BAB 8

1302 Words
Zulaikha baru bisa menghela napas lega saat mengetahui adiknya hanya luka di kaki tidak sampai kritis. Dan untungnya orang yang menabrak Fauzan itu mau membiayai orang yang ia tabrak, bahkan dia juga memberikan uang, kalau kata teman-teman tongkrongan Fauzan, bapak yang menabrak mereka cari aman, karena tidak ingin masuk kantor polisi jadi menutup mulut Fauzan dan teman-temannya dengan uang. Fauzan sudah boleh pulang setelah kakinya diperban, kini Zulaikha dan Fauzan jalan berdua dalam keadaan sama-sama diam. Zulaikha sebenarnya kesal, ingin rasanya memarahi anak nakal yang ada di sampingnya, tapi ia tidak mau bertengkar di jalanan, nanti saja setelah sampai rumah baru ia nasihati pelan-pelan. "Assalamu'alaikum, Ukhty," ucap laki-laki sumuran Fauzan, dia sedang jalan bertiga dengan temannya. "Wa'alaikumussalam warrahmatullah," jawab Zulaikha tanpa menoleh sedikit pun. "Boleh kenalan, enggak?" ucapnya lagi, kali ini empat orang laki-laki itu malah mengikuti langkah Zulaikha dan Fauzan. Karena kaki Fauzan sedang sakit, Zulaikha jadi tidak bisa jalan cepat untuk menyetarakan langkahnya dengan langkah Fauzan. Melihat kakak perempuannya digoda, Fauzan jadi kesal, ia pindah ke samping kanan kakaknya, yang mana ada empat orang laki-laki genit sedang menggodanya. Ia akui kakak perempuannya memang cantik dan terlihat masih seperti anak SMA. Bahkan teman-teman Fauzan pun pernah ada yang meminta nomor kakaknya, tapi Fauzan tidak pernah kasih, meskipun ia jarang akur dengan Zulaikha, ia tetap tidak mau kakak perempuannya digoda teman-teman nakalnya. "Pacarnya, ya?" tanya salah satu dari mereka. Fauzan memutar bola matanya malas. "Jangan genit, dia kakak gua," ucap Fauzan, di saat itu juga ia menarik tangan Zulaikha untuk berjalan lebih cepat dari sebelumnya. Ia meringis tanpa suara, sejujurnya kakinya sangat sakit saat melangkah cepat. Zulaikha tersenyum kecil, jarang-jarang Fauzan memedulikannya, ia percaya, Fauzan itu sebenarnya laki-laki baik, hanya saja gengsinya besar untuk menampakkan. "Ayah besok pulang, kan?" tanya Fauzan saat sudah memberhentikan angkutan umum. Isi angkutan umum hanya ada Zulaikha, Fauzan, dan supirnya saja sebab jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Zulaikha mengangguk sambil merogoh handphone dari sling bag-nya. Ada banyak pesan dari Alea, bibir Zulaikha melengkung kecil, Alea adalah teman terbaiknya selama kuliah. "Apa biayanya udah ada?" tanya Fauzan lagi, Zulaikha langsung menoleh, pasalnya Fauzan itu orangnya benar-benar tidak peduli, jadi agak aneh kalau anak itu berubah peduli meski hanya berupa kata-kata. "Emangnya kenapa kamu tanya itu?" Fauzan menyibak rambutnya ke belakang lalu mengalihkan pandangan ke arah kaca angkutan umum yang terbuka. Tanpa berkata apa-apa dia langsung memberikan amplop tebal yang diberikan pengemudi yang menabraknya tadi. Zulaikha menautkan kedua alis bingung. "Kamu mau bantu bayar?" tanya Zulaikha. "Ya kelihatannya gimana?" Zulaikha terkekeh pelan. "Oke, bantuan kamu aku terima, tapi uang ini aku kasih lagi ke kamu, gunain buat bayar SPP kamu tuh, urusan rumah sakit ayah biar aku aja yang urus," ucap Zulaikha sambil menaruh amplop tadi ke pangkuan Fauzan. Fauzan berdecak. "Jangan nutupin kesusahan sendiri dah, udah aja, nanti SPP ...." Belum sempat Fauzan melanjutkan ucapannya lagi Zulaikha sudah lebih dulu membungkam mulutnya dengan jari telunjuk. "Uang tunjangan aku hari ini cair, tadi aku baru dapat kabar dari Alea, udah kamu tenang aja, gunain uangnya sebaik mungkin, lagian nanti tanggal satu aku gajian kok. Jangan ikut kepikiran, sekolah aja yang benar, sebentar lagi kamu mau lulus, kan?" Fauzan lagi-lagi berdecak, tapi kali ini dia tak membantah. "Kiri, Bang," ucapnya saat angkutan umum sudah sampai di gang rumahnya. "Terima kasih, ya, Pak," ucap Zulaikha sambil memberikan uang sepuluh ribuan yang ia dapatkan dari case handphone, kadang ia memang suka menaruh uang kembalian di case handphone, untuk kali ini ia sangat bersyukur, ia benar-benar tak ada uang selain sepuluh ribu itu. "Kamu udah makan?" tanya Zulaikha, mereka masih harus jalan kaki untuk sampai rumah. Fauzan menggeleng. "Yaudah nanti aku buatin nasi goreng." "Nasi udah habis, jangankan nasi, beras aja udah habis," ucap Fauzan. Bibir Zulaikha sudah terbuka, tapi belum sempat Zulaikha mengeluarkan suara, Fauzan sudah lebih dulu memotong ucapannya. "Beli nasi goreng aja tuh." Tanpa mau mendengarkan komentar Zulaikha lagi, Fauzan langsung melangkahkan kaki lebih dulu ke arah tukang nasi goreng. Zulaikha menatap sendu bahu lebar adik laki-lakinya yang kini sudah mulai menjauh. Kadang kala ia juga kasihan dengan Fauzan. Ia embuskan napas pelan sebelum akhirnya ikut melangkahkan kaki menuju tukang nasi goreng. Setelah nasi goreng dibungkus barulah mereka melangkahkan kaki kembali ke rumah. Fauzan memilih makan di kamar sementara Zulaikha makan di ruang depan rumahnya. Sebelum makan ia hubungi nomor ibunya, ya, Zulaikha sempat membelikan ibunya handphone jadul yang hanya bisa SMS dan telepon saja. Tidak lama menunggu ibunya langsung mengangkat, rupanya ia habis melakukan salat sunnah. "Maaf, ya, Likha belum sempat ke sana, tadi Fauzan ditabrak orang, tapi alhamdulillah enggak parah, cuma luka di kaki aja dan udah diobatin sama dokter, Fauzan sekarang lagi makan, Ibu sama Ayah enggak usah kepikiran, dia enggak apa-apa kok. Ibu sama ayah udah makan belum?" ucap Zulaikha. "Udah tadi, ayah pakai makanan dari rumah sakit dan Ibu beli di depan rumah sakit pakai uang yang kamu kasih. Terus gimana, Fauzan beneran enggak apa-apa, kan? Kamu sendiri udah makan belum? Jam segini harusnya kamu udah tidur, Likha." Zulaikha terkekeh pelan. "Fauzan enggak apa-apa kok, Likha juga mau makan nih, Bu. Kalau gitu Likha izin matiin telepon, ya, nanti habis kuliah Zulaikha jemput ayah sama ibu buat pulang. Ibu kalau perlu apa-apa telepon Likha aja, ya." "Iya, makan yang kenyang, Lik, terima kasih udah bantu ayah sama ibu." Setelah memastikan ayah dan ibunya sudah makan, barulah Zulaikha bisa makan, jujur saja perutnya sangat lapar, ia hanya sempat sarapan pagi dan minum air putih saja. *** "Kok kamu bisa tau tunjangan turun, kamu enggak ikut daftar, kan, waktu itu?" tanya Zulaikha. Pagi-pagi ia sudah ada di kampus bersama Alea. Alea yang baru saja sampai langsung mengeluarkan dua botol kopi hangat dari tote bag-nya, ia berikan satu botol kepada Zulaikha. "Aku tau dari Isal, semalam aku, kan, ikut nongkrong di cafe, eh Isal buka pembicaraan tentang tunjangan yang katanya cair, aku ingat kalau kamu ikut daftar waktu itu, jadi aku kasih tau, siapa tau kamu lupa karena terlalu sibuk." Zulaikha menganggukkan kepalanya. "Oh gitu, terima kasih, ya, kalau kamu enggak kasih tau mungkin pagi ini aku bakal galau." "Galau kenapa?" Zulaikha hanya menggelengkan kepalanya. "Enggak apa-apa," jawab Zulaikha sambil tersenyum. Alea tahu, kalau Zulaikha tidak cerita tandanya hal itu memang privasi, jadi ia memutuskan untuk ganti topik pembicaraan. "Kamu udah sarapan belum? Kelas masih setengah jam lagi, temenin aku sarapan yuk, karena hari ini aku lagi senang banget sebab bangun pagi, aku bakal traktir kamu." "Ah enggak usah, kamu aja yang sarapan." Alea mendengkus, tak lama kemudian ia peluk lengan Zulaikha lalu ia tarik paksa menuju warteg yang ada di depan gedung kampus mereka. "Le!" teriak Zulaikha saat mereka hampir saja tertabrak mobil. Alea langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan, ia segera menarik tangan Zulaikha agar pindah tempat. Ia membungkukkan badan sebagai permohonan maaf, tak lama kemudian kaca mobil terbuka, menampakkan senyuman laki-laki yang tidak asing lagi di mata mereka. "E-eh, Kak Kafka, maaf, ya, Kak," ucap Alea yang disetujui oleh Zulaikha. Kafka mengangguk. "Lain kali jangan lari-larian, aku duluan, ya ...." Setelah mengatakan itu Kafka langsung menutup kaca dan menggas mobilnya kembali. Alea menghela napas pelan, setidaknya ia tak harus kena damprat seperti yang sudah-sudah. Ya betul, Alea memang sering mengalami hal ini, bahkan beberapa waktu lalu ia sempat keserempet mobil karena terlalu asyik tertawa. "Alea ... Alea ...," ucap Zulaikha sambil menggelengkan kepala. Alea hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil menampakkan wajah bersalah. Mata Alea langsung mengerjap. "Itu, kan, kak Zia, dia dulu digosipin mau nikah sama kak Kafka, kok enggak nikah-nikah, ya?" ucap Alea sambil menatap perempuan berpostur bagus yang ada beberapa meter di depannya. "Ssst ... jangan ikut campur masalah orang, Le!" omel Zulaikha. Alea langsung terkekeh. "Padahal aku berharapnya kak Kafka sama kamu, abis pertemuan pertama kalian ngegemesin banget." Zulaikha langsung menutup mulut Alea karena anak itu bicara dengan suara keras. Kalau anak-anak kampus tahu Zulaikha bisa jadi bahan hujatan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD