BAB 19

1004 Words
Zulaikha sampai di rumah saat ibunya masih bekerja, hanya ada ayahnya yang sedang duduk sambil melepit pakaian dan Fauzan yang entah sibuk apa di dalam kamar. Ibunya itu bekerja di sebuah pabrik kue. Kadang kala Zulaikha sedih melihat ayahnya, bayangan seorang anak laki-laki yang dekat dengan ayahnya sering kali berseliweran di mata Zulaikha. Ingin rasanya menasihati Fauzan, untuk berperilaku baik kepada ayah, tapi anak itu tidak pernah mendengarkan nasihat Zulaikha. Dia lebih sering marah-marah atau kadang langsung pergi jika Zulaikha sudah mengeluarkan kata-kata. Selain itu, Zulaikha juga merasa sedih karena ibunya harus bekerja keluar rumah, andai saja ia sudah bisa menganggung semunya, ia pasti tidak akan mengizinkan ibunya bekerja. Sekarang kondisinya membingungkan. "Biar aku aja, Ayah," ucap Zulaikha seraya meraih tangan ayahnya untuk ia kecup. Pak Romy tersenyum, senyuman menenangkan yang selalu Zulaikha sukai. Ayah dan ibu Zulaikha itu memiliki kepribadian yang hampir sama, mereka sama-sama lembut dan tak bisa bicara dengan nada tinggi. Semenyebalkan apa pun Fauzan, mereka tetap sabar, justru Zulaikha yang terlihat sabar malah paling tidak bisa menahan diri kalau sudah melihat Fauzan membentak-bentak orangtuanya. Zulaikha memang salah satu orang yang tidak mudah terpancing emosi, tapi beda lagi kalau dia sudah melihat orangtuanya diperlakukan tidak baik, ia jadi sangat mudah untuk emosi. Selama ini ia memperlakukan orangtuanya dengan baik, lantas kenapa orang lain dengan seenak jidat memperlakukan orangtuanya dengan tidak baik? Kurang lebih itulah yang ada di otak Zulaikha ketika melihat ayah dan ibunya diperlakukan demikian, dia tidak bisa menoleransi. Ia sangat menyayangi kedua orangtuanya, ia rela menjadi pelampiasan, asalkan kedua orangtuanya tetap bisa mengulas senyuman indah--senyuman yang selalu membuat semangat terpecut kembali dalam diri Zulaikha. Ridha Allah Swt. ada pada ridha orangtua, kalau kita tidak memiliki hubungan baik dengan orangtua bagaimana Allah mau memberikan hubungan baik pula dalam kehidupan kita? Banyak orang yang sering kali menyindir atau bahkan mengatakan secara langsung ketidaksenangannya kepada orangtuanya karena merasa tak puas atas apa yang sudah orangtuanya berikan. Padahal, tanpa anak itu sadari, tanpa anak itu tahu sebab dia hanya sadar akan hal yang tampak dia matanya saja, sang orangtua sebenarnya sudah bekerja keras untuk membahagiakan anaknya, tapi, atas dasar nasib, tidak selalu mulus seperti apa yang manusia inginkan, orangtua jadi tak bisa memastikan kebahagiaan itu ada setiap saat. Karena orangtua tidak mau direndahkan anaknya sendiri, sebagai bentuk ajaran tentang attitude, dia jadi terlihat marah ketika kita marah. Memang sudah hakikat manusia ingin diperlakukan baik dengan orang lain, tak terkecuali orangtua kita sendiri, nyatanya, tak jarang saat sedang ada di belakang kita, mereka pun sedih, mereka stress, tapi tak punya kuasa untuk memutar balikkan keadaan menjadi baik dan selalu baik. Zulaikha tidak pernah mengatakan kalau ia menyesal lahir dari rahim ibunya, ia pun tak pernah menyindir orangtuanya secara langsung ataupun melalui media sosial, ia justru selalu membanggakan kedua orangtuanya kepada siapa pun, baginya, guru terdekat dalam hidup ia adalah orangtua, salah satu guru yang mengajarkannya arti kehidupan yang mana harus melibatkan kesabaran dan ketulusan. Tidak perlu jauh-jauh mencari fakir miskin atau siapa pun untuk berbuat baik, mulailah dari orang-orang terdekat, orangtua contohnya. "Kamu istirahat aja dulu, Lik, baru pulang juga, kan?" ucap ayahnya. Zulaikha menggelengkan kepala seraya ikut duduk di tikar tepat di samping ayahnya. "Tadi cuma ada satu mata kuliah, sih, Yah. Aku pulang jam tiga karena Alea ajak aku makan-makan di luar. Nih aku juga bawa buat Ayah, ibu, dan Fauzan. Aku enggak capek, Yah, mending sekarang Ayah makan, biar aku aja yang selesain," ucapnya. Belum sempat ayahnya bicara, Zulaikha sudah lebih dulu memotong dengan suara lembut, "Ayah, biar Likha aja, ya?" Akhirnya pak Romy terkekeh pelan. "Iya-iya, tolong bantu Ayah bukakan makanannya, ya? Dan panggil juga si Fauzan supaya keluar dari kamar, terus bagian ibu tolong masukan penanak biar enggak dingin." Zulaikha langsung menampakkan sikap hormat. "Siap, Ayah, laksanakan!" Lagi-lagi pak Romy terkekeh. Tanpa Zulaikha dan pak Romy tahu, Fauzan menyimak pembicaraan mereka dari balik kamar, karena rumah mereka masih campuran antara tembok dan triplek, tidak ada istilahnya kedap suara. Fauzan menghela napasnya pelan, tak lama kemudian ia keluar dari kamar sebelum Zulaikha menghampirinya. *** Kafka sebelumnya yakin kalau ia sudah bisa move on dengan Zia, tapi kini ia malah uring-uringan melihat Zia sedekat itu dengan David. Dadanya terasa sesak, tapi ia tak mendeskripsikan hal itu sebagai bentuk rasa cemburu, ia justru merasa sayang dengan Zia yang terlihat sangat terjaga dahulu kini malah terlihat murahan di samping laki-laki mapan. Padahal Zia bukan orang kekurangan, dia calon dokter gigi, keluarganya sangat memanjakan ia, Kafka pun aneh dengan Zia. Kalau dia dikatakan perempuan matre jelas itu tidak mungkin, penggila laki-laki tampan pun rasanya David tidak terlalu tampan. Akhirnya yang dapat Kafka lakukan sekarang hanya menggelengkan kepala, bingung. Terkait tawarannya kepada Zulaikha, kini ia malah gemetar sendiri. Nanti malam ia memang akan pergi dengan ayah dan kakak laki-lakinya untuk makan malam bersama, tapi ia belum sama sekali mengabarkan mereka kalau Zulaikha akan ikut serta. Sekarang, ia jadi bingung sendiri. Lagi pula Zulaikha masih belum mengatakan apakah ia mau atau tidak. Kafka langsung melirik handphone saat mendengar suara notifikasi pesan. Nama Zulaikha tertera di sana. "Panjang umur," ucapnya pelan. Zulaikha: Assalamu'alaikum, ini aku Zulaikha. Maaf, ya, Kak, aku enggak bisa datang. Hanya itu, Zulaikha tidak menjabarkan alasannya, Kafka mengerutkan dahi. Zulaikha pasti tidak nyaman dengan ia. Kafka merutuki diri, karena emosi, ia jadi menggunakan orang lain sebagai pelampiasan. Ia menyesal dan merasa malu. Dari kejadian ini ia pun sadar kalau ia masih lemah dalam beberapa hal. Kafka sudah membaca pesan Zulaikha, Zulaikha pun pasti tahu kalau ia sudah membacanya, sekarang ia bingung ingin membalas apa. "Bodoh! Jelas-jelas Zulaikha beda sama Zia!" umpat Kafka sambil memukul keningnya. Di saat itu juga ia langsung menjatuhkan tubuh ke atas kasur, di mana orang mendapatkan kesialan tiba-tiba, kali ini Kafka malah merasa sial atas apa yang sudah ia lakukan sendiri. Inilah pentingnya ilmu tentang jangan asal bicara atau menentukan suatu hal saat kesal, karena atas dasar asal jelas-jelas belum dipikirkan matang-matang, yang merasa beruntung mungkin memang nasibnya sedang beruntung, tapi yang sering terjadi justru merasa buntung. "Jadi pelajaran buat ke depannya," ucap Kafka seraya bangkit kembali ke posisi duduk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD