4

1123 Words
Pemandangan pagi yang chaos sudah seperti makanan sehari-hari. Amara akan melihat view yang sama. Dari kacamata dirinya selepas turun dari mobil. Karyawan yang terburu-buru, keamanan yang tidak pernah henti menyapa ramah, dan segala macamnya. Semua orang berlalu-lalang untuk tidak terlambat. Lima menit menit terlewat, maka katakan selamat tinggal untuk uang makan siang. Setegas itu dirinya sebagai atasan. Penerapan disiplin itu perlu. Alasan akan menjadi alasan. Dia beruntung, karena tidak ada satu pun yang membantah atau mengelak keputusan finalnya satu itu. "Selamat pagi." Amara menoleh dengan senyum tipis. Menatap dua keamanan yang berjaga di depan pintu putar kaca. "Selamat pagi," balasnya singkat. Ala kadar tanpa ramah ditambahkan. Amara masuk untuk mengantri seperti yang lain. Ketika mereka terburu-buru karena melihat bos besar baru saja datang, semua orang terbirit-b***t canggung. Amara bukannya tidak ingin memberi contoh buruk karena datang di jam yang tepat. Dia hanya ingin memantau sejauh mana aturannya dipatuhi. "Oh, astaga." Pekikan itu menggema. Dari satu ke yang lain. Menatap Amara yang sedang menempelkan sidik jari pada mesin absen, termangu selama beberapa detik sebelum berlalu. Membuat mereka kehilangan napas dan berhamburan pergi ke kubikel masing-masing. Amara menatap tiga lift yang berbeda. Satu untuk tim direksi. Untuk para petinggi dan tamu yang datang. Dua lagi untuk para karyawan yang bekerja. Langkahnya maju saat pintu lift terbuka. Dua gadis yang memakai setelan resmi menahan napas. Saat mereka dengan canggung merapat pada tembok lift, melirik Amara takut-takut. "Santai saja," ujarnya pelan. Menekan lantai dimana ruangannya terletak dan tersenyum tipis. Amara memberi jarak agar mereka tidak semakin gemetar melihatnya. Rutinitas paginya selain bekerja adalah ini. Amara tidak akan bisa melepas airpods dari telinganya. Sekadar untuk mengurangi isi kepalanya yang penuh. Sekadar untuk merubah suasana hatinya yang tak menentu sejak semalam. Matanya menatap lurus pada heels yang ia gunakan. Saat samar-samar dia bisa mendengar bisikan dari dua gadis yang berada di atap lift yang sama. Berbincang satu sama lain dengan suara teredam. "Aku tidak mengerti mengapa orang bodoh di dunia ini masih saja ada." "Apa maksudmu?" "Mengabaikan perasaan orang lain yang tulus padanya untuk orang lain yang semu. Kau tahu? Kegilaan mana lagi yang akan perempuan ini lakukan?" "Hei, siapa yang kau bicarakan?" "Kalia, rekan kita. Kau tidak sadar kalau kepala divisi punya perasaan lebih? Dan Kalia lebih menyukai pegawai magang dari bagian keuangan," kata gadis bercepol itu sinis. "Kau menyukai salah satunya?" Pada gelengan keras yang membuat Amara terhempas jauh. Nyaris tidak bisa menggenggam tali yang sempat putus. "Itu menjadi urusannya. Kita tidak perlu ikut campur. Meski sangat disayangkan. Benar-benar miris melihat ada pria lain yang tulus melihat kita apa adanya. Tapi perasaan kita sama sekali tidak mau berubah. Tidak ada rasa lebih untuknya. Sesak rasanya. Belajar mencintai itu sulit. Kita bicara tentang perasaan yang memiliki jalannya sendiri." Mereka sama-sama mengembuskan napas berat. Saat keduanya melirik pada Amara yang membeku, berpaling menatap ekspresi dinginnya sendiri pada dinding lift yang buram. "Maafkan kami, Nona Amara. Kami terlalu berisik." Amara melirik dari pantulan dirinya. Menoleh untuk memandang kedua gadis itu dalam diam. "Santai saja. Aku mengerti kebiasaan para pekerja di sini. Bergosip sudah menjadi makanan sehari-hari, kan?" Dentingan lift berhasil menyelamatkan keduanya dari semburan kalimat pedas lain berasal dari atasan keji bernama Fatish Amara. *** "Astaga." Davina mendongak dari mesin kasir. Menangkap tiga gadis yang berdiri di depannya dengan raut bingung. Sebelum dia mengerti arti tatapan itu dan mendengus geli. "Aku tidak tahu kalau pekerja disini sangat tampan," bisik salah satunya sumringah. Davion mengangkat alis. Menatap ketiganya dan berlalu begitu saja. Mengambil sesuatu dari dapur dan Davina menggeleng. Menikmati objek melongo itu di depannya. "Kami datang untuk mencicipi kopi. Terakhir kali saat atasan kami mengadakan rapat dadakan. Kopi di sini sangat enak. Karena kedai kopi di perusahaan sedang tutup untuk sementara, kami pergi kemari." "—dan murah," timpal salah satunya. Davina tersenyum. Saat dia mengembalikan uang mereka dan menyiapkan segelas kopi. Saat Davion kembali keluar, mencuri satu napas dari masing-masing gadis yang masih terpaku. "Bisakah kami berfoto bersama?" Davion menatap ketiganya datar. Ekspresinya terlihat berubah tak nyaman. "Tidak," putusnya dan ketiganya mengangguk murung. "Girls, dia bukan artis. Jangan berlebihan. Dia hanya aset berharga di kafe ini," canda Davina dan ketiganya tertawa. "Aku pikir ada alasan lain mengapa Nona Amara sangat suka duduk di sini." Alis Davion tertaut manakala salah satu dari mereka menyebut satu nama. Ketika matanya melirik pada jam makan siang yang sudah terlewat lebih dari lima belas menit. "Nona Amara sering berkunjung?" "Aku hampir bisa bicara setiap hari. Tapi ada alasan lain. Karena atasanku tidak terlalu suka keramaian. Dia lebih suka menyendiri. Dan kafe ini jawabannya," kata Ana menjelaskan. "Bukan karena baristanya yang tampan?" Ana mendengus pelan. "Itu tidak bisa dijadikan alasan. Nona Amara sangat dingin. Aku rasa dia mati rasa pada barisan pria tampan." "Atau dia hanya jual mahal?" Ana menegur dengan desisan pelan. "Ini kopi kalian. Selamat menikmati." Keduanya melempar kedipan genit. Saat Ana hanya mengangguk sopan, tersenyum dan mendorong kedua temannya pergi. Meninggalkan Davion dalam sepi, dan pada Davina yang membersihkan meja. "Dia asisten perempuan itu, kan?" Davion mengangkat bahu. Menatap kosong pada pintu masuk yang tertutup rapat. "Entahlah." "Saat insiden rapat dadakan yang mereka sebutkan, gadis itu terlihat takut dan gemetar. Ini semua mungkin efek bos yang mereka panggil Amara itu," ungkap Davina. Davion menghela napas panjang. Berbalik untuk pergi saat Davina menoleh, menatapnya dengan sorot datar tak terbaca.  "Kau mau kemana?" "Membuang sampah," balasnya tanpa menoleh. Davina menggeleng dengan hembusan napas berat. Ketika dia melihat Davion beranjak dari pintu belakang. Membuang sampah pada tempat sampah yang telah disediakan. Memudahkan truk pengangkut sampah untuk membuangnya ke tempat pembuangan. Beberapa lagi akan didaur ulang untuk pemasukan negara. Iris pekatnya bergulir. Memandang sekitaran yang sepi. Tidak melihat apa pun sebagai objek yang pantas dipandang, dia berbalik masuk ke dalam. Mencuci tangan di wastafel, mengusap wajahnya sendiri dengan air mengalir. Sebelum menarik napas panjang. "Davina," "Ya?" Davion mengernyit dalam sebelum kembali bersuara. "Ketiga gadis tadi—mereka tidak mengenaliku, kan?" Davina menautkan alisnya bingung. "Aku rasa tidak," jawabnya pelan. "Kenapa?" "Tidak ada." Davina menghela napas. Menatap Davion yang menyibukkan diri pada mesin kopi. "Kenapa?" Davion menggeleng. Masih terpaku pada mesin kopinya yang sedang menumbuk biji kopi di dalam wadah. "Kau takut mereka mengenalimu? Membuat kafe ini sepi dan kembali berita buruk itu membuatmu terluka lagi?" Kali ini Davion memilih untuk diam. "Tidak. Mereka hanya tidak secermat atasannya," dalihnya. Membuat kening Davina berkerut dalam. Memandang sang sahabat dengan dengusan kecil. "Ah, kau bertanya hanya mau membandingkan?" Davion menoleh untuk memberikan Davina mimik wajah membantah. "Untuk pertama kalinya. Siang ini di hari kerja, dia tidak datang berkunjung. Menurutmu mengapa?" Davion menatap jam dinding di atas rak. Menggeleng pias saat dia memindahkan wadah itu ke tempat kopi. "Aku tidak tahu," akunya. "Kau menunggunya?" Davion menggeleng sekali lagi. "Kalau kau tidak menunggunya, kau tidak mungkin memperhatikan pintu masuk dan jam terus-menerus, Davion." Davion ingin sekali bicara, tapi tidak ada satu pun kalimat yang meluncur bebas. Selain memandang Davina dengan sinar sinis, yang membuat perempuan itu tergelak karena tawa. "Berhentilah melucu, Davion." "Ini sama sekali tidak lucu." "Ya Tuhan, aku hanya menggodamu." Davina melambai saat dia hendak membersihkan meja yang penuh dengan piring dan gelas kopi. "Lupakan saja soal tertarik. Kau hanya tidak mau kehilangan pelanggan tetap satu itu, kan? Benar. Bos mereka adalah aset berharga kafe ini sebagai pengunjung." Davion hanya menggeleng sarkas dan Davina tergelak karena tawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD