3

1857 Words
"Kau tertarik dengannya?" Alis Davion bertaut tajam. Saat pertanyaan spontan Davina yang mengusiknya berhasil menarik perhatiannya dari deretan cangkir yang telah dicuci bersih. "Apa maksudmu?" "Kau mendengarku dengan jelas, Davion." Davion mencuci tangan dari air yang mengalir. Menatap Davina yang duduk, menyilangkan kaki dan menikmati segelas kopi dingin setelah mereka menutup kafe. "Aku serius, Davion. Kau tampak berbeda." "Apanya?" "Kau bertanya siapa dia, apa pekerjaannya. Bukankah itu tahap pengenalan yang sederhana? Kau tertarik, tapi kau berusaha mengelak itu. Jangan bercanda. Kau bereaksi seakan aku ini sedang melucu." Davion ingin tertawa sekarang. Davina sungguh konyol. Saat dia mendekat, menatap sahabatnya dengan kening berkerut dalam. "Jangan bercanda. Aku sama sekali tidak tertarik." Diamnya Davina pertanda lain. Manik matanya memandang Davion tajam. Seolah menguliti kedalaman hati rekan kerjanya. "Kau tidak biasanya begini pada lawan jenis. Apa karena dia cantik dan aku tidak?" Davion mendengus keras. "Berhenti bicara omong kosong." "Aku serius sekarang, Davion. Dia bukan orang sembarangan, kan? Siapa dia? Putri pejabat? Putri pemilik perusahaan besar atau apa? Pebisnis muda yang sukses? Dilihat dari keangkuhan dan gaya berbusana, dia bukan dari kalangan seperti kita." "Bukan," balasnya datar. "Dia bekerja untuk The Belgium Holdings." "Astaga!" Davina membekap mulutnya sendiri yang terbuka. "Dia bekerja untuk perusahaan sebesar itu? Yang bergerak di bidang industri?" Davion menghela napas. "Kurang lebih." "Ya Tuhan. Aku mulai berpikir apa posisinya sekarang," ujar Davina bingung. "Tapi kenapa dia terlihat anti sosial? Kau tahu, biasanya para perempuan kaya punya circle tersendiri. Seperti selebriti yang gemar pamer arisan mahal, arisan berlian di televisi. Selebriti yang bilang kalau dia sering tersasar di rumahnya sendiri. Atau yang paling parah, tidak bisa memasak telur. Apa menurutmu dia begitu?" Davion menatap Davina dengan pandangan mencela. "Aku tidak tahu. Kalau melihat bagaimana dirinya, aku rasa dia dididik menjadi pewaris tahta. Mungkin dia bagian dari keluarga kaya lama." "Kau benar," sahut Davina yakin. "Gadis itu terlihat biasa saja. Meski aku bisa menebak harga tas dan sepatunya. Kita bekerja selama sepuluh tahun, belum tentu bisa menyicil barang mewah itu walau hanya sebiji." Davion mendengus. Menatap Kairn dengan sorot meledek. "Kau sepertinya terlalu merendah." "Cih," decihnya masam. "Yang kaya keluarga Ken, bukan aku. Aku ini orang susah." Davion hanya menggeleng. Seperti biasa, seorang Tamalate Davina akan merendah. Saat dia kembali ke estalase. Menyusun beberapa gelas yang telah kering untuk kembali ditaruh di tempat semula. "Davion, kalau kau benar-benar tertarik, tidak ada salahnya untuk bicara lebih dekat. Gadis itu terlihat kesepian. Dia seperti tengah memendam luka. Menyimpan duka yang tidak kita tahu." Davion melirik hanya untuk memastikan. "Ketika seorang perempuan terluka, matanya tidak akan mampu berbohong. Dan gadis itu melakukannya. Ekspresinya sangat keras. Seakan dia terlahir dari baja yang kuat. Tapi sebenarnya tidak." Davion menghela napas dengan gelengan lemah. "Aku baru mendengar hal itu darimu." "Kau pasti pernah melihat ibumu terluka sebelumnya. Entah karena masalah rumah tangga, atau karena tingkah anak-anaknya yang nakal," ujar Davina menjelaskan. "Mata tidak bisa berbohong. Ketika dia sedang bahagia, ketika dia sedang bersedih, semua akan tampak jelas." Gerakan tangan Davion terhenti. Saat dia bisa mendengar suara detak jam dinding yang terlampau keras. Atau karena suasana yang berubah senyap semakin mencekik. "Aku berpikir kalau pengunjung tetap kita satu itu bukan perempuan jahat. Dia perempuan baik-baik. Bungkus luarnya terlihat sekaku itu, tapi aku yakin dia pribadi yang hangat." "Kau bicara seakan-akan dia pernah membalas senyummu?" Davina mendengus menahan tawa. "Aku terbiasa diperlakukan dingin oleh banyak orang. Dia bukan yang pertama. Santai saja." Gadis itu menoleh. Memandang Davion yang menutup semua rak, memastikan semua terkunci dengan baik sebelum dia pergi. "Aku tidak berpikir untuk berkencan—," Davion berpikir sebentar. "Atau menikah di masa depan. Semua akan berakhir sia-sia. Itu tidak ada dalam kamus kehidupanku." "Setelah tahu masa lalumu?" Davion menghela napas panjang. Menatap Davina dengan pandangan ragu. "Menurutmu?" "Kau tidak bisa memastikan pada calon istrimu di masa depan nanti? Kalau kau bukan orang jahat. Kau bisa menjelaskannya." "Itu mengerikan," timpal Davion dingin dan Davina mendesis keras. "Kalau dia mencintaimu dengan sungguh-sungguh, dia tidak akan peduli siapa dirimu. Darimana asalmu. Bagaimana latar belakangmu. Yang dia pedulikan adalah bagaimana caramu membawa hubungan itu ke arah yang lebih baik. Masa depan itu kejutan, Davion. Jangan pernah membantah atau menolak sesuatu yang akan datang ke hadapanmu suatu hari nanti." Davina mengembuskan napas lelah saat dia bangun, bergerak untuk mencuci gelasnya sendiri saat Davion termenung. "Aku bicara bukan sebagai sosok yang sok tahu. Pengalamanku cukup banyak. Sebelum aku bertemu Ren, semuanya terasa hambar. Mereka semua benar. Seseorang akan berubah saat menemukan orang yang tepat." Lalu tidak lagi ada suara air mengalir dari keran yang terbuka. "Aku bicara sebagai temanmu. Ken mungkin akan katakan hal yang sama kalau kalian bertemu dan bicara. Kau layak bahagia. Semua orang yang sempat terlunta-lunta karena derita pantas bahagia. Kau pernah berjuang, kemudian terbuang. Pada akhirnya kau mengalah. Demi semua orang. Semua manusia yang egois. Yang tidak pernah mau melihat masalah dari sisi manusia lain." Davion menoleh, menemukan Davina menatapnya dengan sorot hangat. Ketika kacamatanya sedikit bergeser, dan gadis itu membenarkannya dalam tarikan napas getir. "Hidup terus berjalan, bukan? Kau benar. Terkadang kita hanya perlu menjalaninya saja. Dan menikmati kejutan demi kejutan yang datang. Semua akan baik-baik saja selepas itu." Pada satu tepukan yang berhasil meluruhkan satu benteng kokoh yang melindunginya dari hantaman batu bernama rasa sakit. *** "Bagaimana kabarmu?" "Baik." Amara menghela napas. Memandang pada makan malam mewah yang sama sekali tidak menarik perhatiannya. Saat matanya menangkap bayangan seorang Lee Rail dalam balutan setelan mahal. Dia tampak menawan, dan Amara masih saja beku. Sama sekali tidak tertarik. "Kau sedang banyak masalah sepertinya," ujar Rail menebak. "Apa pekerjaan di perusahaan menyulitkanmu?" "Tidak. Semua berjalan baik," balasnya singkat. "Hanya ada sedikit kendala, dan semua membaik. Seperti biasa." "Apa sebentar lagi Januari Kelabu akan terulang?" Amara mendengus dengan gelengan pelan. Saat Rail tertawa, bermaksud menggoda dengan candaan. "Aku masih ingat benar tentang September Kelabu yang pernah membuat geger satu perusahaanmu, Amara. Wow. Kau benar-benar berani," puji Rail tulus dan Amara kembali menggeleng. "Kau terlalu berlebihan. Aku hanya melakukan apa yang perlu aku lakukan," ucapnya merendah. "Selebihnya tidak ada." Rail menggeleng dengan senyum. Saat mata mereka bertemu, dan Amara tahu kalau tatapan pria itu tidak akan pernah berubah meski belasan tahun berlalu. "Kau benar. Aku benar-benar setuju denganmu," ungkap Rail tanpa ragu. "Kalau aku menjadi dirimu, aku juga akan lakukan hal yang sama. Lakukan apa yang kurasa perlu." Amara menggeleng dengan senyum tipis. Saat dia berusaha mengalihkan perhatiannya dari daging yang belum tersentuh. "Kau sendiri? Bagaimana rasanya duduk di kursi pemerintahan. Melelahkan?" "Sangat," balasnya dengan ringisan kecil. "Aku tidak mengerti mengapa ayahku sangat berambisi untuk duduk di kursi nomor satu." "Oh, itu bagus untukmu." "Untukku?" Amara mengangguk dengan kening berkerut. "Kau akan menjadi trending di beberapa sosial media. Menjadikan putra kedua dari pasangan anggota dewan sebagai objek indah dipandang." "Benarkah? Menurutmu begitu?" Terselip keraguan dalam suaranya. Amara mencibir pelan. "Bagi mereka," sambungnya dan Rail harus menunduk, menelan pil pahit itu sekali lagi. "Bagaimana kabar Delana?" Bibir Rail menipis ketat. "Kenapa kau bertanya tentangnya?" "Satu-satunya perempuan yang dekat dan jelas terobsesi olehmu hanya dia. Hanya Delana." Rail menghela napas berat. "Aku merasa tidak punya urusan apa pun dengannya. Sedekat apa pun kami, semua hanya tentang formalitas." Amara menengadah dengan pandangan bingung. "Ibumu menyukainya." "Aku tidak," timpalnya. Amara membeku selama beberapa detik. Sebelum menghela napas, menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga dan Rail masih menonton dengan pandangan dalam. "Aku tidak pernah menyukainya," sahutnya pelan. Saat Rail menunduk, menatap daging bumbunya sendiri dan mendesah. "Sulit untuk menyukai orang lain di saat hatimu sudah berlabuh." "Delana tidak buruk," Rail mengernyit ke arahnya. "Kau tidak merasa demikian? Kau juga tidak buruk. Tapi kau beranggapan seakan-akan kau perempuan paling buruk sejagad. Itu membuatku sedikit terusik." Amara mencibir dengan raut muram. "Hanya kau satu-satunya gadis yang kupuji cantik luar dan dalam, kau menganggapnya sebagai lelucon. Kau melihatku sebagai pria mabuk, yang bicara tanpa dasar. Bicara sembarangan. Bukankah kau sendiri tahu, orang mabuk tidak akan pernah berbohong?" Amara menghela napas dengan sinar matanya meredup lelah. "Hentikan. Aku mulai tidak nyaman." Rail menipiskan bibir dengan ekspresi keras. Amara mungkin bisa melihat pria itu meledak sebentar lagi. Tapi pengendalian diri Rail bagus. Dia tidak akan menyakiti perempuan. Dia memiliki ibu dan kakak yang baik. Rail menyayangi mereka. Karena pada dasarnya dia tipikal pria penyayang. "Kau benar," putus Rail pada akhirnya. "Aku yang salah. Aku memang egois. Memikirkan diriku sendiri tanpa pernah berpikir tentangmu." Amara menarik napas. Memejamkan mata dengan senyum tipis saat dia menggeleng pelan. "Tidak. Kita berdua hanya sedang lelah. Kau lupa? Aku tahu kau punya hari yang panjang beberapa waktu belakangan ini." Rail tidak bereaksi lain selain mengangguk. "Benar. Semua terasa berat. Aku hanya perlu beradaptasi sampai semua membaik." "Bagus," puji Amara dengan jempol kanannya teracung naik. Rail hanya mendengus. Bergerak untuk menggeleng saat mendengar suara tawa pelan Amara mengalun. Sebelum dering ponsel mengacaukan makan malam mereka, merebut atensi Amara yang hanya memainkan garpu dan kentang rebus di atas piring. "Ya Tuhan." "Ada apa?" Rail menatapnya sesal. "Aku harus kembali." "Siapa yang menghubungi?" "Kakak." "Ah," Amara tidak lagi bersuara. Saat dia melihat Rail tampak ragu, reaksinya hanya berupa gelengan kecil. Meminta Rail untuk pergi menemui urusannya. "Pergilah. Aku akan pergi setelah hujan reda." "Ini aneh," ujar Rail tiba-tiba. "Mereka memprediksi cuaca akan cerah sampai bulan depan. Tapi hujan datang di malam hari. Dan sangat deras." "Kau tahu, alam tidak akan bisa ditebak." Rail menatapnya dengan dengusan pelan. "Sama sepertimu, bukan?" Kali ini Amara tertawa. "Aku pergi, Amara. Setelah sampai akan kuhubungi." Amara mengangguk tanpa lagi bersuara. Melambai ringan saat sosok itu pergi. Ketika pelayan restauran membukakan pintu dan mengucapkan salam perpisahan dengan teriakan hati-hati saat Rail berlalu. Membiarkan Amara kembali berteman dengan sepi. Kontras dengan suasana di dalam restauran yang terasa lebih hidup. Layaknya mereka hidup di sisi alam yang berbeda. Amara dan dunianya sendiri, begitu juga dengan orang di sekitar. Samar-samar dia bisa mendengar suara tawa dari meja yang terletak di sudut jendela. Sekumpulan para gadis tengah tertawa lepas. Bersama-sama saling melempar canda, dan berujung pada tawa yang belum kunjung usai. Amara menghela napas. Memeluk lengannya sendiri dalam ketidakpastian. Dia mendadak merasa cemas. Gelisah tanpa sebab. Saat matanya kembali melirik, dan mereka masih berusaha menahan tawa dengan cara yang lebih unik. Sebelum perasaannya memburuk, dia sebaiknya lekas pergi. Bangun dari kursinya, meraih mantel dan mulai memasangnya dalam diam. Memperbaiki ikatan rambutnya, Amara menyempatkan diri untuk melirik sekali lagi. Pada barisan para gadis yang masih saling tersenyum satu sama lain. Sebelum dia melangkah, menyadari kalau Rail sudah membayar meja mereka dan Amara berjalan pergi. Menyudahi kesendirian ini dengan cara lain. Matanya menatap pada langit malam yang pekat. Mendung sudah bertahta, dan hujan belum mau pergi. Saat Amara mengulurkan tangan, membiarkan telapak tangannya bermandikan air hingga memutih. Langkah sepatunya membawanya pada guyuran air hujan yang lebih lebat. Ketika dia berjalan, menjauh dari parkiran mobil dan berbelok ke arah lain. Menatap nanar pada gedung bertuliskan The Belgium Holdings dalam diam. Wajahnya telah basah akan air hujan. Sempurna sampai ke mantel cokelatnya yang berlumuran air hujan. Saat Amara mematung, memandang gedung pencakar langit yang mencolok mata dengan tatapan tanpa arti. Sebelum air hujan ikut melarutkan kesadarannya, dia harus segera pergi. Amara merasakan tubuhnya tersentak. Bergerak mundur saat seseorang menarik lengannya untuk berteduh di bawah atap halte bus yang sepi. "Aku rasa kau sudah gila." Amara menoleh dengan bibir gemetar. Saat dia terkesiap, menemukan si pemilik kafe yang sama tengah menatapnya dingin. Sinis itu menamparnya telak. Ketika Amara bergeser, tanpa sengaja telah membuat lengan mantel pria itu basah. Davion menatapnya seakan-akan dia adalah lelucon. Saat Amara membuang muka, mengusap wajah dan rambutnya yang basah. Kemudian pria itu bergeser, memberi jarak di antara mereka cukup lebar. Juga pada senyap yang membentang liar di antara keduanya. Sesak yang membuat Amara tak nyaman. Sebelum dia bergerak mundur, menatap betapa sepi trotoar di kala hujan mengguyur. Dan pada sosok yang masih bergeming, sama sekali tidak melihat ke arahnya. Melainkan pada gedung pencakar langit bertuliskan The Belgium Holdings di depannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD