berada didepan barisan cowok. "Tadi malam gue nggak bisa tidur." gumam Prilli pelan, sedikit menolehkan kepalanya untuk melihat Huda dari ujung matanya. "Lo mikirin gue ya sampe nggak bisa tidur gitu." Huda mencolek Prilli dari belakang, mencoba menggoda Prilli. "Anjing amit-amit!" Prilli mengusap bahunya yang tadi dicolek Huda, berlagak jijik. "Anjing lo!" sindir Huda kesal, Prilli hanya tertawa pelan. Lalu memfokuskan untuk mengikuti upacara bendera dengan serius walaupun tidak terlalu khidmat. Selesai upacara dibubarkan, Prilli membuka topinya lalu mengibaskan wajahnya yang terasa panas. "Panas gila." dumel Prilli sambil terus mengipas wajahnya. "Duhhh!" Prilli merengut kesal saat tiba-tiba Huda sudah berada disampingnya, merangkulnya dan berjalan bersisian dengannya. "Lepas b**o, panas banget ini nyet!" Prilli menggerakkan bahunya berusaha lepas dari rangkulan Huda, tapi percuma saja. "Elah, sini gue kipasin." Huda ikut mengipas wajah Prilli menggunakan topinya. Prilli hanya menatap Huda lalu menarik dasi yang dikenakan Huda hingga rangkulan Huda terlepas, yang tanpa membuang kesempatan, Prilli berlari meninggalkan Huda yang bergumam kesal sendiri. Saat masuk dikelas, Prilli tidak sengaja melihat Nanda dibangku yang dulunya tempatnya juga. Nanda membuang mukanya yang akhirnya secara cepat juga Prilli mengalihkan tatapannya. "Nah, dapet lo!" Prilli terkejut saat tiba-tiba Huda sudah berada dibelakangnya dan menarik kerah seragamnya dari belakang.  "Ngagetin lo b**o!" Prilli menyikut perut Huda yang disambut ringisan. "Lo suka banget sih nyiksa gue Pril." gumam Huda masih terus mengusap perutnya. "Ya lo nya nggak usah aja deket-deket gue kalau nggak mau gue siksa." ejek Prilli sambil mengangkat kedua alisnya turun naik. Huda memutar bola matanya malas. "Serah lo dah!" "Huda jangan acakin rambut gue, monyet!" teriak Prilli sambil memperbaiki tatanan rambutnya yang tadi dengan tidak bertanggung jawab dilakukan oleh Huda. Sambil menunggu waktu guru-guru yang briefing bersama kepala sekolah diruang guru, Prilli memutuskan untuk sarapan dengan bekal yang dibawanya. Selesai Prilli mencuci tangannya di kran air yang berada tiap depan kelas, ia yang hendak masuk berpapasan dengan Abra. Prilli membalas menatap Abra dengan datar, tidak ada niat untuk menganggu Abra seperti biasanya. Abra menatap cewek yang ada dihadapannya dengan pandangan datar, berusaha terlihat acuh. Abra merasa kesal sendiri saat orang yang ditatapnya juga balas menatapnya dengan pandangan datar. Jika biasanya Prilli akan seperti cacing saat melihat Abra, tapi sekarang nyatanya tidak. "Ikut gue!" Abra menarik lengan Prilli, menyuruh Prilli untuk mengikutinya. "Eh lo mau bawa gue kemana?" Abra diam tanpa menjawab pertanyaan Prilli, yang berusaha melepaskan lengannya yang ditarik Abra. Abra menghentikan langkahnya saat berada dilorong yang jarang dilewati oleh murid-murid Jayakarsa. Yang berada dibelakang sekolah, dekat dengan gudang belakang. Prilli menatap sengit Abra, dia kesal dengan cowok yang ada dihadapannya ini, yang suka menariknya dengan paksa. "Mau lo apa sih?" Prilli memberikan penekanan pada setiap kata yang diucapkannya, pertanda jika ia sudah sangat kesal saat ini. "Lo kenapa?" gumam Abra pelan. Prilli membulatkan matanya mendengar pertanyaan Abra yang sangat pelan, mungkin jika mereka ada dikeramaian tidak akan mungkin bisa ia dengar, dan untungnya mereka hanya berdua dengan suasana yang hening jadi ia bisa mendengarnya. "Lo nanya, gue kenapa. Maksud lo?" Prilli mengerutkan keningnya bingung. "Lo berubah." Lagi-lagi Prilli mengernyit bingung saat Abra mengatakan yang tidak dia mengerti. "Maksud lo apasih, jangan bikin gue bingung." ucap Prilli kesal, lama-lama dia beneran bisa menendang cowok ini ke segitiga bermuda. "Lo b**o banget sih!" sindir Abra, melangkahkan kakinya agar lebih dekat dengan Prilli, hingga saat ini dia berdiri berhadapan dengan Prilli yang jika dia menunduk menatap Prilli maka hanya hidung merekalah yang memisahkan jarak. Prilli terlihat gugup berada sedekat ini dengan Abra, Prilli menelan ludahnya gugup saat matanya bertatapan dengan mata tajam Abra. Abra tersenyum dalam hati melihat cewek dihadapannya yang gugup, dia senang melihat raut wajahnya, hingga tanpa sadar Abra menampilkan senyum miringnya. Prilli segera sadar dari rasa gugupnya, lalu mendorong Abra menjauh darinya yang langsung membuatnya bernafas lega. "Lo yang gila!" baru saja Prilli hendak melangkahkan kakinya tapi terlebih dahulu ditahan Abra. Prilli menatap sengit ketangan Abra yang sedang menahan lengannya, lalu tanpa aba-aba Abra membalikan badan Prilli hingga saat ini Prilli bersandar pada tembok dan berada dalam kungkungan tangan besar Abra. "Ishh apaan sih, minggir lo!" Prilli berusaha menjauhkan tangan Abra disamping kepalanya, yang nampaknya percuma saja. "Lo kenapa berubah?" tanya Abra dengan suara terkesan datar, tapi tegas. Prilli memutar bola matanya jengah. "Berubah apaasih, gue nggak jadi power ranger ataupun sailormoon." "Lo emang b**o!" Prilli hendak membalas ucapan Abra tapi langsung dihentikan Abra lewat tatapan matanya. "Maksud gue, lo udah nggak kayak dulu. Biasanya lo manggil gue bebeb, tapi sekarang nggak lagi apalagi semenjak kejadian diclub waktu itu" Awalnya Prilli bingung dengan maksud perkataan Abra, tapi ia langsung tersenyum saat sudah menangkap maksudnya. "Gotcha! Lo naksir gue. Pasti!" Prilli tersenyum menggoda. Abra yang mengerti langsung menjauhkan tubuhnya. "Jangan salah sangka." Abra berujar datar, berusaha tidak terlihat salah tingkah. "Duhh ciee yang nggak mau ngaku naksir gue haha!" Prilli tertawa, semakin menaik turunkan alisnya, membuat Abra mendesah jengkel. "Eh eh, kenapa lo ninggalin gue?" Prilli meneriaki Abra yang berjalan meningalkannya. "Abra!" "Dasar orang gila!" bosan karena Abra tidak juga menghentikan langkahnya akhirnya ia memilih meninggalkan tempat ini sekarang juga.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD