bc

Nafsu Sang CEO [BAHASA INDONESIA/ON GOING]

book_age18+
68.1K
FOLLOW
884.9K
READ
love-triangle
sex
family
pregnant
badboy
CEO
drama
sweet
bxg
Indonesia-My Possessive CEO Writing Contest
like
intro-logo
Blurb

Serena Yatalana hanya seorang gadis biasa yang hidupnya begitu monoton. Harinya dimulai setiap pagi, bahkan mungkin disaat orang-orang masih tertidur lelap. Serena harus bekerja keras membanting tulang demi ayahnya, Wira Tarendra, yang saat ini sedang terbujur lemah tak berdaya karena penyakitnya. Karena harus membantu biaya pengobatan ayahnya, satu hal yang Serena tahu hanyalah uang.

Bagi Serena, uang mungkin bisa membeli segalanya. Termasuk kebahagiaan.

Hidup Serena yang semula kaku bak robot, nyaris tanpa cinta, langsung berubah saat Serena tak sengaja terikat kontrak perjanjian dengan CEO kaya raya tempatnya bekerja. Adalah Erick Navarro, seorang laki-laki muda, tampan, dan kaya raya yang bersedia membantu Serena .. meskipun itu semua tidaklah percuma.

Lambat laun tanpa disadari, Serena semakin terpesona pada Erick yang terkesan begitu dingin dan tegas, namun sebenarnya adalah sosok pria yang begitu romantis dan perhatian. Demikian pula dengan Erick, yang semakin terpana pada pesona Serena yang terlihat begitu tangguh dan mandiri, namun jauh dalam lubuk hatinya sebenarnya Serena hanyalah wanita yang hatinya begitu rapuh.

Cinta di antara keduanya semakin tumbuh. Kontrak hitam di atas putih yang awalnya hanya sekadar hirauan dan iseng belaka, mulai berubah menjadi cinta dan rasa ketertarikan untuk saling memiliki. Namun di saat cinta itu sudah mulai tumbuh, Pierre Alterio, kekasih Serena yang telah lama pergi, malah hadir kembali dalam hidupnya.

Serena harus memilih, apakah akan tetap mencintai Erick, sang penyelamat hidupnya, ataukah memilh Pierre, kekasihnya yang kembali lagi setelah sekian lama pergi ..

chap-preview
Free preview
Chapter 1 - Sebuah Perjanjian
Suara monitor detak jantung terdengar begitu jelas di tengah sunyinya kamar rumah sakit. Dalam diam, Serena Yatalana memperhatikan ayahnya, Wira Tarendra, yang saat ini sedang terbujur tak berdaya menahan sakitnya. Sudah hampir dua tahun ayah Serena menderita penyakit jantung. Kian hari kondisinya semakin memburuk. Entah sudah berapa ratus juta uang dihabiskan Serena hanya untuk mengobati ayah tercintanya. Semua sudah ludes terjual. Perabot rumah tangga, motor, tanah sepetak yang tadinya diwariskan ayah untuk dirinya. Oh, bahkan Serena rela menjual ponsel lamanya dan memakai ponsel jadul, belum lagi ditambah makan cuman satu kali sehari, hanya demi biaya pengobatan sang ayah. Ibu Serena, Asrita Yatalana, sudah lama pergi. Ibu Serena meninggal karena pendarahan hebat yang tak kunjung berhenti setelah melahirkan Serena. Ya, Serena Yatalana memang tak pernah melihat wajah ibunya secara langsung. Satu-satunya hal yang bisa Serena lakukan hanyalah memandangi wajah cantik ibunya lewat album foto yang telah usang. “Ayah ..” lirih Serena sembari memegangi tangan ayahnya yang dipasang selang infus. Ayah Serena masih tak sadarkan diri. Kondisinya drop semenjak kemarin malam. Dan parahnya lagi, satu-satunya jalan keluar terbaik yang bisa dilakukan sekarang hanyalah melakukan operasi transplantasi jantung. Ya, sebuah operasi yang harganya sangat fantastis. Serena langsung mengusap air mata yang membasahi pipi mulusnya dengan punggung tangannya begitu mendengar suara pintu dibuka. Ternyata seorang dokter paruh baya yang rambutnya sudah hampir memutih semua. Dokter ini juga yang selama ini menjaga dan menjalani operasi jantung yang dibutuhkan ayah Serena. “Serena?” ucap sang dokter dengan nada sedikit prihatin. Bahkan sangkin terlalu seringnya Serena berkunjung ke rumah sakit, beberapa dokter dan perawat sampai mengenali siapa itu Serena Yatalana. Serena langsung menoleh dan bangkit berdiri dari kursinya yang tergeletak persis di samping ranjang tempat ayahnya berbaring itu. “Bagaimana, dok? Apa tim dokter sudah menemukan donor jantung yang cocok buat ayah saya?” tanya Serena penuh harap. Sang dokter menghela napas, “Iya, kami sudah menemukan donor jantung buat ayah kamu.” Serena langsung berbinar-binar. Sebuah senyum kecil menghiasi wajah cantiknya, “Benarkah? Itu berarti kita bisa melakukan operasi sekarang juga kan, dok?” Sang dokter terdiam sejenak. Wajahnya yang sudah dipenuhi oleh keriput itu dipenuhi oleh rasa iba, “Maaf, Serena. Tapi untuk menjalani operasi donor jantung, kamu harus melunasi biaya awal operasinya dulu.” Layaknya menara yang tersambar petir di tengah badai, seketika harapan Serena langsung hancur berkeping-keping. “Tapi keadaan ayah saya semakin memburuk, dokter .. Kalau begini terus bisa-bisa ..” Seketika, Serena langsung bergidik ngeri. Serena tak berani melanjutkan ucapannya sendiri. Tidak, tidak boleh. Bahkan membayangkan kehilangan ayahnya saja sudah membuat bulu kuduk Serena merinding. Serena kembali bicara setelah terdiam sejenak,  “Saya harus apa lagi, dok? Semua sudah saya lakukan. Bukankah sudah menjadi tugas dokter untuk menyelamatkan nyawa orang lain?” Melihat raut wajah Serena yang nampak begitu putus asa, hati sang dokter langsung merasa iba dan terenyuh di saat yang bersamaan, “Saya paham perasaan kamu, Serena. Tapi ini semua juga bukan keinginan saya, ini sudah ketentuan dari pihak rumah sakit.” Sang dokter lanjut bicara sambil menepuk pundak sempit Serena, mencoba menenangkannya, “Saya akan membantu kamu dan berusaha semampu saya. Kamu tenang saja. Untuk saat ini, tidak banyak yang bisa saya lakukan. Saya cuman manusia biasa.” Serena tersenyum getir, “Terima kasih, dokter.” ***** Waktu menunjukkan hampi pukul sembilan malam begitu Serena sudah kembali ke rumahnya. Ya, satu-satunya aset berharga yang belum terjual hanyalah rumah ini. Sebuah rumah sederhana nan begitu asri peninggalan almarhumah ibu Serena. Sambil memeluk boneka beruang kecil pemberian ayahnya di hari ulang tahunnya yang ke sepuluh dulu, Serena menatapi wajah cantik ibunya melalui sebuah foto usang yang ada dalam genggaman tangannya. Seringkali Serena berandai-andai, pasti rasanya tidak akan sesakit ini seandainya ibu masih ada di sini, menemaninya sekarang. “Ibu .. Aku apa yang harus aku lakukan, bu ..” lirih Serena. Kedua mata indahnya sudah berkaca-kaca, bendungan air mata yang daritadi terus ditahannya itu pasti akan pecah tak akan lama lagi. Drtt .. Drtt .. Tiba-tiba, ponsel jadul Serena bergetar. Ada satu panggilan masuk dari Mira, teman baik yang juga bekerja di perusahaan yang sama dengan Serena. Sama seperti dokter baik yang merawat ayah Serena, sudah tak terhitung lagi berapa kali Mira membantu Serena. Membawakan Serena bekal, sesekali mengantarnya pulang. Mira memang tak bisa memberikan Serena uang, tapi Mira selalu men-support Serena dan selalu menemani Serena di tengah-tengah kesulitannya. “Serena? Gimana keadaan bokap lo?” tanya Mira to the point. Serena menghela napas sejenak, suaranya masih terdengar sedikit sesegukan akibat tangisnya yang tak kunjung berhenti tadi, “Ayah butuh operasi transplantasi jantung.” Mira langsung tertegun, “Astaga .. Terus gimana? Lo sudah berhasil dapet biaya yang diperlukan?” “Belum, Mira .. Aku bingung mau cari uang ke mana lagi ..,” lirih Serena. Mira terdiam sejenak sebelum kembali bicara, “Gue punya ide. But, ini sih terserah lo mau ikutin ide gue atau nggak.” “Ide apa?” tanya Serena penasaran. “Lo tau kan waktu itu nyokap gue kecelakaan dan gue sempat kalang kabut nyari bantuan dana?” Serena mengangguk, “Iya, terus?”  “Gue minta bantuan Mister Erick waktu itu. Gue pinjam uang dia, tapi dengan syarat gaji gue setiap bulannya akan dipotong buat melunasi uang yang gue pinjam waktu itu.” Mira lanjut bicara setelah terdiam sejenak, “Ah, awalnya gue tahu soal ini dari Rian. Waktu itu doi juga butuh biaya buat operasi usus buntu adiknya. Jadi dia yang awalnya nyaranin gue supaya coba minta bantuan ke Mister Erick.” Serena terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Mira, “Mister Erick itu siapa?” Mira langsung tertegun setengah mati, “Astaga, Serena Yatalana! Udah mau satu tahun lo kerja dan lo masih nggak tau siapa itu Erick Navarro?!” Serena terdiam sejenak. Otaknya terus berpikir dan mencari-cari informasi tentang seorang cowok bernama Erick Navarro itu. Bosnya kah? Kalau iya, kenapa Serena belum pernah melihatnya? Atau mungkin Serena sudah pernah melihatnya, tapi lupa? Secara akhir-akhir ini pikirannya hanya dipenuhi oleh ayahnya seorang. Seketika, Serena langsung tertegun. Untung otaknya masih bisa berpikir cemerlang. Ya, Serena ingat siapa itu Erick Navarro yang dimaksud Mira. “Ah, aku ingat. Erick Navarro yang badannya tinggi dan hidungnya mancung banget itu bukan?” kata Serena sambil terus membayangkan wajah Erick dalam ingatannya. Mira mengangguk semangat, “Iya! Betul.” “Aku kira dia expat ..” “Bukan. Dia CEO, anak Edgar Navarro, pemilik perusahaan tempat kita kerja. Katanya sih nggak lama lagi statusnya bakal naik jadi owner,” kata Mira yang nampak begitu excited saat menceritakan Erick. Berbeda dengan Mira, Serena nampak sama sekali tidak excited dengan pembicaraan ini, “Oh begitu ..” ‘Ck, orang kaya. Pasti hidupnya enak. Apalah aku yang bisa makan tiga kali sehari saja sudah bersyukur,’ getir Serena dalam hati. Melihat Serena tak kunjung bicara, akhirnya Mira angkat bicara lagi, “Saran gue, lo coba aja dulu minta bantuan ke dia. Ya kalaupun ujung-ujungnya nggak boleh, kita coba cari solusinya sama-sama. Pasti ada jalan keluar.” Serena tersenyum, “Thanks, Mir.” ***** Esok sorenya begitu pulang kerja, tanpa menunggu lama, Serena langsung mendatangi ruang kerja pribadi milik Erick. Sepertinya semesta merestui Serena hari ini. Entah mengapa, tiba-tiba asisten pribadi Erick mengabarkan tadi kalau meeting nya diundur besok. Padahal harusnya Erick Navarro menghadiri meeting pentingnya sore ini. Tapi karena nggak jadi, Serena jadi punya kesempatan untuk bertatap muka langsung dengan Erick. Ya, meskipun sebenarnya semua yang terjadi bukan sekadar kebetulan. Erick memang sengaja membatalkan meeting nya hanya demi bertemu dengan Serena. Sambil duduk menunggu sendirian di depan ruang tunggu, Serena terus menggerak-gerakkan kakinya tak santai. Serena merasa gelisah. Jantungnya berdegup kencang. Persis seperti mahasiswa yang akan menjalani sidang akhir. Tak sampai sepuluh menit kemudian, seorang cewek yang berpakaian rapih ala kantoran, yang baru saja keluar dari ruangan pribadi milik Erick, langsung menghampiri Serena. “Miss Serena?” kata cewek itu. Serena langsung tertegun kaget, “I .. iya, saya sendiri.” Cewek itu tersenyum hangat, “Sini ikut saya.” Perasaan Serena makin tak karuan. Kakinya sedikit gemetar, pelipis mulusnya mulai basah oleh penuh. Oh seandainya Serena tahu, wajahnya sudah benar-benar pucat pasi bak orang yang habis melihat hantu sekarang. Cewek itu langsung membukakan Serena pintu ruangan kerja yang terbuat dari kayu mahal itu. Sebuah plat emas bertuliskan ‘Chief Executive Officer’ terpatri indah di bagian tengah pintu yang begitu kokoh itu. Cewek itu mempersilahkan Serena masuk lalu tak lama setelahnya meninggalkannya berdua saja dengan Erick. Serena langsung menelan ludahnya dengan kasar begitu melihat sesosok laki-laki ganteng yang sedang duduk santai sambil menyilangkan tangannya di depan d**a bidangnya. Ya, laki-laki itu, Erick Navarro. Tatapan kedua mata Erick nampak begitu intens, memandangi Serena dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Mungkinkah Erick orang asing yang tidak bisa berbahasa Indonesia? Astaga, bahasa Inggris Serena pas-pasan pula. Bagaimana ini? “Silahkan duduk,” perintah Erick. Sesaat, Serena bisa bernapas lega. Dari suaranya, terdengar jelas sekali kalau Erick fasih berbahasa Indonesia. Erick lanjut bicara, kedua matanya tak pernah lepas memandangi Serena, “Hai, Miss Serena.” “Mi .. Mister Navarro?” kata Serena yang semakin keringat dingin. Erick tersenyum ramah, “Iya, Serena.” Erick mengulurkan tangannya, “Aku Erick. Sepertinya kita baru bertemu.” “I .. iya. Saya karyawan baru di sini,” jawab Serena yang terlihat begitu gemetar saat membalas jabatan tangan Erick. Entah disadari atau tidak, sesekali Erick mengelus punggung tangan Serena dengan ibu jarinya. Merasakan betapa halus dan lembutnya tangan seorang Serena Yatalana. ‘Tangannya halus sekali ..,’ batin Erick. “Ada perlu apa, Serena?” tanya Erick penasaran. Serena tambah keringat dingin. Kakinya terus bergerak tak karuan, “Saya .. saya butuh bantuan Anda, Miste ..” Erick langsung memotong ucapan Serena dan memandanginya dengan tatapan tidak suka, “Erick. Panggil saja Erick.” Serena langsung menelan ludahnya dengan kasar. Setelah semua keberaniannya terkumpul, Serena baru angkat bicara lagi, “Saya .. saya butuh pinjaman dana, Erick.” Erick menatap Serena dalam-dalam. ‘Sudah aku duga kamu pasti akan datang dan meminta bantuan padaku, Serena,’ batin Erick. “Berapa yang kamu mau?” tanya Erick. Kedua mata Serena langsung membulat. Serena begitu tertegun, “Benarkah? Saya boleh meminjam uang?” Erick menyeringai, “Tentu. Tapi .. Ada syaratnya. Dan kamu harus menandatangani kontrak hitam di atas putih dulu.” “Kontrak? Surat perjanjian?” tanya Serena bingung. Erick mengangguk, “Biar aku suruh asistenku membuat kontraknya dulu. Kamu bersedia kan menunggu lima belas menit?”  Serena mengangguk setuju dan tersenyum, “Iya, tentu. Nggak apa-apa, saya bersedia menunggu.” Erick kembali menyeringai, “Good.” Tak lama setelahnya, Erick langsung menghubungi asisten pribadinya. Bahkan saat sedang menelepon asisten pribadinya, tatapan kedua mata Erick yang begitu intens itu masih sesekali curi-curi pandang menatapi Serena. Tanpa sadar, kedua pipi Serena langsung memerah padam. Tatapan Erick terlihat begitu mendominasi dan .. menggairahkan di saat yang bersamaan. Tatapan jenis apakah itu? Serena sama sekali belum pernah melihat tatapan sejenis itu sebelumnya. Tak sampai lima belas menit kemudian, asisten Erick datang sambil membawa sebuah amplop coklat besar di tangannya. Serena tambah excited. Ah, paling-paling isinya cuman perjanjian pelunasan hutang lewat potong gaji seperti yang Mira bilang kemarin, iya kan? Asisten Erick langsung memberikan amplop coklat itu pada Serena. Erick langsung mencegat Serena ketika dirinya melihat Serena yang nampaknya akan segera membuka dan mengeluarkan surat perjanjian dalam amplop coklat itu. “Bukanya nanti saja di rumah. Aku mau kamu pahami semua perjanjian yang ada dalam surat itu dulu. Aku beri kamu waktu dua hari,” kata Erick. Serena tersenyum, “Terima kasih, Erick.” Erick terdiam sejenak sebelum kembali bicara, “Kalau aku boleh tau, untuk apa kamu meminjam uang, Serena?” “Untuk biaya pengobatan ayah. Ayah sakit keras dan butuh operasi transplantasi jantung ..,” lirih Serena. “Berapa biaya yang dibutuhkan?” tanya Erick penasaran. “Saya nggak tau .. Tapi yang pasti biayanya akan sangat banyak,” kata Serena yang nampak begitu putus asa. Tanpa basa-basi, Erick langsung mengambil sebuah pen yang tergeletak di atas meja kerjanya lalu mengambil sebuah cek uang dari dalam lemari kerjanya. Dengan begitu serius, Erick mulai mengisi cek uangnya dengan sejumlah uang yang jumlahnya cukup fantastis buat Serena. Serena langsung membulatkan kedua matanya begitu menerima cek uang pemberian Erick, “50 juta?” Erick tersenyum hangat, “Anggap saja untuk tambahan biaya pengobatan ayah kamu. Nggak usah dibayar.” “Ta .. tapi ..” Erick menghela napas, “Aku harap kamu menggunakan uang itu dengan bijak, Serena. Kalau tidak ada hal lain yang mau kamu bicarakan, kamu boleh pulang sekarang. Semoga ayah kamu cepat sembuh.” Serena langsung tersenyum haru, “Terima kasih banyak, Erick.” Serena baru jalan beberapa langkah menuju pintu keluar saat tiba-tiba Erick kembali memanggil namanya, “Serena?” Serena langsung menoleh, “Iya?” Erick kembali menatap Serena dalam-dalam, “Sampai berjumpa dua hari lagi. Aku menunggumu, Serena.” ❤❤TO BE CONTINUED❤❤

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

LIKE A VIRGIN

read
840.6K
bc

Love Me or Not | INDONESIA

read
532.7K
bc

OLIVIA

read
29.2K
bc

SEXRETARY

read
2.1M
bc

Pinky Dearest (COMPLETED) 21++

read
285.7K
bc

Call Girl Contract

read
323.1K
bc

Papah Mertua

read
530.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook