Chapter 3 - Satu Malam Denganmu

2350 Words
Sambil menyenderkan kepalanya di kaca jendela mobil yang sedikit berembun, Serena memperhatikan jalanan yang ada di hadapannya dengan tatapan nyaris kosong. Raganya memang ada di sini, sedang duduk di kursi penumpang di dalam mobil yang sedang dikendarai Erick, tapi jiwanya sedang berkelana entah ke mana. Erick, yang sedaritadi masih fokus menyetir mobil jaguar nya, sesekali curi-curi pandang memandang wajah cantik Serena. Raut wajah Serena nampak sangat kacau. Serena nampak begitu sedih dan putus asa, seolah-olah esok adalah hari terakhirnya bisa menghirup udara di dunia. “Kamu mau dengar lagu? Atau dengar radio mungkin?” tanya Erick yang mulai merasa tak betah lama-lama berdiam diri seperti ini. Serena tak merespon, hanya menggelengkan kepalanya. Hening. Setelah itu, keduanya benar-benar tak saling bicara. Hanya suara berisik kendaraan bermotor dan suara klakson yang memekakan telinga yang mengisi kekosongan di tengah-tengah mobil yang sedang dinaiki Erick dan Serena. Hampir satu jam kemudian, Erick dan Serena akhirnya sampai di tempat tujuan. Ya, kediaman pribadi milik seorang Erick Navarro. Sebuah rumah megah nan luas bergaya modern minimalis berlantai dua, ditambah dengan garasi, kolam renang pribadi, serta sebuah taman yang dihiasi banyak bunga anggrek dan pohon pinus. “Kita sudah sampai,” kata Erick selepas mematikan dan memarkir mobil jaguar hitamnya. Serena lagi-lagi sama sekali tak merespon. Begitu menoleh, Erick mendapati Serena sedang kesulitan membuka seat belt nya. Dahi mulus Serena nampak berkerut. Serena Yatalana memang jarang naik turun mobil. Hampir tak pernah malah. Tapi sepanjang naik mobil, entah mengapa Serena merasa sepertinya mobil ini yang paling sulit dibuka seat belt nya. Melihat Serena yang masih kesulitan membuka seat belt nya, Erick langsung tersenyum geli, “Sini aku bantu.” Dengan perlahan, Erick mendekati Serena lalu membantu Serena melepaskan seat belt nya. Begitu seat belt nya sudah terbuka, untuk sejenak, Erick dan Serena hanya saling menatap. Jarak di antara keduanya begitu dekat. Sangkin dekatnya, sampai-sampai Erick dan Serena bisa merasakan hembusan napas masing-masing. Seketika, jantung Erick Navarro berdegup lebih kencang. Oh bahkan jika dilihat dari dekat seperti ini, Serena terlihat semakin cantik. “Ada apa, Erick?” tanya Serena bingung. Seketika, Erick langsung tersadar dari lamunannya. Erick langsung bergerak menjauh, lalu membuka pintu mobilnya. “Let’s go,” kata Erick yang sudah semakin salah tingkah. Serena langsung melongo begitu menginjakkan kakinya di dalam rumah Erick. Sungguh, sepanjang sejarah hidupnya, belum pernah Serena masuk ke dalam rumah seluas dan semegah ini. “Ini .. benar-benar rumah kamu?” tanya Serena sambil menyentuh sebuah guci kristal kecil yang terletak di atas meja kayu jati besar di hadapannya dengan tatapan takjub. Erick tersenyum dan mengangguk, “Tentu saja. Masa rumah tetangga?” Tak lama setelahnya, seorang laki-laki berusia sekitar 50-an awal menghampiri Erick dan Serena. Laki-laki itu menatap Serena sejenak dari ujung kaki sampai ujung rambutnya dengan tatapan sedikit bingung, sebelum akhirnya beralih menatap Erick dan tersenyum hangat. “Selamat malam, Tuan Erick,” sapa laki-laki itu. “Selamat malam, Satya. Kamu sudah siapkan koki untuk memasak makan malamnya kan?” tanya Erick. ‘Ck, orang kaya. Mau makan malam pun tinggal minta dibuatkan,’ batin Serena. Satya mengangguk, “Sudah, Tuan.” Erick tersenyum, “Terima kasih.” Erick beralih bicara pada Serena, yang masih berdiri di sampingnya, “Ayo ikut aku.” Setelahnya, Erick mengajak Serena makan malam bersama. Ruang makan di rumah Erick juga nampak begitu mewah. Peralatan makan lengkap yang terbuat dari kristal dan stainless steel nya tersusun rapih di atas sebuah meja kaca besar berbentuk persegi panjang. Oh, bahkan di bagian pojok ruang makan itu terdapat sebuah mini bar yang terlihat begitu modern dan minimalis. Erick menarik kursinya untuk Serena, “Silahkan duduk.” Setelahnya Erick langsung menarik kursi untuk dirinya sendiri dan duduk persis berseberangan dengan Serena. Erick lanjut bicara, “Kamu mau makan apa? Biar aku suruh koki pribadi aku yang memasak.” Serena terdiam sejenak sebelum kembali bicara. “Di surat perjanjian kemarin .. Bukannya kamu minta supaya aku mengajari kamu masak?” tanya Serena bingung. “Aku memang punya koki pribadi sejak dulu, tapi mulai besok, aku memutuskan mau belajar masak sendiri saja,” jawab Erick ramah. Erick tersenyum manis, “Lagipula kan ada kamu. Kamu yang akan jadi koki pribadi aku mulai besok.” Serena hanya tersenyum tipis. Erick kembali bicara, kedua matanya tak pernah berhenti memandangi wajah cantik Serena. “Kamu mau makan apa, Serena?” tanya Erick penasaran. “Aku nggak lapar ...,” jawab Serena sambil memperhatikan deretan piring kristal yang ada di hadapannya. Erick menatap Serena khawatir, “Tapi kamu pasti belum makan dari tadi siang, kan? Aku nggak mau kamu sakit.” Serena hanya menatap Erick dan terdiam. Tiba-tiba, sebuah suara yang terdengar begitu memalukan itu malah berbunyi kencang di tengah sunyinya ruang makan di rumah Erick. Ya, suara perut Serena yang sudah keroncongan. Begitu mendengar suara perut Serena yang sudah berteriak-teriak minta makan, Erick langsung tersenyum geli. “Bibir kamu mungkin bisa bohong, tapi sayangnya perut kamu nggak,”canda Erick. Pipi Serena langsung merona merah. Duh, malu sekali rasanya. “Kamu suka steak?” tanya Erick lagi. Serena langsung menatap kedua mata Erick dengan tatapan sedikit berbinar-binar. ‘Oh astaga, steak itu makanan kesukaanku,’ batin Serena. “Tidak terlalu ..,” bohong Serena. “Kalau aku suruh kokiku buatkan steak untuk makan malam kita bagaimana? Kamu mau?” tanya Erick penasaran. “Boleh,” jawab Serena seadanya. “Kamu mau steak ayam atau steak sapi?” tanya Erick yang sudah bangkit berdiri, hendak menghampiri koki pribadinya. “Apa saja boleh.” “Medium rare atau well done?” tanya Erick lagi. Serena terdiam sejenak untuk berpikir, “Well done saja. Aku nggak terlalu suka makan makanan yang masih mentah.” Erick tersenyum hangat, “Oke. Kamu tunggu sini sebentar.” Lima menit kemudian, Erick kembali menghampiri Serena. “Aku sudah suruh kokiku membuatkan steak untuk makan malam kita. Nggak apa-apa kan kalau harus tunggu sekitar 40 menit?” tanya Erick yang merasa khawatir kalau-kalau Serena sudah keburu kelaparan. Serena mengangguk, “Nggak apa-apa.” Erick terdiam sejenak memperhatikan raut wajah Serena. Tak bisa dibohongi, Serena nampak sekali tidak ada niatan berkunjung ke rumah Erick malam ini. Tatapan kedua mata indahnya nampak begitu kosong dan tidak b*******h. Seolah-olah tidak ada lagi harapan untuk menjalani hidup. Dan entah mengapa, hal itu sukses menorehkan sedikit kesedihan di hati seorang Erick Navarro. “Serena?” panggil Erick penasaran. Serena langsung menoleh, “Iya?” “Apa yang harus aku lakukan supaya bisa membuat kamu tersenyum?” tanya Erick dengan raut wajah sedihnya. ‘Dengan tidak tidur bersamaku malam ini,’ batin Serena. “Memangnya hal itu penting buat kamu?” Erick mengangguk, “Tentu. Kamu tau? Kamu memang sudah cantik. Tapi kamu akan terlihat lebih cantik kalau kamu mau tersenyum .. sedikit saja.” Erick lanjut bicara, “Oh, dan kamu tau? Banyak juga orang yang bilang kalau senyum itu adalah obat yang paling alami.” Serena langsung tersenyum malu, “Dasar .. Bisaan aja kamu.” Melihat Serena yang akhirnya tersenyum, tanpa sadar senyum di wajah ganteng Erick juga ikut melebar, “Akhirnya ..” “Akhirnya kenapa?” tanya Serena bingung. “Akhirnya kamu senyum juga,” jawab Erick. Serena hanya tersenyum manis. Erick lanjut bicara, “Jujur, aku bingung mau bicara atau bertanya hal apa sama kamu.” Serena tersenyum miring, “Buat apa harus bingung? Nggak ada hal istimewa dan menarik dari diri aku buat kamu ketahui.” Mendengar ucapan Serena yang terkesan seperti orang yang kehilangan kepercayaan diri, Erick langsung merasa kesal. Erick menatap Serena tajam, “Setiap manusia itu istimewa kok. Termasuk kamu.” Serena menghela napas, “Ya, mungkin ..” Setelahnya, Erick langsung bangkit berdiri dari kursinya lalu beranjak memainkan sebuah lagu melalui alat pemutar lagu digitalnya. Sebuah alunan musik klasik berjudul Minuet in G karangan Beethoven langsung terdengar di seluruh penjuru ruangan. Serena langsung tertegun. Sama seperti dirinya, ternyata Erick juga menyukai musik klasik. Tadinya Serena pikir laki-laki sekelas Erick Navarro cuman suka party dan dengar lagu-lagu EDM. “Kamu suka musik klasik?” tanya Serena penasaran. Erick mengangguk dan tersenyum, “Iya. Musik klasik selalu bisa membuat suasana hati aku jadi jauh lebih tenang. Kalau kamu?” Serena tersenyum dan mengangguk. Kedua mata indahnya menerawang, memperhatikan piring kristal yang berjejer rapih di atas meja kaca besar di hadapannya. Memorinya bergerak, membawa Serena kembali ke kenangan masa lalunya. “Aku juga. Dulu waktu aku masih dalam kandungan, ayah bilang kalau almarhum ibu aku suka menyetel lagu-lagu klasik. Karena kata ibu itu bagus buat perkembangan otak bayi,” kata Serena dengan senyum haru di wajah cantiknya. Erick mengerutkan dahi mulusnya, “Ibu kamu .. sudah meninggal?” Seketika, Serena langsung mengutuki dirinya sendiri. Duh, buat apa juga Serena tetibaan curhat sama Erick kalau ibunya sudah tiada? “I .. iya .. Ibu sudah lama meninggal ..,” jawab Serena. Erick menghela napas sejenak. Erick beralih merogoh dompet tebalnya dari dalam saku celananya, lalu mengeluarkan sebuah foto kecil dari dalam dompetnya. Erick memperlihatkan foto itu pada Serena. Sebuah foto perempuan paruh baya yang meskipun sudah dipenuhi keriput, tapi sisa-sisa kecantikannya saat masih muda dulu masih terpatri di wajahnya. “Siapa ini, Erick?” tanya Serena sembari terus memperhatikan foto tersebut. Erick tersenyum getir, “Ibu aku. Ibu baru meninggal lima tahun yang lalu karena kanker pay*dara.” Serena langsung menatap Erick iba, “I’m sorry ..” Erick tersenyum hangat, “Ternyata kita punya banyak kesamaan ya. Kita sudah sama-sama nggak punya ibu dan sama-sama suka dengar musik klasik.” ‘Dan kita sama-sama suka makan steak,’ batin Serena. “Mungkin cuman kebetulan ..” Setelah sekian lama menunggu, seorang koki akhirnya menghampiri Erick dan Serena. Wangi steak panggang yang begitu menggugah selera langsung memenuhi seluruh penjuru ruangan. Serena langsung menelan ludahnya dengan kasar begitu sang koki membuka tudung saji stainless steal nya tepat di hadapannya. Ya, sepiring steak panggang yang dilelehi saus truffle mushroom, lengkap dengan kentang goreng serta wortel dan kacang polong rebus yang sudah dipotong kecil-kecil. “Kamu suka?” tanya Erick dengan senyum ramah di wajah gantengnya. Serena hanya mengangguk dengan begitu semangat. Erick tersenyum manis, “Selamat makan, nona Serena.” Serena langsung memotong steak di hadapannya dengan semangat. Serena baru saja akan memasukkan potongan steak nya ke dalam mulutnya, saat tiba-tiba langsung mengurungkan niatnya. Serena memperhatikan Erick, yang saat ini sedang asik memakan steak nya tepat di hadapanya, dengan tatapan penuh curiga. ‘Semua makanan ini .. apa mungkin ada obat tidurnya?’ batin Serena curiga. Erick yang melihat Serena tak kunjung memakan makanannya jadi bingung sendiri. “Kok nggak dimakan? Apa rasanya nggak enak?” tanya Erick penasaran. Serena hanya menggeleng. Begitu melihat raut kecurigaan di wajah Serena, Erick langsung paham apa yang ada dalam pikiran perempuan cantik yang sedang duduk di hadapannya ini. Erick menghela napas, “Kamu tenang saja, makanan sama minuman ini nggak ada racunnya kok.” Erick lanjut bicara setelah terdiam sejenak, “Oh, dan nggak ada obat tidurnya juga.” Serena hanya terdiam. Meskipun masih dipenuhi sedikit rasa kecurigaan, akhirnya Serena memakan juga steak buatan koki pribadi Erick. Dan oh astaga, ternyata rasanya enak sekali. Begitu steak dan lelehan saus truffle mushroom itu menyentuh indera pengecapnya, seketika perasaan Serena berubah jadi jauh lebih baik. ‘Ah, bodo amat. Aku sudah lapar setengah mati,’ batin Serena tak peduli. Kelar makan malam bersama, Erick langsung mengajak Serena nonton TV bersama di atas sofa empuk di ruang tamunya. “Kamu mau nonton film?” tanya Erick yang sedang sibuk mengganti saluran TV kabelnya. “Erick?” panggil Serena takut-takut. Erick langsung menoleh, “Iya?” Serena menghela napas sejenak, “Aku mau mandi. Badan aku sudah lengket semua.” Erick meletakkan remot TVnya di atas meja kaca besar di hadapannya, “Sure. Ayo ikut aku.” Setelahnya, Erick langsung membawa Serena menuju sebuah kamar tidur yang letaknya ada di lantai dua rumahnya. Begitu pintu sudah dibuka, Serena langsung terpana akan betapa mewah dan luasnya kamar tidur tersebut.   Erick tersenyum hangat, “Kamar ini ada kamar mandinya, jadi kamu bisa mandi di sini. Nggak usah khawatir, aku sudah siapkan baju ganti buat kamu.” Kedua mata indah Serena langsung terpaku pada sebuah baju ganti dan bathrobe yang diletakkan dengan begitu rapih di atas ranjang besar berukuran king size itu. Serena membalas senyum Erick, “Thanks, Erick.” Tak lama setelah Erick keluar, Serena langsung buru-buru mengunci pintu kamar tidurnya. Serena menghela napas sejenak sambil memperhatikan sekelilingnya. “Rumah sebesar ini kenapa terasa hampa sekali ya?” kata Serena bingung. Dengan langkah santai, Serena langsung melangkah menuju kamar mandinya. Oh, bahkan kamar mandinya pun besar dan lengkap sekali. Shower, bath tub, wastafel sampai pemanas air otomatis, semuanya ada. Persis seperti kamar mandi di hotel-hotel bintang lima. Dengan perlahan, Serena mulai menanggalkan satu per satu pakaiannya yang sudah dipenuhi oleh keringat itu, lalu beranjak menyalakan shower untuk mengguyur tubuh polosnya. Di bawah pancuran air shower yang hangat, Serena menatapi tubuh polosnya yang terpampang melalui pantulan kaca kamar mandi yang kian berembun. Dengan perlahan, jari-jari Serena yang begitu lentik itu bergerak, menyusuri daerah lipatan daging dan kedua gundukan kembarnya sendiri. Serena tersenyum miris. Serena tak bisa berhenti mengasihani dirinya sendiri. Tak lama lagi dirinya akan disentuh. Tak lama lagi dirinya akan kotor. Ya, tak lama lagi Erick akan melihat dan menyentuh seluruh tubuhnya. “Maafkan aku, ibu ..,” lirih Serena. Dengan senyum miris yang masih menghiasi wajah cantiknya, Serena beranjak mematikan shower kamar mandinya. Dengan sigap, Serena memakai bathrobe warna putih yang tergeletak rapih di atas ranjangnya lalu duduk dengan raut wajah penuh putus asa di pinggir tempat tidurnya. Serena tak kunjung memakai baju gantinya, hanya sebuah bathrobe warna putih yang menutupi tubuh polosnya. Toh buat apa juga Serena memakai kembali pakaiannya kalau pada akhirnya Erick akan menanggalkan itu semua? Seketika, jantung Serena langsung berdegup lebih kencang begitu mendengar suara pintu kamar tidurnya diketuk. “Serena? Aku boleh masuk?” tanya Erick dari balik pintu kamar tidurnya. Serena menghela napas sejenak. Dengan langkah begitu berat, Serena berjalan menuju pintu kamar tidurnya. Tidak ada pilhan lain. Serena terpaksa menyerahkan dirinya pada Erick demi menyelamatkan nyawa ayahnya .. ❤❤TO BE CONTINUED❤❤
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD