BAB 7

1053 Words
Zulaikha terpaksa meninggalkan ibu hamil tadi karena mendapatkan telepon dari nomor adiknya--Fauzan--tapi yang terdengar malah suara orang lain. Rupanya itu teman Fauzan, dia bilang Fauzan kecelakaan bersama satu temannya, jadi posisinya Fauzan dibonceng. Kini, dua anak laki-laki itu sudah dibawa ke rumah sakit oleh warga, bahkan motor teman Fauzan ikut rusak sebab yang menabrak mobil sedan yang mana pengemudinya sedang mabuk. Antara kesal dan cemas menyatu menjadi satu, ia kesal karena Fauzan masih saja suka keluar malam, dan ia cemas sebab Fauzan adalah adiknya, walaupun anak itu nakal dan sulit diatur, Zulaikha tetap menyayangi Fauzan. Jangankan saudara sendiri, melihat orang lain kesusahan saja Zulaikha ikut khawatir. Ia sengaja tidak memberi tahu kedua orangtuanya dan memilih untuk pergi ke rumah sakit sendiri. Sudah sepuluh menit lamanya ia berdiri di tepi jalan, menunggu angkutan umum lewat, tapi apa yang ia tunggu itu tak kunjung datang, padahal ia sudah tidak sabar ingin segera melihat keadaan adik semata wayangnya di rumah sakit yang berbeda. Sebenarnya rumah sakit tempat ibu hamil yang Zulaikha tolong sama dengan rumah sakit tempat ayahnya dirawat, tapi ia tetap tidak mau memberitahu kedua orangtuanya dulu tentang ini. Ia akan pastikan Fauzan baik-baik saja barulah ia kabarkan kepada orangtuanya. Ia hanya tidak ingin ayah dan ibunya sedih. Tadi ia sempat longok, baik ayah ataupun ibu sudah tidur, jadi ia tak tega membangunkan untuk memberitahukan kabar buruk. "Lho ... Zulaikha, kamu ngapain di sini?" tanya seorang laki-laki yang suaranya sangat familiar di telinga Zulaikha. Zulaikha langsung menoleh, rupanya itu Kafka, Kafka tidak sendiri, dia bersama laki-laki yang baru saja Zulaikha temui beberapa waktu lalu, Yusuf, ya laki-laki itu Yusuf. "Ayahku dirawat di sini, Kak," ucap Zulaikha. Kafka menganggukkan kepalanya sambil membulatkan bibir, sementara itu Yusuf malah diam saja sambil menatap lenggangnya jalanan malam ini. Kafka dan Yusuf sama-sama membawa satu gelas kopi yang masih mengebul, bukan gelas kaca, gelas pelastik yang memamerkan merk dari kopi tersebut. "Terus sekarang kamu mau ke mana?" tanya Kafka. "Mau ke Rumah Sakit Citra Kasih, tadi baru dapat kabar kalau adikku kecelakaan," jawab Zulaikha, dia langsung menunduk setelah mengatakan itu, Kafka tampak prihatin dengan Zulaikha, karena itu Zulaikha langsung menunduk, sebenarnya ia kurang suka dikasihani, tapi ia masih punya rasa sadar diri. "Innalillahi, jam segini angkutan umum udah jarang lewat, dan sekalinya lewat pun sepi penumpang, bahaya perempuan naik angkutan umum sendirian di jam segini. Gimana kalau bareng aku sama kakakku aja? Kebetulan tadi aku jalan kaki ke sini karena mobilku mogok, kita sama-sama numpang sama kak Yusuf, gimana, boleh, kan, Kak?" Yusuf yang sebelumnya melamun sambil menatap jalanan langsung menoleh bingung. "Apa?" tanyanya. "Kakak bisa, kan, kasih kita tumpangan? Aku yang bawa deh mobilnya biar Kakak enggak merasa jadi supir." "Kita? Kamu sama siapa?" tanya Yusuf sambil menautkan kedua alis bingung, ia memang kurang menyimak apa yang dibicarakan Kafka dengan Zulaikha tadi. "Zulaikha, dia adik tingkat aku di kampus, malam-malam gini mau ke Rumah Sakit Citra Kasih, kan, ngeri ...." Yusuf langsung mengalihkan pandangannya ke arah Zulaikha, perempuan itu terlihat tidak fokus dan gelisah, bahkan keningnya pun berkeringat meski udara malam ini lumayan dingin. Yusuf berdecak lalu jalan lebih dulu meninggalkan Zulaikha dan Kafka. "Enggak usah deh, Kak, terima kasih, Allah pasti lindungi aku, aku percaya itu," ucap Zulaikha kepada Kafka. Kafka cekikikan, Yusuf memang selalu seperti itu. "Kalau dia enggak nolak tandanya dia setuju, Lik, kakak laki-lakiku itu orangnya emang agak nyebelin, dinginnya kebangetan, apalagi sama perempuan. Jangan dibawa ke hati, ya, aslinya dia baik kok." Zulaikha menggelengkan kepalanya. "Enggak usah, Kak, aku enggak enak," ucap Zulaikha kekeh. "Ayo biar saya antar," ucap Yusuf yang sudah jalan beberapa langkah ke depan. "Nah, kan ...," ucap Kafka sambil cekikikan, "ayo, Lik." Karena melihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, mau tak mau akhirnya Zulaikha pun menyetujui, lagi pula ia sudah sangat cemas dengan keadaan Fauzan. *** Kafka membukakan pintu untuk Zulaikha di bagian belakang sendiri, karena tidak mungkin Zulaikha duduk di sampingnya atau di samping Yusuf, jadi lebih baik perempuan itu duduk sendirian di belakang. Sesuai dengan apa yang sudah Kafka katakan, dia yang mengendarai mobil. "Bagaimana keadaan ibu hamil tadi, kamu sempat melihat anaknya? Atau dia hanya sakit perut biasa, bukan melahirkan?" tanya Yusuf tiba-tiba setelah menyeruput kopinya yang sempat terabaikan. Kafka yang sebelumnya fokus menyetir langsung menoleh. "Ibu hamil mana? Kalian udah kenal?" tanya Kafka. Yusuf berdecak lalu mendorong kepala Kafka agar menatap ke depan, ia tidak mau mati karena kelengahan Kafka dalam berkemudi. "Jelasin dong, kepo nih ...," ucap Kafka. "Tadi aku ketemu sama ibu-ibu yang mau melahirkan gitu, terus pak Yusuf bantu aku buat bawa ibu hamil tadi ke rumah sakit dari banyaknya orang yang menjauh, mungkin trauma dengan kasus pencurian dengan metode seperti itu. Nah soal keadaannya sekarang, aku kurang tau karena aku keburu dapat telepon dan bergegas cari angkutan umum." Kafka menganggukkan kepalanya sambil membulatkan bibir. "Pantas aja kalian kenal." Sepanjang perjalanan Kafka banyak bertanya dengan Zulaikha, dari mulai urusan kuliah, pekerjaan, sampa hal-hal yang Zualikha sukai. Yusuf hanya menyimak sambil memejamkan matanya, harusnya ia sudah kembali ke rumah, merebahkan tubuh di atas kasur untuk merilekskan otot-ototnya yang terasa pegal karena banyaknya pasien hari ini. Jangan kira tugas Yusuf hanya bedah, ia juga harus mengurus beberapa pasien yang kontrol, dari kalangan anak-anak sampai lansia dan beberapa tugas lainnya. Terlebih rumah sakit milik ayahnya itu tergolong rumah sakit besar dan banyak didatangi orang sebab memberikan banyak tunjangan untuk orang yang membutuhkan, jelas saja ia sering pegal linu. Ayahnya tidak hanya mendirikan perusahaan, tapi juga rumah sakit, panti asuhan, dan panti jompo. Katanya beberapa bulan lagi ayahnya juga ingin membangun pesantren, tapi hal ini masih menjadi wacana sebab dana belum memumpuni. Kafka menghentikan mobilnya di parkiran, padahal Zulaikha sudah meminta berhenti di depan rumah sakit. "Terima kasih, ya, Kak Kafka, Pak Yusuf," ucap Zulaikha sambil menangkupkan tangannya setelah keluar dari mobil. "Iya sama-sama, semoga lekas membaik, ya, adik dan ayahnya." Zulaikha segera meng-aamiin-kan, tak lama kemudian Kafka izin pergi, sebelum mobil benar-benar pergi, Zulaikha sempat bertatapan dengan Yusuf yang sedang menatapnya dengan ekspresi dingin. Kafka dan Yusuf benar-benar terlihat sangat berbeda, di mana Kafka terlihat ramah, Yusuf justru terlihat dingin tak tersentuh. "Aku kagum sama dia, dia perempuan mandiri, pintar, dan tentunya saleha, masyaallah, istri idaman," ucap Kafka. Yusuf hanya menghela napas pelan sambil menutup kaca mobil, entah mengapa setiap kali membahas perihal perempuan Yusuf selalu tidak selera. Sulit rasanya membuka hati untuk perempuan lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD