MH 2

1124 Words
* Pagi. Moody suka udara pagi, karena di pagi hari lah segala aktivitas dimulai. Dia suka memulai hari. Tapi bila menjelang malam, dimana segala aktivitas tersebut harus usai, Moody merasa ditinggalkan. Moody tak suka. "Moo, jangan cemberut aja dong." Titus menepuk pipinya. "Pengen sekolah, Tus. Bilangin Papa gih," ketusnya. "Yaelah, Moo. Pengen banget sih lo bikin gue di D.O dari rumah sakit. Gue yang kena Moo," Titus agak kesal dengan rengekan gadis itu. "Ngerti!" "Moody! Besok baru sekolah. Kamu baru pulang dari rumah sakit. Jangan dulu kecapekan. Bandel banget sih," Reinhard masuk kamar Moody tiba-tiba. Moody langsung terdiam. Tapi rasa sesal seketika merambati hatinya karena membentak gadis semata wayangnya. Reinhard menghampiri, duduk di tepi ranjang. Titus keluar meninggalkan mereka. "Maafin Papa. Papa nggak maksud kok. Papa ngerti banget kamu pengen sekolah, bergerombol sama temen-temen. Iya kan? Tapi bisa kamu pahami tubuh kamu sendiri, Moo? Kamu udah beda dengan kamu yang dulu. Biarkan 'dia' beradaptasi dulu dengan tubuhmu," kata Reinhard sambil merangkul bahu gadisnya. Selalu saja. Padahal Moody juga paham akan hal itu. Tapi diam di rumah baginya bagaikan penjara. Tanpa atmosfir. Moody merasa hampa. "Moo bosen, Pa. Gabuuut," rengeknya. "Oke, telpon teman-temanmu. Nanti sepulang sekolah suruh mereka kemari saja, gimana?" Reinhard membelai rambut Moody. Wajahnya mendongak,"Boleh?" Reinhard mengangguk,"Hm." "Boleh makan es krim?" "Dikit ya?" Senyumnya terbit. Reinhard senang gadisnya kembali lagi. Tersenyum. "Pa, siapa sih malaikat tanpa sayap itu? Moo penasaran deh," Dan seketika raut Reinhard mengeras. Rahangnya terkatup. Moody jelas melihat perubahan air muka di wajah Papanya. Tiap kali membahas sang malaikat, Papa selalu kayak gitu. Bikin makin penasaran kan? Reinhard hanya terpasung janji pada keluarga sang malaikat, untuk tidak mengumbar apa pun. Toh, itu yang diinginkan sang malaikat. "Kita doain aja semoga sang malaikat itu bahagia," ucap Reinhard. Moody mengangguk. Ya udah, semua tutup mulut. Gue bisa cari sendiri kan? Hari sudah menuju siang. Seperti janji Reinhard, bahwa putrinya itu bisa mengundang tiga sahabatnya datang sepulang kuliah. Ya, tiga sahabatnya sudah pada kuliah, sudah jadi mahasiswi! Sedang dia masih saja berseragam putih-abu. Tak adil! Moody cemberut. "Moo, mau deh kita tukeran nasib kayak di Golden Spoon sama lo. Aih, putrinya Sultan mau ngapa aja, bebas! Aje gile, Moo..." decak Tiwi. "Putri Sultan pala lo jenong! Bosen tahu! Gue nggak boleh capek, nggak boleh ini, itu. Yaelah. Gue manusia kali, bukan robot android!" sahut Moody kesal. "Tapi kan demi kebaikan lo juga," Kania berkilah. "Iya, Sist. Terima nasib aja, tahun depan giliran lo yang kita plonco." Gelak Cita. Pipinya yang tembem membuat gemas Moody pengen nyubit, hingga tangannya terulur meraih pipi chubby itu. "Awww! Sadis, sakit bambank!"seru Cita. Kini giliran Moody yang terbahak puas. Tangannya mengelus pipi bakpao Cita yang dicubitnya tadi. "Gimana, rame ya kuliah? Bisa cuci mata dan pdkt sama kating," ujar Moody. "Sabar, nggak sampe setahun say. Lo nanti juga gabung sama kita." Tiwi menimpali. Aneka keripik dan sepiring brownis tandas sudah. Ketiga sahabatnya itu memang pada suka ngemil. Mereka makin betah kalau banyak makanan. "Moo, tapi di sekolah nggak ada yang rese kan? Gue bilang juga apa ikut aja persamaan atau home schooling gitu," Kania membereskan meja yang berantakan karena ulah mereka. Di antara mereka berempat, Kania yang terlihat dewasa dan paling tak suka berantakan. Mereka memanggilnya Miss Perfect. "Lo pada tahu kan, temen-temen sekelas gue yang sekarang adalah mereka yang pernah kalian MOS. Gue nggak mau nyari masalah, lelah hayati sist." Moody menyandarkan kepalanya di bantal sofa. Keempatnya masih tertawa. "Yang penting mereka nggak sampe bully lo. Awas aja kalo sampe kejadian, gue labrak kelas lo." Kania mengangkat telunjuknya. "Hooh, Moo!" dukung Tiwi dan Cita. "Duh, jadi terharu gue..." Moody mengusap telinganya. "Lo mau nangis apa congean, Moo?" Cita gitu-gitu juga mulutnya suka asal jeplak dan pastinya mengundang tawa ketiga sahabatnya yang lain. Kania melirik jam tangannya. Keningnya berkerut membaca pesan yang mampir juga di ponselnya. "Gue pulang duluan lah. Nugas dulu, ntar keteter." "Bareng, Kuy!" hela Tiwi, beringsut berdiri. "Loh, loh... kok pada pulang sih? Janjinya sampe ntar malem... Gue ijinnya ke nyokap malah ngendon. Yaa, kalian nggak asik..." cerocos Cita. Moody mengangguk memberi dukungan pada Cita. "Lain kali lah, Cit. Gue lupa besok mesti bagiin tugas dari Pak Harahap," balas Kania. "Nih, si Azka baru nge-chat gue. Pengen dilibas tuh bocah!" imbuhnya lagi. "Ada tugas gitu dari Pak Harap-Harap?" Cita berdiri. "Hm," Cita sekelas sama Kania, yang sama-sama ambil jurusan Statistik. Lain kalau Tiwi, dia anak desain. Diantara keempatnya, yang terlihat serius dan terkesan jutek cuma Kania. Cita memalingkan wajahnya yang sedih itu ke arah Moody. "Yaa, batal Moo. Next time ok? Lo nggak ngambek kan? Sori," Cita meluk Moody. "Ck, gimana lagi dong? Gue mah apaan atuh, cuma anak SMA..." balas gadis yang sudah siap dengan piyamanya itu. Yang dipeluk cuma terkekeh. Tak mungkin marahlah. Moody paham kesibukan anak kuliahan itu berbeda sama anak SMA seperti dirinya. "Ntar kalo beneran luang, gue bawain kunjaw buat ntar lo ujian," imbuh Tiwi. "Sori ya Moo, gue beneran lupa. Saking senengnya kita ketemu lo lagi," sambung Kania penuh penyesalan. "Iya nggak papa. Pokoknya kalian janji ntar gantiin hari ini. Kudu, harus, mesti, fardlu 'ain, titik!" tandas Moo. "Of course darl. Baik-baik ya... Jangan bandel lo," ucap Kania. "Gue pulang ya Moo..." Tiwi meluk dan ngecup pipi sahabatnya. "Ntar sekalian gue bawa si Montok kemari deh," pamit Cita. Si Montok itu kucing milik Cita. "Bener ya, bawa si Montok?" "Beneran, sediain aja makanannya. Dia hobi ngemil," "Mirip sama lo Cit," Setelah mereka pulang, Moody merasa sepi lagi. Menyalakan laptopnya dan bercengkrama dengan dunia bebasnya. Menumpahkan segala kegundahannya dalam bentuk tulisan. Moody suka menulis. Selain menyanyi tentunya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Nobita tertera disana. "Jahat lo! Bukannya dateng ke rumah,"sembur Moody. "Wa'alaikumussalam," "Iya, assalamualaikum." "Nah gitu dong. Baru juga mangap udah disamber duluan. Sori, tadi aku sibuk sertijab gitu lah. Udah dititip ke anak 11, eh..podo bae. Mas Titus udah kasih tau kemaren. Tadinya gue sama si Pinokio mau ke situ," Suara cowok di sebrang sana membuat sudut bibir Moody terangkat. "Gue belum bisa masuk, Dit. Palingan dibablas sampe Senin," sahut Moody. "Ya udah Sabtu, malam Minggu, gue dateng." "Kayak ngapel dong," kekeh Moody. "Embohlah, sekarep pikiranmu ya Moo?" Moody makin terkekeh. "Syukurlah, udah baikan, udah bisa ketawa. Lo jangan banyak pikiran dong, Moo. Putri Pocahontas ada masalah ngomong sama Aditya Abdinegara, oke?" "Oke, Nobita." "Yeuuu... Nobita. Mirip banget ya?" "Banget!" Aditya tergelak,"Ya, ya... Masih aja diinget-inget ya masa suram kelam kelabu itu..." Masa suram kelam kelabu itu masa-masa Aditya masih cupu, dengan tampilan kacamata Nobita. Dan Moody malah ikut membully cowok itu. Walau pada akhirnya Moody yang makin deket sama Adit. Dan penampilan Adit sudah tak secupu dulu tentunya. Makanya banyak sekali fans garis kerasnya di sekolah. "Idih, lucu tahu!" Malam itu, Moody habiskan waktunya bertelponan sama Aditya. Temen deket pakai spesial. Tapi bukan pacar. Nah loh? ** Next
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD