*
Ternyata yang datang ke rumah keluarga Reinhard adalah keluarga Tika. Katanya mereka hendak bersilaturahmi. Moody sudah digelendoti Kenzo sejak bocah itu datang. Jadinya mereka bermain lempar bola di taman dekat kolam renang ditemani Titus. Padahal Dwika pun sudah di suruh Tika menemani keponakannya itu bermain. Namun, dasarnya saja Dwika yang cuek dan tak mau asal bergaul. Akhirnya hanya Moody dan Titus yang menemani Kenzo.
"Aunty!" kejar Kenzo.
Mereka bertiga tertawa-tawa. Kenzo sampai tergelak kesenangan karena ulah Titus, yang sepertinya sedang berkisah cerita lucu. Tak sadar sejak tadi ada sepasang mata yang memperhatikan ketiganya. Dwika.
Cewek labil macam ini yang mau Bunda jodohkan denganku? Masih bagus Retha kemana-mana. Depan belakang tepos gitu. Apa menariknya?
Dwika mendengkus, menyambar minuman koktail buah yang tersedia di meja. Ingatannya mengembara pada saat sepulangnya mereka jajan mie ayam tempo hari, mengabulkan keinginan cucu tercinta Tika, Kenzo.
"Ka, menurut kamu Moody gimana?" pancing Tika.
"Gimana apanya?" Dwika menoleh setelah melepas jaketnya.
"Ayu ya? Moody mirip banget sama Ajeng, mendiang mamanya. Ayu, baik hati, pinter trus--" ujar Tika.
"Maksud Bunda apa? To the point Bun, nggak usah pake promosi segala. Lagian belum tentu tuh bocah bisa ngalahin Retha," sela Dwika cepat sebelum ia berlalu.
"Sampai kapan Ka kamu mau begini? Nggak bisa ya kamu lupain dia? Nggak bisa kamu ikhlaskan dia? Bunda yakin, Retha juga nggak mau kamu kayak gini."
Pecahlah tangis Tika. Dwika mematung. Sungguh, dia tak bermaksud menyakiti Tika, bunda tercintanya. Tapi--
"Bunda cuma pengen kamu bahagia, Ka. Apa salah? Dikit-dikit kamu murung, kebetulan ada hal yang ngingetin Retha, kamu sedih. Apa ini bahagia? Lama-lama kamu mati karena sedih. Nggak bisa, masa kamu duluan yang mati sebelum Bunda?" racau Tika dengan sesekali sesegukannya karena tangisnya.
"Oke, kali ini aku turuti. Tapi kalo aku atau dianya juga sama nggak suka, jangan paksa."
Dwika menggeleng kesal bila mengingat kejadian itu. Kesal pada dirinya sendiri selalu membuat wanita yang dicintainya itu selalu menangis sedih karenanya. Tak ada maksud menyakiti atau pun mengecewakan bundanya. Namun dia pun perlu ruang, perlu waktu menata hati yang terlanjur berkeping. Patah hati saat sedang cinta-cintanya. Dan cintanya kalah oleh maut.
Andai Bunda mengerti...
Sebuah bola lalu menggelinding ke arah Dwika. Gadis itu, Moody, tersenyum menghampiri.
"Maaf bolanya, Om."
Om? Dia manggil gue se-nggak hormat gitu? Om dia bilang?!
Bola itu Dwika ambil tapi malah dilemparnya ke kolam renang. Langsung saja Kenzo memburunya dan bocah itu menceburkan diri ke kolam.
"Ezo!"
BYURR!!
"KENZOOO!" itu teriakan Dwika dan Ega.
Moody sudah berada di kolam dan membawa Kenzo ke tepian. Dwika ikut turun, guna membantu Moody menepikan Kenzo.
Reinhard untung tanggap memberi pertolongan pertama, kompresi dan CPR. Air menggelegak dari mulut bocah hampir 5 tahun itu.
"Makasih, Mas Rein. Moody," ucap Tika sambil meraup tubuh cucunya.
"Ya, Tante. Ezo nggak akan kenapa-napa kalo Om satu ini nggak asal lempar bolanya ke kolam," tunjuk Moody berani.
Moody pikir mubazir baik hati sama cowok angkuh dan dingin. Dwika menatap sekilas cewek jutek yang basah kuyup di depannya. Dan sempat-sempatnya dia salah fokus akan pemandangan yang tercetak jelas karena basah di depan matanya. Dwika mengusap wajahnya gusar.
"Aku nggak maksud--"
"Nggak maksud gimana? Jelas Om lempar tuh bola ke kolam renang. Padahal aku udah mau ambil tuh bola ya! Belajar peka dong, orang anak lagi main juga. It's not about your world only," bantah Moody, sambil lalu.
Dwika tercenung. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal, dia tak terima dicecar seperti ini. Apalagi dicecar seorang bocah SMA!
Kok bisa gue malah diem aja dikata-katain sama bocah?
Baru saja Dwika mau menimpali, Ega sudah menariknya keluar dari kerumunan itu.
"Lo nggak bisa apa jagain anak gue, Ka?" sengit Ega kesal.
"Ya sori," Dwika melengos, menghindari tatapan tajam kakaknya.
"Untung aja Moo gercep nyemplung ke kolam, kalo nggak, gue nggak ikutan ya kalo sampe Bang Juno turun tangan!" Ega memukul d**a adiknya.
"Sori Ga, gue pikir Kenzo nggak bakal--"
"Udah! Lagian lo kurang kerjaan, ngapain juga bolanya malah lo lempar ke kolam?" Ega berlalu sambil menghentakkan kakinya.
Acara yang tadinya hangat mendadak mencekam. Apalagi Tika langsung berpamitan dan memohon maaf atas kekacauan yang ditimbulkan anak bungsunya.
"Bun, Bunda... Bunda masih marah?"
Dwika melirik bundanya, tapi Tika diam membisu tidak menggubris sedikitpun.
"Maaf," cicitnya mengalah.
"Bunda tahu kamu keberatan dengan perjodohan ini. Tapi apa harus mencelakakan keponakanmu sendiri, Ka? Atau tadinya kamu mau celakain Moody? Iya?" tuduh Tika tiba-tiba.
Dwika mengernyit, tak suka tuduhan Tika. Mana mungkinlah dia sengaja mencelakai bocah imut keponakannya itu? Namun, kalau gadis jutek basah itu, bisa jadi. Dalam hati Dwika senang melihat gadis itu basah kuyup dan terengah saat menyeret Kenzo. Dwika senang melihat wajahnya yang memerah karena menahan marah.
Sesekali cewek macam gitu halal dikerjain.
Dwika menggeleng,"Ngapain juga coba? Buang-buang waktu Bun. Lagian kita nggak saling kenal, bisa aja si Momo itu juga ogah dijodohin."
"Ih! Nih anak dibilangin, suka banget ganti-ganti nama orang. Moody, Ka!"sela Ega sambil memukul sandaran kursi jok yang di duduki Dwika.
"Santai 'napa sih? Bun, dengerin Dwika ya, kalo aku nikah sekarang-sekarang, yang nemenin Bunda siapa? Yang bakal ngerusuhin paginya Bunda siapa? Sepi loh rumah kalo aku nggak ada," ujar Dwika berkesan tak mau tahu.
Ega mencibir,"Setelah kalian nikah nanti, tinggal di rumah Bunda."
"Apa? Beneran Bun? Nggak, nggak. Aku tolak aja deh kalau gitu! Mana dia masih bocah, masih SMA Bun. Ntar Dwika dikira p*****l lagi. Hiiyy!" sewot Dwika.
"Kamu pengen Bunda sakit lagi?" celetuk Ega sambil mengusap kepala Kenzo yang tertidur.
Dwika diam. Pandangannya hanya tertuju ke jalanan. Betapa dia sangat menyayangi bundanya. Tapi bisakah bundanya itu tak selalu mengancamnya?
"Cari cewek lain aja, Bun. Jangan dia. Mana masih bocah," tukas Dwika pada akhirnya. "Dia pantesnya jadi adek Dwika, Bun."
"Untuk saat ini Bunda nggak punya pilihan lain selain Moody," sahut Tika keras kepala.
"Bunda keras kepala banget. Si Momo itu udah masih bocah, sikapnya nggak banget, aku bisa mati berdiri ngadepin dia, Bun. Aku butuh wanita, seorang istri yang akan ngurus aku, bukan bocah yang malah harus aku urusi!" tandasnya terbawa emosi. Lama-lama mangkel juga.
"Kamu itu--" Tika memegangi dadanya.
"Bun, Bunda! Ka! b**o ya? Cepet putar balik ke rumah sakit!" titah Ega.
Dwika sangat terkejut Tika mendadak pingsan begitu. Dia langsung putar balik menuju rumah sakit.
Ya Tuhan, apa lagi ini? Bunda..tolong bertahan.
*
"Bunda nggak mau ketemu kamu!" cetus Ega.
Dwika menghela napas, berharap beton di dadanya dapat disingkirkan.
Dia mengangguk. Tahu bundanya kalau sudah mode marah tak bisa ditawar lagi. Kadang Dwika kesal dengan sikap Tika yang selalu memaksakan kehendak.
"Bunda bilang Bunda lakuin ini bukan buat kamu menderita, Ka. Tapi biar kamu lupa sama Retha. Mau sampai kapan kamu inget dia terus? Retha udah nggak ada. Ini bukan jamannya Romeo dan Juliet, yang kalo si ceweknya mati, cowoknya juga harus ikutan koit. Coba realistis Ka! Hidup harus terus berjalan. Sekarang kalo kamu tetep milih Retha, mending kamu pergi deh. Daripada bikin Bunda sedih terus sama keadaan kamu!"
Dwika tercekat.
"Bunda beneran bilang gitu?"
"Sayangnya, iya. Kamu cowok satu-satunya di keluarga ini. Tapi ternyata kita nggak bisa berharap banyak dari kamu," ujar Ega, kembali masuk ke ruangan Tika.
Dwika melenggang gontai. Serba salah. Dia sungguh tak menyukai soal ide perjodohan ini. Bayangan gadis yang dipikirannya 'nggak banget' itu lambat-laun menjelma di ujung sana.
Berlari ke arahnya dengan wajah panik.
"Om! Gimana Tante Tika? Katanya dirawat? Di mana ruangannya ? Om bisa anter? Nanti Papa sama Tante Tari nyusul kok,"
Moody.
Gadis itu menggoyang-goyangkan lengan Dwika sambil memandanginya. Sedang Dwika kedua matanya mengarah tepat pada wajah panik Moody.
GREB.
Dwika mencekal lengan gadis itu tiba-tiba.
"Kamu mau menikah denganku?" tanya Dwika.
"Eoh?" Moody mendongak.
"Menikah denganku," tandasnya.
Moody mengernyit. Lalu tangannya yang lain terulur menyentuh dahi Dwika.
"Anget suam sih. Kepentok tiang listrik ya? Ya udah, aku tanya suster aja, nanya sama Anda nggak berfaedah!" sahut Moody hendak beranjak.
"Moo!" Dwika menarik lengannya lagi.
"Kita dijodohin,"
"Apa??!" mata bulatnya menyalak terbelalak.
"Kita dijodohin," ulang Dwika sambil melengos.
Degub yang dirasakan Moody makin kencang.
Alert! Alert! Gue dijodohin sama nih om-om? Seriously?!
"Dan pastinya Om nolak kan?" tatapnya berbinar.
Melihat Dwika yang membisu, sudah pasti jawabannya, iya. Ia lalu mengembuskan napas tapi kenapa lama-lama dengar hal itu jantungnya merasa tak baik-baik saja?
"Yuk! Anterin ke kamar Tante," ajak Moody.
"Biar aku yang ngomong, aku punya ide. Om cuma perlu minta maaf doang," Moody menjentikkan jarinya.
Dwika nurut saja saat Moody mengajaknya. Aneh. Dwika pasrah, dia belum tahu bagaimana tanggapan Tika nanti. Semoga hasilnya memuaskan. Membiarkan gadis itu yang pegang kendali.
Nggak apa-apa kan?
**
Next