2

1151 Words
Pemandangan pagi menjelang siang tidak jauh berbeda dari hari sebelumnya. Para pakar cuaca mengatakan Tokyo akan dilanda musim panas sampai bulan depan. Siap-siap lapizan ozon akan semakin menipis karena manusia di bumi akan menyalakan pendingin ruangan sampai batas maksimal. Membekukan diri adalah ide paling normal. Amara termenung. Memandang awan yang berjalan lambat mengejar satu sama lain. Sinar matahari terasa membakar. Panasnya menyengat kalau dia berjalan untuk sekadar memandang jalan yang padat. Hembusan napasnya terdengar berat. Memutar-mutar kursi dengan ekspresi datar tanpa arti. Sorot matanya yang terpantul dari jendela ruangan sama sekali tidak menggambarkan kehidupan. Selain hampa, selain kekosongan yang menyakitkan. Ketukan pintu terdengar. Amara mengangkat alis sebagai reaksi, menemukan Ana datang dengan seuntai senyum ramah. Sekretaris serba bisa yang menemaninya selama hampir tiga tahun ini memang terkenal ramah. Namun Amara tahu benar, di balik ekspresif yang mampu membuat banyak orang terlena, Ana tidak ubahnya seperti manusia lain. Dia hanya beruntung. Karena perempuan itu bukan rubah yang sewaktu-waktu bisa menusuknya dari belakang. "Selamat pagi menjelang siang, Nona Amara." Amara memutar kursi dengan senyum tipis. "Tidak membuat teh melati, Ana?" "Oh?" Amara bisa mendengar kesiap gadis itu sebelum dia merapat pada meja, meraih pena berbadan perak dan mendengus pelan. "Santai saja. Aku hanya bertanya." "Maaf," cicitnya pelan. Amara mengabaikan kali ini. Fokus pada dokumen saat Ana menarik napas panjang. Meremas tangan di depan d**a. "Asisten pribadi Tuan Rail mengirimkan pesan pagi ini." Amara masih diam. "Ajakan makan siang. Seperti biasa." "Kau tahu harus bagaimana," kata Amara singkat. Intonasi datarnya belum berubah saat Ana mengangguk skeptis. "Aku sudah menolaknya dengan sopan. Dalih ada rapat penting dan mereka masih berusaha memindahkan jam untuk makan malam." Goresan tinta itu terhenti. Kala matanya melirik Ana dengan selingan dingin. "Lalu?" "Aku belum menjawabnya," akunya jujur. Amara mendesah pendek. Memberikan tanda tangannya dan menatap Ana dengan senyum tipis. "Aku membayarmu lebih juga untuk menyingkirkan masalah ini, Ana. Aku tahu kau bisa diandalkan." "Baik, Nona Amara." Ana mengambil kembali dokumen dalam map. Menatap Amara dengan tatapan bertanya. Tapi lidahnya terasa kelu. Terlebih bagaimana Amara yang melamun, memandang datar pada pigura kenangan berisikan gambar kedua orang tuanya. "Aku akan pergi ke tempat biasa. Kau bisa mengirim pesan kalau sesuatu terjadi." "Baik, Nona Amara." Ana membungkuk sopan. Mundur dalam dua langkah pasti sebelum dia berbalik, membiarkan atasan tertinggi yang ada di The Belgium Holdings menyendiri dalam sepi sekali lagi. *** Dorongan pintu itu terlalu kuat sampai bunyinya membuat pejalan kaki yang melintas menoleh. Amara menarik napas panjang. Menatap pada plang aneh yang tertempel di pagar masuk. White's Coffee and Cafe. Langkahnya berjalan pasti. Saat dia mendorong masuk, merasakan pendingin ruangan menyapa titik keringat pada lehernya. Melihat perempuan berkacamata tersenyum lebar ke arahnya, mencoba bermain peran sebagai pelayan yang ramah. "Selamat siang!" Amara mengangguk sebagai respon. Ketika dia melirik pada senyum yang belum pudar, matanya bersirobok dengan mata lain. Yang bersinar datar tanpa makna. Mata yang terlihat mati. Sama seperti dirinya. Pria itu menggosok telapak tangannya. Saat Amara mendekat, melihat-lihat deretan menu yang sebenarnya sudah ia hapal di luar kepala. "Vanilla Latte?" Bibirnya menipis ketat. "Kau tidak menyediakan boba?" "Maaf?" "Kau mendengarku," balasnya singkat. Mata mereka kembali bertemu dan Amara bisa melihat pria itu kesulitan bicara. "Boba. Kau tahu, tren zaman sekarang. Orang-orang menyukainya. Termasuk para remaja. Aku tidak yakin dengan orang tua yang menyukai ide satu itu karena terkadang teksturnya terlalu keras dan kenyal." "Ini termasuk saran yang bagus," sahutnya tiba-tiba. Membuat Amara mengangkat satu alisnya karena melihat pria itu tersenyum tipis. "Aku akan mempertimbangkannya di hari lain." "Itu bagus," balasnya. Saat mencari tempat duduk dan pergi. Menarik kursi untuk dirinya sendiri. Menikmati pot-pot bunga yang tergantung di dekat jendela. Segelas Vanilla Latte mendarat dengan tetesan air dari sisi gelas yang basah. Amara menatap pada tiga es batu kristal yang mengambang, mengernyit dalam ketika matanya bertemu dengan sang pemilik kafe. "Bagaimana kau tahu aku ingin es?" "Keberuntungan seorang pemula?" Pria itu menatapnya dengan tarikan napas. "Hanya menebak. Di luar sangat panas. Dan kau sepertinya butuh sesuatu untuk mendinginkan kepalamu." "Jawaban yang bagus," timpalnya dan Amara bisa mendengar pria itu mendengus pelan. Amara tidak berpikir pria itu pergi dari tempatnya berdiri. Karena setelah dia mengeluarkan Ipad Pro terbaru dari tasnya, iris pekatnya menelisik terlalu dalam. Peringatan pertama yang membuat Amara mulai tidak nyaman. "Aku tidak yakin dengan ide kau adalah pegawai magang biasa." Alis Amara bertaut. Saat dia melihat pria itu—Davion, benar. Namanya adalah Davion. Menarik kursi di depannya dengan sembaranagn, menjalin tangannya di atas meja dan menatap bergantian antara Ipad dan matanya. "Kau bukan orang sembarangan," tebaknya asal. Amara hanya mengernyit. "Kemarin saat kau mengadakan rapat di sini, dan perempuan bernama Ana terlihat ketakutan. Dia gemetar. Kau jelas mengintimidasinya. Semua jelas. Kau bukan bagian dari mereka." "Oh. Kau cenayang sekarang?" Davion memandangnya skeptis. "Tidak," sahutnya. "Hanya menebak." "Kau menjawab pertanyaan yang sama dua kali. Hanya menebak. Itu sangat klasik," kata Amara memotong. "Analisismu bagus. Kau tidak mencoba peruntungan masuk firma hukum?" "Ide gila," balasnya dingin dan Amara mengulum senyum tipis. "Baik. Kalau kau bertanya, aku akan menjawab." Amara mendorong pencil tablet itu dengan pandangan menantang. "Sekarang, bertanyalah. Kau punya kesempatan." Davion menatapnya dengan ekspresi datar tanpa arti. Saat kepalanya menoleh, dan Amara bisa melihat perempuan bernama Davina yang duduk, menghitung uang dan berlalu masuk ke dapur yang hanya dibatasi tirai tipis. "Siapa dirimu sebenarnya?" Amara memiringkan bibirnya dengan pandangan mencela. "Apa aku terlihat seperti buronan? Mereka-mereka yang menguasai dunia? Apa sebutannya? Elite global?" Davion mendengus keras dan senyum Amara melebar. "Kau mungkin bagian dari penguasa sini." Amara melempar pandangannya pada bunga-bunga yang bermekaran di sekitar kafe. Entah Davion, entah Davina yang punya ide bertanam bunga di sini. Nilai estetika bertambah saat mereka duduk menikmati waktu di siang hari dengan segelas kopi dingin. "Aku bekerja untuk The Belgium Holdings," balasnya tanpa menoleh. Tahu benar bahwa perhatian pria itu masih mengarah padanya. "Sebelumnya aku duduk sebagai pegawai magang. Itu sekitar lima tahun lalu? Entahlah. Aku tidak terlalu mengingatnya." Davion masih diam mendengarkan. "Posisiku berubah. Seiring gejolak masalah yang kerap kali naik turun dari posisi komisaris sampai manajer umum. Semua masalah itu memintaku untuk duduk di posisi yang lebih atas." "Kau bagian dari mereka?" Amara mengangkat satu alisnya naik. "Hm?" "Pemegang saham." Amara mendengus dengan senyum. "Bukan." Davion terlihat bingung. Tapi dia tidak bertanya. "Posisiku cukup baik. Tapi tidak terlalu menyenangkan akhir-akhir ini. Kau tahu, masalah selalu saja muncul. Ini seperti tinggal menunggu seleksi alam. Siapa yang akan bertahan, dan siapa yang akan tumbang. Semua akan terasa membingungkan." Davion menggaruk pangkal hidungnya. Mimik wajahnya menunjukkan perbedaan berarti. "Bisa aku simpulkan sesuatu? Kau bukan orang sembarangan. Ini hanya terkaan. Kau bukan orang biasa." "Apa terlihat aneh di matamu? Seorang bos tidak boleh mampir ke kafe ini?" Davion mengernyit dengan cara yang membuat Amara ingin tertawa. Tapi bukan dirinya sama sekali yang tertawa lepas dan terbahak. Dia bahkan tidak lagi ingat kapan bisa tertawa selepas itu. Manakala semua kenangan baik itu telah terkubur dalam dan tidak lagi bisa digali. "Sedikit aneh menurutku." "Sedikit aneh?" Davion menarik napas. Memandangnya dengan bibir menipis dalam. Sebelum pria itu bangun, menatap pada gelas kopi yang belum tersentuh. Lalu berpaling dengan tarikan napas panjang. "Tidak. Lupakan. Nikmati kopimu." "Apa kau selalu seperti ini? Merasa ingin tahu tentang mereka-mereka yang berkunjung ke kafemu?" Selintas, Amara bisa melihat raut terkejut. Dalam arti sebenarnya. Ketika oniks pekat itu balas menatap matanya, dan mendesah panjang. "Tidak. Tidak sama sekali," Jeda sebentar sebelum Davion kembali bersuara. "Aku hanya ingin tahu tentangmu. Selain itu, tidak ada yang spesifik."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD