BAB 9

1003 Words
Sepulang dari kampus, Zulaikha langsung pergi ke rumah sakit tempat di mana ayahnya dirawat sebelumnya. Ia juga sudah mengambil uang beasiswa, mungkin uangnya akan langsung habis, tapi tak apa-apa, lagi pula kesehatan ayahnya adalah hal yang penting dalam hidupnya, jadi ia tak merasa keberatan sama sekali. "Lho ... kok Ayah sama Ibu udah di sini?" tanya Zulaikha saat melihat ayah dan ibunya sedang menunggu ia tepat di halte tempat bus yang ia taiki berhenti. Bu Wilda tersenyum. "Alhamdulillah, Nak, kita dapat keringanan, jadi semuanya enggak usah bayar, katanya, sih, diurus langsung sama anak pemilik rumah sakit. Ibu jadi penasaran orangnya yang mana, mau bilang terima kasih." Zulaikha terdiam beberapa saat. "Nama rumah sakitnya apa deh, Bu?" tanya Zulaikha. "Alhusayn Hospital," jawab Bu Wilda. Zulaikha menepuk keningnya pelan. "Ini pasti ulah kak Kafka," ucap Zulaikha pelan. "Kamu ngomong apa, Likha?" tanya Bu Wilda. Zulaikha langsung menggelengkan kepala. "Yaudah Likha pesan taksi online buat Ayah sama Ibu, tapi Likha enggak bisa bareng pulangnya, ada orang yang mau Likha temuin." "Dosen?" tanya Pak Romy. Zulaikha menggelengkan kepalanya. "Bukan, Ayah, teman Likha kuliah." Pak Romy menganggukkan kepalanya, ia tahu betul bagaimana Zulaikha. Bagi Zulaikha waktu itu sangat berharga, ia tak akan menyia-nyiakan waktu, kalau ia mau bertemu dengan teman kuliahnya, pasti orang itu memang ingin ia temui karena kebutuhan tertentu. "Nah itu dia taksinya," ucap Zulaikha sambil melambaikan tangan. Taksi yang dia pesan secara online itu langsung mendekat dan berhenti tepat di depan Zulaikha dan orangtuanya. "Di antar sesuai alamat, ya, Pak, jangan diberhentikan di jalan yang enggak sesuai, saya bakal lihat dari aplikasi Bapak berhenti di mana. Terima kasih, Pak," ucap Zulaikha kepada pengemudi taksi online itu. Ia tak akan membiarkan ibu dan ayahnya diperlakukan semena-mena, ia tak segan-segan akan memberikan pengemudi bintang satu jika hal itu terjadi. Di sini ia bayar, setiap penumpang harus diperlakukan setara. Hari ini ia ada kelas pukul 07.30 sampai dengan pukul 10.00. Nanti di pukul 12.30 sampai dengan pukul 15.00 ia akan ada kelas lagi. Karena sekarang masih pukul sepuluh lewat, ia masih punya waktu untuk mencari Kafka yang mungkin saja masih ada di rumah sakit. Meskipun ia tak sekaya Kafka, ia tetap tak ingin digratiskan seperti itu dengan cara cuma-cuma, rasanya ia merasa sangat direndahkan, seolah-olah ia tak bisa diandalkan. Zulaikha malah kurang suka diperlakukan seperti itu. Setelah ayah dan ibunya pergi, Zulaikha langsung bergegas ke rumah sakit lagi. Namun, sudah ia kelilingi, ia tak kunjung menemukan keberadaan Kafka. Kalau seperti ini sama saja seperti membuang waktu secara cuma-cuma. Akhirnya Zulaikha pun memutuskan untuk kembali ke kampus, dia tidak mau telat masuk kelas hanya karena mencari keberadaan Kafka yang masih bisa dicari esok hari. Tepat saat Zulaikha hendak keluar dari rumah sakit, ia malah berpapasan dengan Yusuf. Yusuf menatapnya sekilas lalu melewatinya begitu saja. Zulaikha tak ambil pusing lagi pula ia tak kenal dekat dengan Yusuf, terlebih orang itu sepertinya kurang suka didekati, jadi lebih baik memang seperti ini. Tanpa Zulaikha tahu, sebenarnya Yusuf-lah yang sudah membuat pengobatan ayahnya gratis. Ia melihat bagaimana Zulaikha, dari beberapa pertemuan saja ia sudah dapat menilai bagaimana keadaan keluarga Zulaikha. Ia tidak bermaksud pamer, pure ingin menolong, hanya itu. *** Di pukul sebelas lewat Zulaikha sampai di musala yang ada di kampus, ia akan salat Zuhur terlebih dahulu baru masuk ke kelas. Tepat saat Zulaikha hendak melepas sepatu, matanya menangkap sosok Kafka berjalan sambil mengobrol dengan Amar, Kafka memang sering bersama Amar kalau sudah di kampus. Ini kesempatan emas untuk Zulaikha, ia langsung memakai sepatunya kembali lalu mendekat ke arah Kafka.  "Kak Kafka!" panggil Zulaikha. Kafka spontan menghentikan ucapannya lalu menoleh ke arah Zulaikha. Awalnya ia menampakkan wajah terkejut, tapi saat melihat kalau yang memanggilnya adalah Zulaikha, ia langsung tersenyum lebar. "Wah, udah yang ke berapa kali, ya, kita ketemu, halo, Zulaikha?" Zulaikha tersenyum lalu melangkahkan kaki lebih dekat. "Aku mau tanya sesuatu," ucap Zulaikha saat sudah ada di hadapan Kafka. Kafka menganggukkan kepalanya. "Silahkan, mau tanya apa?" ucapnya ramah. "Apa Alhusayn Hospital itu milik keluarga Kakak?" tanya Zulaikha. Kafka menganggukkan kepalanya. "Iya, tapi rumah sakit itu yang urus kakak laki-lakiku, kenapa, Likha?" Zulaikha menghela napas pelan lalu mendongakkan kepala. "Ayah aku hari ini udah boleh pulang ke rumah, harusnya aku bayar biaya pengobatan, tapi ayah aku bilang anak dari pemilik rumah sakit udah urus biaya ayah aku sampai akhirnya ayah aku enggak perlu bayar, apa itu Kakak yang lakukan?"  Kafka menautkan kedua alisnya, bahkan ia belum ke rumah sakit sejak tadi pagi. Ia juga tidak kepikiran untuk melakukan apa yang Zulaikha katakan. "Maksudnya?" Zulaikha tersenyum kecil lalu mengambil amplop dari tas ranselnya. Ia berikan amplop itu ke pada Kafka. "Tolong pegang dulu, Kak," ucapnya. Akhirnya mau tak mau Kafka pun memegang amplop itu, ia masih menampakkan raut bingung, menunggu Zulaikha menjelaskannya. "Aku tau aku bukan orang sekaya Kakak, tapi bukan berarti aku enggak mampu buat berusaha, setidaknya kalau Kakak mau bantu aku, Kakak harus tanya aku dulu. Alhamdulillah aku ada rezeki untuk membiayai biaya rumah sakit ayahku, aku harap Kakak bisa terima. Terima kasih, assalamu'alaikum." Setelah mengatakan itu Zulaikha langsung membalikkan badan dan melangkahkan kakinya. "Zu--" Belum sempat Kafka mengejar Zulaikha, Amar sudah lebih dulu menahannya.  "Lu tanya dulu nanti sama kakak laki-laki lu, baru jelasin ke Zulaikha, sekarang kita salat dulu, hari ini kan ada kelas jam dua belas banget. Ingat kita kuliah bukan di tempat khusus Islam, belum tentu dosennya memaklumi. Ayo kita berusaha profesional jadi mahasiswa." Kafka menghela napas pelan lalu menatap amplop tebal di tangannya. Ia bahkan tak tahu menahu perihal ini. Zulaikha pasti berpikir yang tidak-tidak dengan ia. "Enggak salah lagi, pasti ini ulah kak Yusuf, emang anak ayah siapa lagi kalau bukan gua sama dia," ucap Kafka sambil menyibakkan rambutnya ke belakang. Di sisi lain Zulaikha jauh lebih lega setelah memberikan uangnya kepada Kafka. Ia belum akrab dengan Kafka, lagi pula rasanya sangat malu kalau harus dibiayai sebesar itu oleh laki-laki yang baru dikenali beberapa hari yang lalu. Ia masih punya harga diri, dan ia pun masih sanggup. Dari kaca musala, Zulaikha bisa melihat wajah kusut Kafka, ia juga merasa bersalah sebenarnya, tapi itu lebih baik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD