Aditya Abdinegara. Cowok itu duduk dengan dua tangannya bertumpu di kedua lututnya. Menunggu Moody bersiap. Sesekali Reinhard menatap anak muda yang duduk di seberangnya itu. Aditya tak menduga bahwa Papa si gadis ada di rumah. Sepengetahuannya, Reinhard jarang ada di rumah. Beliau pasti sibuk seminar, atau menguliahi para mahasiswanya. Moody yang selalu cerita.
"Dit, ayo diminum. Dianggurin aja, sebentar lagi Moody turun kok," sapa Utari, tantenya Moody.
"Iya, Tan. Makasih," sahutnya.
Utari tersenyum tipis,"Tapi Dit, kalian di sini aja ya? Nggak usah keluar. Moody kan--"
"Hai, Dit. Sori lama," Moody udah turun dengan dandanan kasualnya.
"Kalian mau kemana?" interupsi Reinhard.
"Nggak jauh kok, Pa. Ke depan situ, Moo pengen makan mie ayam." Moody sudah menggelayutkan tangan dilengan sang Papa.
"Boleh ya, Pa?"
"Titus kemana? Belum pulang?"
"Belum, Mas. Kan dia site malam," jawab Utari, menjelaskan soal anak lelakinya.
Reinhard memandang keduanya. Dia mengangguk lalu berdiri.
"Ayo Ri, kita pergi bareng mereka. Papa juga pengen sekali-kali makan mie ayam," kata Reinhard.
"Eoh?"
"Ih ... Papa, nggak lucu! Ateee'..." rajuknya.
"Nggak apa Moo, yang ada malah seru. Ayo Om," cetus Adit.
Akhirnya daripada berdebat, Moody memilih menurut. Ya, daripada nggak keluar sama sekali. Sumpek gue!
Mereka sampai di kedai mie ayam yang dimaksud. Lumayan ramai pengunjungnya karena malam Minggu dan cuaca cukup cerah, tak hujan seperti biasanya kali ini.
"Dit, ambilin sausnya dong!" titah Moody.
"Emang boleh?"
"Ck, gue sakit hati bukan maag akut keleesss."
"Moo..." tatap Reinhard mengintimidasi.
"Dikit aja kok,"
"No."
"Seuprit aja, Pa..." Moody masih merengek.
"Oke, oke."
Senyum terbias di bibirnya. Tangannya langsung meraih botol saus. Crot!
"Cukup." Reinhard mengambil botol itu dan menjauhkannya dari jangkauan Moody.
"Pa..."
Adit jadi kasihan melihatnya. Sampai sebegitunya. Tapi mau gimana, Adit tak bisa ikut campur.
"Sabar ya?" bisik Adit. "Nih, ceker gue buat lo."
Moody sumringah,"Thank you..."
"Mas Rein, Tari? Apa kabar?"
Keempatnya mendongak memandang orang yang menyapa mereka. Ternyata Tika sekeluarga.
"Eh, Mbakyu. Kami baik, alhamdulillah," sahut Utari.
"Wah, lagi kumpul acara keluarga ya?" Tika duduk sebelah Utari.
"Ini loh, Tik, anakku baru pulang dari rumah sakit eh ngeyel pengen mie ayam," Reinhard menimpali.
"Sama dong, tapi ini cucuku yang malah kepengen." Perempuan sebaya Reinhard itu mengerling.
"Oalah, senengnya udah punya cucu. Berapa cucunya, Mbakyu?"
"Baru mau tiga. Ini anaknya Ega loh,"
"Mana Eganya? Dulu nempelin aku, kupikir dia yang mau jadi dokter eh, malah Egi ya yang nyangkut jadi dokter!" Reinhard terkekeh.
Dua muda di sebelahnya cuek bebek saja makan mie ayam.
"Eh, anakmu yang mana Mas?"
"Ini loh, Moody. Masak ndak inget? Moo, salim sana."
Moody dan Adit menghampiri dan keduanya menyalami Tika.
"Wealah, ayune anakmu Mas. Kuliah?"
"Masih SMA," sahut Tari.
"Oh," Tika manggut-manggut.
"Bun, kok duduk di sini?"
"Eh, Mas ini anakku yang paling bontot. Dwika,"
Dwika mengangguk lalu menyalami keduanya. Matanya tak sengaja bersiborok dengan Moody.
Berasa pernah liat...
"Aunty...?!"
Moody menoleh ke arah anak kecil yang duduk sedari tadi di sebelah Tika.
"Eoh?"
"Aku Ezo, gut boy Aunty!"
"Oh... Ezo? Iya, iya Aunty inget. Apa kabar?"
Kenzo turun lalu duduk di pangkuan Moody tanpa permisi.
"Loh, Kenzo kenal?" tanya Tika.
"Aunty, aunty!" Kenzo mengangguk.
"Ketemu waktu di rumah sakit, Tan." Moody mendongak m, senyumnya tak hilang dari bibirnya.
"Oh, yang Kenzo bilang liat aunty cantik. Iya?"
Kenzo mengangguk. Jadilah mereka ngobrol seru dan melibatkan Moody di dalamnya. Dan Adit dikacangin.
*
Mood-nya Moody saat ini sedang down. Mengingat waktu malam minggu seminggu lalu. Jantungnya lompat-lompat lagi. Hatinya berdebar. Tak paham dengan yang terjadi. Ini kali kedua dadanya bermasalah. Semingguan ini Moody berpikir keras.
Apa ada yang salah? Dokter salah operasi gitu? Atau gue korban malpraktek, tiba-tiba aja ada jam tangan ketinggalan dalam tubuh gue! Abisan detaknya nggak karuan.
Moody mengusap dadanya.
"Ini normal,"
"Apanya yang normal?" Titus sudah ikut duduk disampingnya.
"Kaktus somplak lo!"
Titus tertawa,"Nggak seru tahu, lo nggak bisa gue kagetin."
"Dasar jail lo. Tumben, pagi nongol. Ganti site?"
"Hm," Titus mengibaskan rambutnya yang gondrong.
"Tus, lo nggak ada pantes-pantesnya jadi dokter, coba. Dekil sumpah! Anak band iya, gondrong gitu!" ujar Moody.
"Sakate-kate lo, Moo."
"Di dalam sibuk, ada apaan? Segala piring dikeluarin?"
"Tahu. Arisan RT kali," sahut Moody tak acuh.
"Eh, lo pacaran sama si Adit?" lanjut Titus.
"Gue? Sama Adit? Temen spesial pake telor sama keju dia!" kilah Moody.
"Si Adit belum nembak lo?"
Moody terkekeh. Lucu sekali sepupunya itu. Bodornya garing!
"Yaelah, serius gue, Moo."
"Tahu. Di antara kita nggak ada komit apa-apa, Tus. Secara dia belum bisa move on juga setelah kakaknya meninggal. Kasian tahu. Padahal baru ketemu, eh kakaknya malah meninggal..." papar Moody.
Titus mengangguk-angguk seperti burung pelatuk.
"Jadi intinya kita saling ngehibur aja. Gue yang sedih karena penyakit gue. Dan dia yang sedih ditinggal mati kakaknya," imbuh Moody.
"Gue pikir dia anak tunggal."
"Bukan. Bonyoknya kan cere. Bawa masing-masing anak, trus jauh-jauhan. Nyokapnya Adit sebelum dia nikah lagi pengen nemuin Adit sama kakaknya itu. Sang nyokap merit, kakaknya malah kecelakaan, dan meninggal,"
"Lo kenal sama kakaknya Adit?"
"Baru ketemu dua kali. Baik banget, sumpah tuh cewek. Gue berasa punya kakak, tahu nggak Tus? Lo enak ada Kak Tata," matanya berbinar.
"Enak apanya? Cerewet kayak neneknya Medusa gitu," kilah Titus.
"Mulai ya lo ngatain gue, adek nggak tahu diri lo!" timpal Tata sambil menggeplaknya.
"Etdah! Kapan lo balik? Bareng Flo nggak?"
Tata menggeleng,"Flo nggak bisa pulang. Ketahan dia, cowoknya ngambek."
"Emansipasi tapi baru digituin aja udah terkaing-kaing,"cebik Titus.
Tata mengerling. Flo sahabat Tata dan adik kucelnya itu menyukai sahabat sang kakak. Jadi ya begitulah, Titus merasa Tata tak mendukung perasaannya.
"Trus, lo bawa cowok?"
Tata mengerling jengah,"Ah, nggak penting."
"Tapi Mama udah kebelet tuh!"
"Tinggal ke WC aja."
"Dih! Seriusan Kak. Gue suka sedih deh..."
"Lo bocah, kagak paham."
"Tapi gegara yang bocah ini, Mama jadi seneng. Si bocah ini mood booster-nya Mama," kilah Titus tak mau kalah.
Moody senyum-senyum saja. Walau dua saudara itu seringnya berdebat, tapi mereka tetap saling menyayangi dan memberikan perhatian, sekecil apapun. Moody iri. Andai ia punya saudara, kakak atau adik, ia pasti bahagia. Tak enak rasanya jadi anak tunggal. Apalagi setelah kehilangan Sasti, mamanya. Makinlah ia kesepian.
Maka atas inisiatif Utari dan keinginan Reinhard, tantenya itu tinggal di rumah Reinhard selepas bercerai dengan sang suami. Reinhard sangat menyayangi adiknya itu. Sedangkan Tata ikut tinggal di Banjarmasin dengan Papanya.
"Moo! Mandi sana, ganti baju. Yang cantik ya? Jangan pake jins lusuh. Gaun. Mbak, bantuin adeknya ya..." titah Utari yang melongok dari daun pintu.
"Ada apaan sih Ate'? Arisan kan Moo nggak ikutan. Ibu-ibu rempong, males ah."
"Apa itu? Ah?" kerling Utari.
Moody nyengir,"Ma-af. Ya, heran aja kenapa Moo mesti dandan? Biasanya juga nggak,"
"Tapi ini spesial. Udah sana, cepet. Kamu juga, Titus. Perlihatkan kalo kamu anak cowok yang bisa Mama andelin. Oke?"
Titus mengernyit,"Ma ... kok jadi bawa-bawa Titus? Padahal Titus pengen tidur. Sumpah!"
"Titus... Kemejanya udah siap tuh."
Moody nunjuk dirinya dan Titus lalu mengisyaratkan tangan memenggal di depan leher.
Mampus kita!
**
Next