**
Ditatapnya potret yang masih berdiri di atas nakas samping tempat tidurnya. Foto Retha. Sampai kapan ia harus bergumul dengan perasaan kehilangan ini? Apa kehilangan Retha adalah salahnya? Dwika menggeleng. Hanya saja dia marah, kecewa, selama ini ternyata ia tak mampu menjadi kekasih yang bisa dipercaya. Retha-nya tak mengatakan sepatah kata pun atau berusaha menitip pesan untuknya, agar ia kelak dapat melangkahkan kaki dengan percaya diri. Tapi tidak. Retha-nya tidak melakukan itu. Dia membiarkan dirinya dihempas ombak rasa bersalah dan diombang-ambing perasaan galau resah tak berkesudahan.
Kini, takdir mempertemukan dia dengan seorang gadis. Seluruh keluarga setuju gadis itu jadi bagian dalam hidupnya. Kesal, kenapa orang-orang tak ada yang peduli pada perasaannya? Kenapa orang-orang tak ada yang bertanya, apa yang ia mau? Seluruh hidupnya di atur hanya karena terlihat dirinya yang kuyu tak b*******h, seolah hidup enggan mati pun segan. Mereka tahunya Dwika yang bersedih karena ditinggal mati sang kekasih. Mereka takut Dwika trauma dan tak ingin menjalin hubungan lagi.
"Kenapa kamu nggak nunggu aku, Re?" didekapnya pigura tersebut.
Tubuhnya menggelung sambil memeluk pigura. Membawanya dalam mimpi. Namun baru saja ia terbawa hanyut, ketukan di pintu kamarnya membuyarkan mimpi setengah jadinya.
"Ka! Turun, Bunda mau ngomong katanya tuh!" itu suara Ega.
Mengusap wajahnya kasar. Menyimpan kembali pigura itu pada tempatnya. Beranjak turun walau pegal di seluruh tubuhnya masih menggelayut.
"Apa Bun?"
Tika sudah menunggunya diruang keluarga. Dwika sudah menduga pasti ada kaitannya dengan Moody.
"Udah ketemu Moody?"
Benar kan?
"Udah, kemaren udah ketemuan, Dwika anter juga sampe rumahnya."
"Trus?"
Dwika menggeleng,"Ya nggak ada terusnya. Dia nggak bilang apa-apa."
"Kamu kayaknya yang kurang agresif, Ka."
"Bundaaa, semua itu perlu proses. Bunda tahu kan dia masih labil, ABG Bun. Si Momo itu masih ABG," sahut Dwika.
"Ya udah, Bunda nggak akan maksa lagi kamu sama Moody. Terserah kamu aja, sama siapa aja, yang penting dia perempuan dan kalian cepat menikah," tandas Bunda sambil berlalu.
Kok jadi gini? Nyari lagi cewek? Lama lagi. Adaptasi lagi. - Dwika
Pikirannya semrawut. Dia menyambar jaket kulit dan kunci mobilnya. Tak bisa dia begini terus. Lalu menghubungi seseorang di ujung sana.
"Bro, ketemuan yuk?"
"Ampas! Gue normal kali, masih seneng kue apem gue, bukan batang kayak lo!" sembur Bayu.
"Di tempat Hulk, oke?"
Bayu tahu ini bukan ajakan melainkan perintah. Dan sang diktator itu Dwika.
"Iyeee!"
Tempat Hulk itu semacam tempat nge-gym. Pemiliknya kebetulan teman Dwika. Tidak termasuk sering nge-gym tapi banyaknya kongko-kongko atau nongkrong di kolam renang tak jelas. Maklum jomblo.
"Bos lagi keluar kota ya?" tanya Dwika pada resepsionis yang dijawab dengan anggukan.
"Mau reservasi tempat biasa, Bang?"
Dwika mengangguk,"Hm, boleh. Nanti kalo ada Bayu, suruh langsung ke sana ya?"
"Siap Bang."
Karena seringnya Dwika kemari, para pegawai Hulk sudah hapal pada customer satu ini, selain sahabat dari sang pemilik, juga terkenal paling ganteng juga royal dalam memberi tip.
Tempat gym ini memiliki fasilitas lengkap. Ada sauna, dan kolam renang air panas. Tempat favorit Dwika di kolam renang air panas, biasanya ia akan merasa rileks setelahnya.
Ketika asik dengan kehangatan di punggung dan kakinya, Dwika dikagetkan dengan pekikan dan suara ribut dari arah tempat gym. Penasaran. Dia melongok keluar dan mengikuti arah suara ribut-ribut tadi.
"Telpon ambulans dong!" seru seorang gadis.
"Moo, Moo bangun dong. Aduh gila, gimana nih?"
Mata Dwika terbelalak. Moody?
"Kenapa Moody?" Dwika langsung menghampiri.
"Tadi kita lagi nge-treadmil, tiba-tiba dia pingsan," sahut temannya yang lain.
Tanpa ba-bi-bu Dwika memindahkan tubuh Moody ke matras. Memeriksa denyut nadi di lehernya. Masih berdenyut. Ditepuk-tepuknya pipi Moody.
"Moo, Momo. Bangun Moo."
Saat Dwika akan melakukan kompresi, Kania menepis kedua tangan Dwika.
"Dia habis operasi, jangan gegabah!"
Dwika diam. Operasi? Operasi apa?
"Oke, kalian tunggu di sini."
Dwika cepat mengganti bajunya lalu kembali ke tempat gym. Membopong Moody tanpa mengindahkan rentetan pertanyaan dari teman-teman Moody. Bahkan panggilan Bayu yang baru sampai tak ia hiraukan.
"Cit! Lo ikut Om itu. Gue ikutin dari belakang," titah Kania sambil masuk ke dalam mobilnya sendiri.
Cita duduk di belakang menemani Moody yang masih pingsan. Dengan cepat Dwika melajukan Range Rover-nya.
"Moody abis operasi apa?" tanya Dwika disela kekuatirannya.
"Setahuku operasi hati," jawab Cita.
Operasi hati?
Laju ingatannya mengembara saat pertemuan pertamanya waktu di rumah sakit bersama Ega dan Kenzo.
Sirosis.
*
"Padahal sudah dua tahun, Prof. Tapi kenapa masih seperti ini? Kenapa tubuh Moody masih belum bisa adaptasi dengan baik? Apakah ada ketidak-cocokan antara pendonor dan Moody?"
"Sejak awal pemeriksaan semua lancar, tak ada kendala, tak ada yang salah. Kau tahu sendiri aku yang menangani dan memantau segalanya dari dini. Sayang, dokter Egi sedang berada di Korea."
Itu petikan pembicaraan antara profesor Abimanyu dan Reinhard yang sempat Dwika curi dengar. Apalagi pembicaraan mereka menyangkut-pautkan dengan kakaknya, Egi.
Cepat dia menelpon Egi, tak peduli di sana masih pagi buta juga.
"Mbak Egi?"
"Apa? Bukannya salam dulu, Bunda nggak kenapa-napa kan?"
"Mbak Egi pernah nangani pasien sirosis dua-tiga tahun lalu?" tembak Dwika cepat tak mau bertele-tele.
Hening. Dwika sampai mendengkus tak sabar.
"Mbak?"
"Iya, kenapa?"
"Nama pasiennya siapa? Pendonornya siapa?"
"Nama pasiennya Moodrika kalo nggak salah. Pendonornya... Etiket kedokteran, sori!" sahut Egi dari sebrang.
"Moody anfaal. Mbak bisa pulang dulu nggak?"
"Kok bisa anfaal? Nggak mungkin. Eh, kamu kenal Moodrika?"
"Calon adek iparmu,"
"Ap-apa?!"
"B aja kali. Bunda jodohin aku, kuker tuh orangtua."
"Hust! Disumpah kayak si Malin mau lo?"
"Ya Mbak, balik dulu? Kasian bokapnya tuh."
"Tar ya, aku nggak janji. Kakak iparmu lagi banyak operasi, panen dia."
"Nanti aku telpon Prof Abi deh!" putus Egi.
Dwika lega. Setidaknya satu kekhawatirannya berkurang. Eh? Kenapa ia sekhawatir ini? Dwika memandang pintu IGD nanar.
Semoga si Momo nggak kenapa-napa...
"Ka!"
Dwika menghembus napas gusar. Siapa pelaku yang mengabari Bunda?
"Ka, gimana Moody?" Tika terlihat cemas.
"Lagi diperiksa. Bunda ngapain kesini? Siapa yang kasih tau?"
"Ya Utarilah, tantenya Moo."
Bisa tambah rumit kalau Tika sampai berpikir cepat. Dwika hapal tabiat ibunya itu.
"Trus, kok bisa bareng kamu, Ka? Kalian nge-gym bareng?"
Dwika menggeleng,"Nggak. Dia lagi sama temen-temennya,"
"Ega bilang dia sirosis, iya? Duh, calon mantu Bunda kok malang bener?"
Dwika geleng-geleng kepala, heran dengan Tika yang bersikap seolah Moody anak kesayangannya. Dibilang calon mantu juga masih kejauhan.
"Egi dokter yang ngoperasi Momo, Bun."
Tika menoleh,"Apa? Kok bisa kebetulan?"
Ya, serba kebetulan. Kebetulan mbak Egi yang operasi Momo. Kebetulan juga Retha masuk sakit. Apa ini...
"Mas Rein!" suara Tika membuyarkan lamunan Dwika.
"Gimana Moody, Mas?"
"Fifty-fifty,"
Tika menutup mulutnya.
"Mbak Egi akan segera pulang kok, Om," sela Dwika.
Reinhard mengalihkan pandangannya,"Ohya? Syukurlah. Yang tahu kondisi Moo saat itu adalah Egi. Terima kasih, Dwika."
Reinhard menepuk-nepuk bahu pemuda itu. Dwika hanya mengangguk. Sedang di benaknya keduanya diliputi berbagai pertanyaan. Apa benar asumsinya kali ini? Jawabannya ada pada kakak perempuannya.
Semoga salah. Semoga bukan Moody.
Dwika menggelengkan kepalanya berkali-kali. Entah mengapa dia berharap kemungkinan itu salah, kalau penerima donor itu bukanlah Moody.
**
Next