*
Dwika terpekur mendapat pengakuan dari kakaknya yang baru tiba di Indonesia dua hari lalu itu. Begitu tiba Egi langsung ke rumah sakit dan mengadakan rapat terbatas dengan Profesor Abimanyu juga Reinhard.
"Jadi..." Dwika mundur beberapa langkah sampai menubruk tembok.
Egi mengangguk lemah,"Ya. Retha pendonornya. Puas lo?! Udah bikin gue berasa jadi pengkhianat? Langgar sumpah gue sebagai tenaga medis?!"
Dwika menggeleng,"Loh? Gue kan nggak sengaja denger pembicaraan serius kalian. Trus sekarang gue minta klarifikasi. Salah gue di mana?"
Dwika memang tidak sengaja menguping pembicaraan Egi dengan Reinhard di lorong rumah sakit menuju ICU.
Sungguh, dia tak percaya Retha benar-benar merealisasikan impiannya. Dulu, gadisnya itu selalu punya keinginan yang menurut Dwika konyol, ngawur dan terlalu mahal. Mulia memang, tapi Dwika tak suka.
"Dwi, kalo aku nanti meninggal, aku pengen mendonorkan satu organku yang masih bagus untuk orang yang saat itu sangat membutuhkan," kata Retha tiba-tiba.
Dwika terbeliak begitu mendengar kalimat yang lancar dari bibir gadis yang duduk di sampingnya itu. Nyaris tanpa beban. Ia tahu kekasihnya itu sangat berhati malaikat. Mudah iba dan penyayang. Bagaimana tidak Dwika sangat mencintainya?
"Ngawur. Kok jadi kesitu sih? Kita doa aja, kita baik-baik, sehat wal'afiat, aman sentosa. Bisa kan? Kalo mau sedekah, mending harta. Tenang aja, aku bakal bangun panti yang kamu impikan itu Re," Dwika meraih jemari Retha dan mengecupnya.
Retha tersenyum,"Aku malah berpikir sebaliknya, Dwi. Selama kita memiliki apa yang bisa disumbangkan, ya udah sumbangkan aja. Tenaga, pikiran, tidak selalu berupa materi."
"Iya, tapi apa yang kamu bilang tadi? Mau jadi pendonor organ? No, aku nggak bolehin."
Retha terkekeh,"Lah? Itu juga kalo aku sehat loh Dwi. Emangnya segampang itu jadi pendonor? Apalagi pendonor organ tubuh."
"Mau kamu sehat atau nggak, kamu nggak boleh donorin apapun. Kecuali darah, aku masih tolerir!" sahut Dwika tak mau dibantah lagi.
Sekelebat slide masa lalu itu buyar saat terdengar dering telpon.
"Ya?"
"...."
"Baik, Prof."
Egi beranjak dari duduknya yang diikuti Dwika.
"Mbak, ada apa?"
"Moody udah siuman."
Dwika diam. Dia benci sekali mendapati kenyataan bahwa sebagian dari diri Retha ada dalam tubuh Moody. Calon tunangannya sendiri.
"Ayo Ka, lo nggak mau liat Moody?"
Dwika menggeleng,"Nggak perlu."
Egi mengernyit,"Loh? Moody udah siuman loh Ka. Siapa yang pengen Moody sembuh? Itu termasuk lo kan?"
"Itu sebelum gue tahu yang sebenarnya. Bisa-bisanya mbak Egi ngebiarin hal ini terjadi," ujarnya frustasi.
"Siapa yang sangka kalo pasien gue itu Moody? Gue juga baru ngeh kalo yang jadi donor Moody itu Retha, tunangan lo. Lo pikir gue nggak syok, apa?" balas Egi emosi.
"Lalu kenapa lo nggak ngomong ke gue dari awal? Kenapa lo nggak cerita? Itu sama aja lo udah niat jelek sama gue, bohongin gue!" sentak Dwika.
"Retha yang nanda-tangani sendiri surat persetujuannya, b**o! Dia udah wanti-wanti bahkan sama Om Rein agar nggak bilang siapa-siapa. Paham lo? Ini bukan salah siapa-siapa, Ka. Apalagi Moody. Jangan pernah lo salahin dia!" tandas Egi sambil berlalu.
Dwika menyandar lemas di balik pintu. Mengusap wajah dan menjambak rambutnya sendiri. Frustasi sendiri. Benci sendiri.
Sekarang aku harus gimana, Re?
*
Dwika benar-benar mewujudkan amarahnya. Sudah lebih dari seminggu dia menghindar dari segala apa pun yang berkaitan dengan yang berbau MOODY.
Dia tak peduli dibilang tak bertanggung-jawab atau egois pun. Toh selama ini ia sudah cukup menuruti apa kemauan Tika. Dan kali ini baik siapapun tak ada yang berhak menghalangi keinginan Dwika.
Bahkan kini Dwika akan menjalankan rencana gilanya, pergi sejauh mungkin, di mana ia tak bisa melihat Moody atau mengingat cintanya pada Retha.
"Ka," Tika menyentuh punggung anak lelaki semata wayangnya itu.
"Bun, bisa Bunda lebih ikhlas melepasku? Aku udah nurutin segala maunya Bunda. Tapi untuk yang satu ini, maaf, maaf aku nggak bisa. Bunda tahu aku sangat mencintai Retha. Dan apa Bunda bisa bayangin, kalau ada sebagian dari diri Retha berada di tubuh Moody? Sedang Bunda tetap memaksakan perjodohan ini, jujur, Bunda nyuruh aku mati. Retha donorin hatinya buat Moody. Apa itu artinya? Seandainya Retha nggak donorin hatinya dia masih hidup," papar Dwika.
"Ka! Itu nggak bener. Egi sendiri yang bilang kalo Retha emang nggak bisa bertahan, kondisinya sudah parah. Setelah operasi Retha malah kolaps. Dan Moody memang membutuhkan organ yang fresh, apa salahnya dengan itu?" Ega menengahi.
"Ck, apa salahnya? Tentu salah, Mbak! Retha masih bisa bertahan dan mungkin masih hidup hingga detik ini kalau saja tidak mendonorkan hatinya buat anak manja itu!" sergah Dwika.
"Dwika!" bentak Tika.
"Cinta membutakanmu, Nak."
Setelah itu Tika masuk ke dalam kamar dan mengurung diri.
"Gila kamu, Ka! Sekeras itu kamu bantah Bunda? Sana, sana pergi! Nggak usah pulang-pulang. Sekarang kita nggak mau tahu apa pun soal kamu. Terserah!" Ega mendorong bahunya agar menjauh dari pintu kamar Tika.
Dwika melangkah mundur lalu keluar dengan perasaan berkecamuk. Mempertanyakan kenapa dia harus berbaik hati dan menerima semua titah Tika? Semua yang di perintahkan wanita nyaris saja membuatnya mati merana.
Dwika melajukan Range Rover coklatnya menuju Hulk. Tapi, entah mengapa stirnya justru ia belokkan saat tiba di persimpangan yang menuju rumah Moody.
Dwika mendengkus. Sial! Kenapa gue kesini?
Dia masih duduk di belakang kemudi, matanya awas menatap ke jendela kamar di atas sana. Lalu ada sebuah sedan berhenti tepat di depan pagar rumah Moody. Memperhatikan apa saja interaksi dua remaja itu.
"Dan itu pastinya cowok kamu, Moo. Lengkap udah hal yang bikin aku makin nggak suka. Hati Retha ada sama kamu dan kamu bukan kriteriaku. Lagian kamu nggak komit. Lucu, tapi aku nggak suka hati Retha ada di tubuh kamu!"
Dwika bermonolog geram dengan suara tertahan seraya tatapnya yang tak lepas dari dua remaja di sana.
Dilihatnya Moody yang ikut tertawa. Begitu lepas. Tak menyadari kehadiran seseorang yang memperhatikan dari jauh. Merasa bersalah tapi benci. Herannya, dirinya tak suka melihat Moody sedekat itu dengan cowok lain.
Dwika berdecih, bisa-bisanya hati Retha, Moody bawa-bawa dalam keadaan suhu dingin begini, begitu pikirnya.
Bocah! Bukannya gosok gigi, cuci kaki, cuci tangan, terus tidur! Ini malah kelayapan.
Dwika turun dan menghampiri keduanya dengan langkah lebar. Dia berdehem.
"Kak Dwika?!" Moody terlonjak.
"Udah malem, masuk!" kata Dwika tanpa basa-basi.
Moody mengernyit. Dia pantang disuruh-suruh dengan nada datar dan dingin seperti itu.
"Masih jam delapan."
"Tapi tetap udah malem, Momo. Permisi," Dwika menggiring Moody masuk ke dalam rumah.
Di dalam sudah ada Reinhard, Utari, dan Titus.
"Permisi,"
"Ya? Eh Dwika? Kapan pulang dari Korea?" sambut Utari.
Dwika mengernyit, lalu mengangguk paham. Pasti ini kerjaan Tika yang terpaksa berbohong karena Dwika yang tak mau menjenguk Moody.
"Kemarin, Tan. Maaf ya, nggak sempet beli oleh-oleh." Dwika agak membungkuk sebagai rasa hormat.
"Trus, ini ada apa ya? Kamu malem-malem datang kemari?" tanya Reinhard.
"Aku ingin memastikan hubungan kami. Tepatnya, aku akan segera melamar Moody."
"Apa?!"
"Kakak nggak lagi bercanda kan?"
Dwika menatap Moody yang mendongak dengan mata menyipit lalu beralih pada Reinhard.
"Aku mohon restu Om."
"Melamar Moody? Apa tidak terlalu cepat?" sahut Reinhard.
"Kami bisa pacaran setelah menikah,"
Dwika menoleh ke arah Moody yang cemberut lalu meraih jemarinya.
"Dan Moo pun aku ijinkan kuliah kok, Om."
"Dwika, Om suka ke-gentle-an kamu. Tapi Moodrika Ayudya, anak Om satu-satunya. Peninggalan istri Om. Amanah yang harus Om jaga lahir-batinnya. Om belum bisa memberikan Moo pada siapapun. Apalagi Moo dalam keadaan sakit-sakitan, Om--"
"Maaf, aku sela. Aku tahu Om. Tapi aku berjanji akan bahagiain Moo," sela Dwika cepat.
"Kamu gimana?" semua tatap teralih pada Moody yang bengong, membungkam mulutnya.
**
Next