Chapter 2 - Perempuan Bayaran

2383 Words
Di tengah temaramnya lampu kamar tidurnya, Serena mulai membuka amplop coklat besar berisi surat perjanjian pemberian Erick tadi. Begitu dibuka, ternyata isinya cuman selembar. Padahal tadinya Serena pikir isi kontrak perjanjiannya akan sangat panjang sampai berlembar-lembar. “Segini saja?” kata Serena bingung begitu melihat kontraknya yang ternyata cuman selembar, itupun tidak full. Jantung Serena mulai berdegup lebih kencang. Dengan begitu serius, Serena mulai membaca isi surat perjanjian yang diberikan Erick. Isi perjanjian pertama, Serena tidak diperkenankan punya kekasih atau menjalin hubungan atau dekat dengan laki-laki lain selama masih terikat kontrak. Seketika, Serena langsung tersenyum kecut begitu selesai membaca baris kalimat itu. Serena Yatalana memang sudah lama tak punya kekasih. Semenjak hubungannya dengan Pierre -mantan tunangannya- kandas begitu saja dengan begitu tragisnya, sampai sekarang Serena masih belum mau menjalin cinta lagi dengan laki-laki lain. Hatinya masih sakit. Layaknya luka, goresan kesedihan di hati Serena masih belum kering dan sembuh betul. Isi perjanjian kedua, Serena harus bersedia dengan sabar membantu serta mengajari Erick Navarro memasak semua makanan favoritnya. Serena langsung tersenyum geli. Sungguh kontrak perjanjian yang aneh. “Ck, kalau memang nggak bisa masak, kenapa nggak nyewa koki saja? Masa iya orang sekaya Erick nggak punya koki? Memang nggak punya atau nggak bersedia membayar?” cemooh Serena. Oh, beruntung sekali Serena pandai masak. Maklum, sudah sekian lama Serena ditinggal ibunya. Tidak ada orang lain yang bisa Serena andalkan selain ayahnya dan dirinya sendiri. Ya, termasuk dalam urusan masak memasak dan mengurus rumah. Isi perjanjian ketiga, Serena harus bersedia mendengarkan semua keluh kesah-termasuk harus bersedia menjadi teman baik bagi Erick Navarro; dan harus selalu siap sedia jika diminta bertemu tatap muka langsung. Serena terdiam sejenak begitu selesai membaca kalimat tersebut. Kedua mata indahnya menerawang, memperhatikan secarik kertas yang ada dalam genggaman tangannya. Serena tidak salah baca kan? Ya, di surat perjanjian itu jelas-jelas Erick meminta Serena untuk menjadi temannya. Serena langsung menggelengkan kepalanya. Tidak, ini semua memang nyata. Sudah jelas sekali kalau Erick memang meminta Serena untuk menjadi temannya. Serena langsung menghela napas dalam-dalam. Mungkin Erick hanya kesepian dan kurang teman ngobrol? Ah bodo amat, Serena tak mau berpikir terlalu rumit. Toh yang penting Serena bisa mendapat uang untuk membayar operasi transplantasi jantung ayahnya. Lagipula hanya sekadar teman kok, apa susahnya menjadi seorang teman? Sesaat, jantung Serena kembali berdegup lebih kencang. Serena sudah sampai ke bagian penutup dari surat perjanjian yang isinya agak nyeleneh ini. Setelah menghirup napas dalam-dalam, akhirnya Serena kembali melanjutkan membaca isi surat perjanjian itu. Isi perjanjian terakhir, Serena harus bersedia menjadi teman tidur bagi Erick Navarro. Kontrak berlaku sampai batas waktu yang ditentukan oleh pihak Erick Navarro dan apabila melanggar akan dikenakan sanksi tertentu. Sebuah petir langsung menyambar kepala Serena begitu dirinya selesai membaca isi perjanjian yang terakhir. Harapannya langsung pupus sudah. Hancur berkeping-keping, habis tak tersisa. Sebuah senyum getir langsung menghiasi wajah cantik Serena. Ternyata Erick tidak benar-benar tulus mau membantu dirinya. Pantas saja daritadi Serena sama sekali tidak menemukan kalimat yang bilang kalau semua uang yang Serena pinjam bisa dicicil pelunasannya dengan cara potong gaji. Ya, Erick memang mau Serena membayar semua uang yang akan dia pinjamkan. Tapi sayangnya Erick tidak mau dibayar dengan uang. Serena harus membayarnya dengan cara lain ... Yaitu dengan cara tidur bersama Erick. “Semua orang kaya memang sama, tidak ada yang benar-benar tulus mau membantu,” getir Serena. Tanpa sadar, kedua mata Serena mulai berkaca-kaca. Pipinya mulai memerah. Bukan karena malu, tapi karena emosi yang begitu berkecamuk dalam dirinya. Dengan sebuah senyum pahit yang terpatri di wajahnya, Serena mengusap air mata yang akhirnya turun membasahi kedua pipinya. Serena Yatalana merasa bodoh sekali. Lagipula, apa yang Serena harapkan? Di dunia ini kan memang tidak ada yang gratis. Bahkan mau buang air kecil di WC umum pun harus bayar. Parkir motor pun juga bayar. Semua pakai uang. Dengan emosi yang mulai memuncak, Serena langsung merobek surat perjanjian itu lalu membuangnya ke tempat sampah. “Dasar cowok sinting!” umpat Serena. Duh, Serena merasa kesal sekali. Kurang ajar, bisa-bisanya Erick memanfaatkan keadaannya untuk memuaskan hasrat gilanya. Serena kembali menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Sabar. Pasti ada jalan keluar,” kata Serena. Setelahnya, Serena langsung beranjak dari kursinya lalu beranjak memasak mie instan di dapurnya. Perutnya sudah begitu keroncongan sejak daritadi. Serena ogah memikirkan soal perjanjian itu lagi. ***** Esok paginya, begitu membuka mata dan siap-siap mau berangkat kerja, kabar yang tidak mengenakkan malah menimpa Serena. Serena langsung mengerutkan dahi mulusnya begitu mendapat panggilan dari dokter yang merawat ayahnya. Hatinya langsung terasa tak enak, seolah-olah akan ada kabar buruk yang akan didengar telinganya. Dengan perasaan campur aduk, Serena mengangkat panggilan sang dokter, “Ada apa, dok?” “Serena, kondisi ayah kamu kritis. Bisa kamu ke rumah sakit sekarang?” kata sang dokter dengan nada penuh kepanikan. Tanpa menjawab dan menunggu lama, Serena langsung berangkat ke rumah sakit. Begitu sampai di rumah sakit, Serena langsung berjumpa dengan sang dokter yang rambutnya sudah hampir putih semua itu. “Apa yang harus kita lakukan, dok?” kata Serena yang napasnya masih terengah-engah karena habis berlari tadi. “Kita harus melakukan operasi hari ini juga, Serena. Tidak bisa ditunda-tunda lagi. Nyawa ayah kamu taruhannya,” kata sang dokter yang masih mencoba tenang meskipun raut wajahnya dipenuhi oleh kepanikan. Serena mengangguk dengan semangat, “Baik kalau begitu. Dokter bisa mengoperasi ayah saya kan? Saya ..” Tiba-tiba, Serena teringat akan cek uang 50 juta yang diberikan Erick kemarin. Gratis. Ya, Serena ingat sekali uang itu diberikan Erick secara cuma-cuma. Serena bisa memakai uang itu untuk biaya awal operasi transplantasi jantung ayahnya. Serena lanjut bicara, “Saya sudah punya uangnya. Mungkin memang masih kurang, tapi saya akan melunasinya segera. Saya mohon dokter, tolong ayah saya ..” Sang dokter menatap Serena iba, “Tentu, nak. Kami akan membantu semampu kami.” Sang dokter beralih menatap jam dinding yang terpatri indah di tengah dinding rumah sakit, “Sudah hampir jam enam, saya harus siap-siap. Kamu bisa mengurus biaya administrasinya dulu. Saya akan kabari kamu lagi nanti kalau operasinya sudah selesai.” Serena langsung mengangguk dan tersenyum, “Terima kasih dokter.” Dengan langkah cepat dan terburu-buru Serena Yatalana menuruni tangga menuju bagian administrasi rumah sakit. “Pagi, saya mau urus pembayaran operasi atas nama bapak Wira Tarendra,” kata Serena. “Wira Tarendra .. Operasi transplantasi jantung?” tanya sang mbak-mbak administrasi yang mencoba memastikan kembali. Serena hanya mengangguk. “Pembayaran menggunakan debit, tunai atau kredit?” Serena merogoh dompetnya lalu mengambil cek uang yang diberikan Erick kemarin,  “Pakai ini .. bisa?” Mbak-mbak administrasi itu mengambil cek uang yang diberikan Serena, “Baik. Tunggu sebentar, kami coba dulu.” Tak lama setelahnya, mbak-mbak administrasi itu kembali menghampiri Serena. “Bagaimana, mbak?” tanya Serena penuh harap. “Ceknya berhasil kami uangkan.” Sesaat, Serena bisa bernapas lega. “Berapa lagi biaya yang harus saya lunasi?” tanya Serena penasaran. “400 juta, sudah termasuk biaya operasi dan rawat inap,” jawab sang mbak-mbak administrasi. Serena langsung tersenyum kecut, “Baik, akan saya lunasi semua biayanya sesegera mungkin.” Kelar membayar sebagian biaya operasi yang dibutuhkan ayahnya, Serena langsung kembali menunggu sendirian di ruang tunggu. Serena tidak berangkat kerja hari ini. Sudah bodo amat.  Serena sudah tidak peduli lagi meskipun atasannya yang galak itu akan membentaknya lagi hari ini. Lagipula, Serena masih merasa enggan menginjak kembali gedung perkantoran yang megah itu. Bagaimana tidak? Sekarang setiap kali menginjakkan kakinya di gedung itu, pikiran Serena pasti akan otomatis membawanya pada Erick. Serena masih merasa kesal. Harga dirinya masih merasa tersakiti. Setelah hampir lima jam menunggu sendirian tanpa kepastian, sang dokter akhirnya keluar dari ruang operasinya. “Bagaimana operasi ayah saya, dok?” tanya Serena penuh harap. Sang dokter tersenyum ramah, “Operasinya berjalan lancar, Serena. Saya yakin ayah kamu akan segera pulih.” Serena langsung bernapas lega. Sebuah senyum haru menghiasi wajah cantiknya, “Terima kasih banyak, dokter.” ***** Malamnya, Serena tak kunjung bisa menutup kedua matanya dengan nyaman. Padahal Serena merasa ngantuk sekali. Nyawanya tinggal lima watt, tapi pikirannya membuatnya terus terjaga. Serena terus berganti posisi tidur, bergerak gelisah dan tak nyaman di atas ranjangnya. “400 juta, sudah termasuk biaya operasi dan rawat inap.” Perkataan itu terus terngiang-ngiang dalam benak Serena. Bagaimana Serena bisa mendapat uang sebanyak itu? Oh, bahkan mungkin uang hasil jual rumahnya pun tak akan sebanyak itu. Siapa juga orang gila yang mau membeli rumah sekecil ini dengan harga 400 juta? Dan lagi, kalau rumah ini dijual, Serena dan ayahnya akan tinggal dimana? Dengan langkah cepat, Serena bangkit dari tempat tidunya. Tanpa pikir panjang, Serena langsung mengobrak-abrik tempat sampahnya lalu mengambil kembali surat perjanjian yang sudah dirobeknya menjadi dua kemarin. Dengan air mata yang terus membasahi kedua pipinya yang sudah memerah, Serena merekatkan kembali surat perjanjian yang sudah robek itu menggunakan lem seadanya. Setelahnya, Serena memperhatikan surat perjanjian yang bentuknya sudah tak karuan itu dengan tatapan begitu nanar. Sebuah pena sudah ada di tangan kanannya. Yang harus Serena lakukan sekarang hanyalah menandatangani surat itu. Serena memperhatikan foto usang almarhumah ibunya sejenak. “Maafkan aku, ibu .. Aku terpaksa melakukan ini semua demi ayah ..,” lirih Serena. Dan setelahnya, tanpa menunggu lama Serena langsung menandatangani surat perjanjian itu. ***** Waktu menunjukkan hampir pukul enam sore saat Serena sedang menunggu sendirian di dalam ruangan kerja pribadi milik Erick. Kalau waktu itu Serena harus menunggu di ruang tunggu, kali ini asisten pribadi Erick menyuruh Serena untuk menunggu di dalam ruang kerja pribadinya saja. Selama menunggu, Serena terus memperhatikan sekelilingnya. Serena baru sadar, betapa modern dan artistiknya ruangan kerja pribadi milik seorang Erick Navarro. Buku-buku serta dokumen kerjanya tertata begitu rapih di dalam sebuah rak kayu besar di samping meja kerjanya. Oh, bahkan Erick punya aquascape mini berisi ikan kecil warna-warni yang diletakkan di pojok ruangan, persis di samping pot berisi bunga anggrek putih. Serena hanya bisa melongo. Dari kursi sampai jam dinding, semua terlihat mahal. Sesuai dengan jabatan Erick yang memang sudah tinggi. Tak lama kemudian, Erick kembali dari meeting nya. Wangi parfum yves saint laurent yang begitu harum dan maskulin langsung memenuhi indera penciuman Serena. Erick langsung tersenyum begitu melihat Serena yang sedang duduk manis menunggu kedatangannya, “Sudah aku duga kita akan bertemu lagi.” Serena hanya tersenyum miring. ‘Ck, percaya diri sekali kamu,’ batin Serena. Erick langsung menarik kursinya lalu duduk tepat berhadapan dengan Serena, “Kamu sudah lama menunggu?” “Belum. Kira-kira sejak setengah jam yang lalu,” jawab Serena seadanya. “Sudah makan?” tanya Erick yang tak bisa memalingkan wajah tampannya dari Serena. Serena menggeleng, “Belu .. Maksud saya sudah.” Erick tersenyum geli, “Jadi sudah atau belum, hm?” “Be .. belum ..,” jawab Serena malu-malu. Erick tersenyum manis, “Good. Aku juga belum makan. Mungkin kita bisa makan malam bersama habis ini. Bagaimana?” Serena tak menjawab, hanya menatapi kedua mata Erick dengan tatapan nyaris kosong. Melihat Serena tak kunjung menjawab, Erick akhirnya angkat bicara lagi. Kedua matanya langsung terpaku pada amplop coklat besar yang ada di pangkuan Serena. “Kamu sudah membaca surat perjanjiannya?” tanya Erick dengan tatapan seriusnya. Serena mengangguk lemah, “Sudah ..” “Terus?” tanya Erick penasaran. Serena menatap Erick dengan begitu putus asa, “Saya ..” Erick memotong ucapan Serena, “Pakai bahasa informal saja, Serena.” Serena melanjutkan ucapannya setelah terdiam sejenak, “Aku setuju.” Setelah mendengar ucapan Serena, kini gantian Erick yang berdiam diri. Erick memperhatikan wajah cantik Serena dengan tatapannya yang begitu serius. Melihat raut putus asa di wajah cantik Serena, Erick langsung merasa iba. Sepertinya caranya untuk mendapatkan Serena memang salah. “Kamu .. nggak terpaksa melakukan semua ini, kan?” tanya Erick penasaran. ‘Ck, tentu saja aku terpaksa!,’ umpat Serena dalam hati. Serena menatap Erick nanar, “Aku tidak punya pilihan lain. Ayahku butuh biaya untuk operasinya.” “Berapa biaya yang diperlukan ayah kamu?” tanya Erick yang semakin penasaran. Serena tersenyum miris, “400 juta .. Dan untungnya operasinya berjalan lancar kemarin.” Erick menaikkan satu alisnya, “Oh, jadi itu alasannya kenapa kamu nggak masuk kerja kemarin?” Serena langsung tertegun. Astaga, bahkan Erick tahu kalau dirinya bolos kerja kemarin? “Kamu .. marah soal itu?” tanya Serena takut-takut. Erick tersenyum manis dan menggeleng, “Nggak. Lagipula kamu nggak masuk kerja karena harus menunggu operasi ayah kamu kan?” Serena mengerutkan dahi mulusnya, “Kok kamu tahu?” Erick tersenyum geli, “Kan tadi kamu yang bilang sendiri kalau ayah kamu baru saja kelar dioperasi dan operasinya berjalan lancar.” Serena langsung tersipu malu. Oh astaga, untuk sesaat Serena sempat berpikir kalau Erick memata-matainya. Erick lanjut bicara, “So .. Boleh aku lihat suratnya?” Serena langsung memberikan amplop coklat itu pada Erick. Dahi mulus Erick langsung mengkerut begitu dirinya mendapati kalau surat perjanjiannya sudah robek menjadi dua dan direkatkan lagi seadanya menggunakan lem. “Kenapa bisa robek?” tanya Erick bingung. “Maaf .. Aku nggak sengaja merobeknya kemarin,” lirih Serena. Kelar membaca dan memastikan kembali kalau Serena sudah benar-benar menandatangani surat perjanjian itu, Erick langsung meletakkan surat perjanjiannya di atas meja kerjanya. “Jadi kita sudah sepakat?” tanya Erick sambil merapihkan kemeja hitamnya yang terlihat begitu mengkilap itu. Serena hanya mengangguk. Erick langsung bangkit berdiri dari kursinya lalu mengambil ponsel dan kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja. “Kamu mau ke mana?” tanya Serena bingung. “Kemasi barangmu, ikut aku sekarang,” perintah Erick. Begitu Serena kelar merapihkan semua barang-barangnya, Erick langsung membawa Serena ke parkiran mobil. Serena langsung melongo begitu melihat sebuah mobil jaguar warna hitam milik Erick yang terparkir indah di sana. Ya, mobil mewah yang harganya setara sama satu unit apartemen. “Ini mobil kamu?” tanya Serena yang masih melongo tak percaya. Erick tersenyum dan mengangguk, “Iya. Ayo masuk.” “Kita mau ke mana, Erick?” tanya Serena bingung. “Pulang ke rumah,” jawab Erick santai. Serena mengerutkan dahi mulusnya, “Pulang ke rumah? Bukannya kamu belum tahu alamat rumah aku?” Erick menyeringai, “Bukan ke rumah kamu, Serena, tapi ke rumah aku.” Serena hanya bisa tertegun dan membatu. Serena sudah menduga hal ini pasti akan terjadi. Ya, mungkin malam ini Serena harus merelakan keperawanannya, yang tak lama lagi akan direnggut oleh seorang Erick Navarro. ❤❤TO BE CONTINUED❤❤
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD