Chapter 4 - Aku Ingin Menyentuhmu

1969 Words
Serena membuka pintu kamar tidurnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Jantungnya berdegup semakin kencang, napasnya semakin memburu. Begitu pintu kamarnya sudah terbuka, Serena langsung berhadapan dengan Erick Navarro, yang sedang berdiri sambil menatapinya dengan sebuah senyum di wajah gantengnya. Erick tersenyum hangat, “Aku boleh masuk?” “Bo .. boleh,” jawab Serena takut-takut. Dengan langkah pelan, Erick memasuki kamar tidur Serena. Laki-laki tampan yang badannya tinggi semampai itu lalu duduk di pinggir ranjang tempat tidur Serena. Dengan sebuah senyum yang tak pernah luntur dari wajah tampannya, Erick menepuk space kosong di samping ranjang yang dia duduki. “Come here,” perintah Erick. Dengan langkah yang sedikit gemetar, Serena mulai berjalan mendekati Erick, lalu duduk tepat di sampingnya. Indera penciuman Erick langsung dipenuhi oleh aroma sabun lavender dan mawar yang begitu harum. “Kamu sudah mandi?” tanya Erick yang kedua matanya seolah-olah tak pernah bisa lepas memandangi wajah cantik Serena. Serena hanya mengangguk. Kepalanya tertunduk, kedua mata indahnya menerawang sambil memperhatikan lantai marmer kamar tidurnya yang terlihat begitu licin dan bersih. Serena masih enggan menatap wajah laki-laki tampan keturunan setengah Jerman yang sedang duduk tepat di sampingnya ini. Dengan perlahan, Erick menangkupkan wajah Serena dengan kedua tangannya, membuat matanya dan mata indah Serena akhirnya bertemu. Untuk sesaat, Erick dan Serena hanya saling tatap. “Kamu cantik sekali, Serena ..” bisik Erick dengan suaranya yang terdengar sedikit parau. Perlahan, kedua matanya mulai dipenuhi oleh kabut hasrat dan gairah. Erick mengelus pipi Serena yang sedikit kemerah-merahan itu dengan ibu jarinya, “Bolehkah aku menyentuhmu?” Untuk sesaat, Serena Yatalana seolah-olah terbius oleh pesona seorang Erick Navarro. Di bawah pencahayaan lampu kamar tidurnya yang agak temaram, Serena memperhatikan setiap detil wajah Erick dalam-dalam. Kedua mata Erick terlihat begitu tegas. Alis tebalnya terbentuk dengan begitu rapih dan nyaris sempurna. Batang hidungnya begitu lurus dan tinggi semampai, khas ala hidung kaukasia. Bibir Erick yang terlihat begitu halus itu berwarna kemerahan namun sedikit pucat. Rahangnya yang terpahat tajam nan tirus itu terlihat begitu maskulin, ditambah dengan rambut tebalnya yang berwarna hitam agak kecoklatan. Untuk sesaat, Serena hanya terdiam sambil terus memandangi wajah Erick. Ya, harus Serena akui, Erick Navarro memang sempurna. Erick, yang melihat Serena tak kunjung menjawab, akhirnya angkat bicara lagi. “Jawab aku, Serena,” kata Erick sambil menekankan setiap kata dalam ucapannya. Serena hanya mengangguk perlahan. ‘Andaikata aku berkata tidak pun, kamu akan tetap menyentuhku kan?’ batin Serena. Dengan begitu perlahan, Erick mulai menciumi bibir Serena. Awalnya Serena masih merasa tertegun kala bibir Erick akhirnya menyentuh bibirnya. Namun perlahan tapi pasti, Serena akhirnya menutup kedua matanya, mulai terbuai oleh ciuman bibir Erick yang terasa begitu lembut dan tidak memaksa. Jari-jari tangan Erick yang kokoh dan terasa begitu lembut itu mulai bergerak turun, menyusuri kulit leher Serena yang terasa begitu halus, hingga akhirnya sampai pada kedua lengannya. Dengan perlahan, Erick membaringkan tubuh Serena di atas ranjang tempat tidurnya. Erick lalu bergerak, menindih tubuh Serena dan menghujani leher mulusnya dengan kecupan dan ciuman penuh kasih sayang. Setelahnya Erick berhenti sejenak, memperhatikan wajah cantik Serena yang kini berada di bawah dekapan hangat tubuhnya. Erick menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Serena lalu mencium bibirnya sekilas. “Kamu membuat aku gila, Serena ..,” bisik Erick dengan suara beratnya yang terdengar begitu penuh dengan gairah. Dengan perlahan, jari-jari Erick bergerak, membuka ikatan bathrobe yang masih menutupi tubuh Serena. Erick langsung menelan ludahnya dengan kasar begitu bathrobe yang menutupi tubuh Serena akhirnya sudah terbuka setengah. Oh astaga, Erick bahkan tak menyangka kalau ternyata Serena sama sekali belum berpakaian. Napas Erick terdengar semakin berat dan kasar. Kedua matanya seolah-olah tak bisa lepas memandangi gunung kembar Serena yang begitu ranum dan terbentuk dengan sempurna itu. Dengan perlahan, Erick mulai meremas dan memainkan gundukan ranum Serena, yang terasa begitu halus dan pas di genggaman tangannya. Erick menyeringai nakal, lalu dengan perlahan bibirnya mulai bergerak turun, menciumi puncak gunung kembar Serena bergantian sambil terus memainkannya. Erick baru akan benar-benar menanggalkan bathrobe yang menutupi tubuh polos Serena, saat tiba-tiba telinganya mendengar isak tangis yang keluar dari bibir perempuan yang sedang ditindihnya ini. “Hiks ..” Erick langsung memalingkan wajah tampannya pada Serena. Pipi mulus Serena sudah berubah merah padam. Kedua mata indahnya sudah berair, bahkan beberapa tetes air mata itu sudah sukses membasahi kedua pipinya yang memerah. Seketika, Erick langsung tertegun begitu kedua matanya akhirnya bertemu kembali dengan kedua mata Serena. Kedua mata indah itu menatapnya dengan tatapan yang begitu nanar, hanya ada rasa sedih teramat dalam yang terpancar di sana. Erick mengelus pipi Serena dengan jari-jari tangannya perlahan. Raut wajahnya mulai dipenuhi rasa takut dan khawatir, “Ada apa, Serena?” Serena tak menjawab. Bahkan kini tangisnya semakin menjadi. Tak hanya pipinya, kini seluruh wajah Serena sudah benar-benar berubah merah padam. Serena benar-benar merasa malu dan kecewa pada dirinya sendiri. Seketika, Erick langsung merasa iba. Hatinya terasa perih, seolah-olah pisau yang begitu tajam baru saja menorehkan luka dalam hatinya. “Apa aku menyakiti kamu?” tanya Erick khawatir. Lagi-lagi Serena sama sekali tak menjawab. Bibirnya masih terkunci. Serena hanya terdiam seribu bahasa. Namun setelah bertanya demikian, entah mengapa tetibaan tangis Serena sedikit mereda. Erick menghela napas panjang. Tanpa harus dijawab pun, Erick Navarro sudah tahu apa jawaban yang pasti akan keluar dari bibir Serena. Ya, Erick sudah menyakitinya. Dengan sigap, Erick langsung bangkit berdiri dan berjalan santai menuju sebuah lemari baju besar berwarna coklat yang terdapat di dalam kamar tidur Serena. Erick mengeluarkan sebuah piyama tidur berbahan sutra nan begitu halus yang tergantung indah dari dalam sana lalu kembali menghampiri Serena, yang kini sudah duduk di tepi ranjang tempat tidurnya. Entah mengapa, jantung Serena langsung berdegup lebih kencang saat Erick mulai merapihkan kembali bathrobe yang menutupi tubuh polosnya. Dengan lembut, Erick mengikat kembali bathrobe tersebut, lalu memberikan Serena piyama tidur yang baru saja diambilnya. “Ini, pakai baju tidur kamu,” kata Erick hangat. Sesaat, Serena hanya menatapi wajah ganteng Erick dengan perasaan yang begitu tertegun kaget. Kedua matanya masih berair dan sedikit memerah. Benarkah ini? Apakah Erick benar-benar tidak jadi menyentuhnya? Dengan tangan sedikit gemetar, Serena akhirnya menerima piyama tidur pemberian Erick yang bahannya begitu halus itu. Serena langsung membulatkan kedua matanya saat tiba-tiba, tanpa diduga, Erick berlutut tepat di hadapannya. Erick menggenggam tangan Serena dengan genggaman jari-jari tangannya yang begitu halus, lalu menatap kedua mata Serena dalam-dalam, “Aku tidak mau melakukannya kalau kamu masih belum siap, Serena. Aku tidak mau memaksa kamu. Aku ..” Erick terdiam sejenak sebelum kembali bicara, “Aku ingin melakukannya dengan cinta, bukan dengan paksaan.” Kedua mata Serena tambah membulat. Serena merasa kaget bukan main. Telinganya tidak salah dengar kan? Apa tadi yang baru saja Erick katakan? Cinta? Serena baru mau membuka mulutnya untuk kembali bicara, namun Erick sudah keburu bangkit berdiri dan beranjak mencium dahinya sekilas. Erick menangkupkan wajah Serena dengan satu tangannya lalu tersenyum hangat, “Selamat malam, Serena.” Setelahnya, Erick langsung pergi meninggalkan Serena sendirian. Sambil menatap piyama tidur pemberian Erick yang masih ada dalam pangkuannya, Serena menghela napas panjang. Senyum hangat Erick yang terlihat begitu tulus namun menyiratkan perasaan sedih dan kecewa yang begitu mendalam itu masih terngiang-ngiang dalam pikiran Serena. Bukankah harusnya Serena bahagia jika Erick tak jadi menyentuhnya? Namun mengapa perasaannya malah berkata hal lain? Serena langsung menggelengkan kepalanya. Ya, tak peduli apapun yang terjadi, seharusnya Erick memang tidak menyentuhnya. Setelah selesai memakai piyama tidurnya dan menggantung bathrobe nya di luar lemari pakaiannya, Serena langsung beranjak naik ke ranjang empuknya. Dengan sigap, Serena membenamkan tubuhnya di bawah selimut tebal yang terasa begitu hangat. Kedua mata indahnya perlahan mulai terpejam. Rasa kantuk perlahan memenuhi dirinya. Serena sudah terlalu lelah, tak mau memikirkan hal itu lagi. ***** Erick Navarro menuang wine ke dalam gelas kacanya dengan ekspresi wajah yang begitu sulit untuk diartikan. Sudah hampir dua botol wine Erick habiskan sendirian. Satya, salah satu ajudan sekaligus tangan kanannya yang paling setia itu, sampai miris sendiri melihat betapa banyaknya wine yang diminum Erick. Ya, tak lama setelah keluar dari kamar tidur Serena, Erick langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa empuk di ruang tamunya lalu memutuskan meminum wine sebanyak mungkin. Erick butuh mengalihkan pikirannya sejenak. Bahkan Erick masih bisa merasakan bagaimana halusnya kulit Serena. Bibirnya yang terasa begitu manis. Gunung kembarnya yang begitu ranum itu .. Oh, semua masih terngiang-ngiang dalam benak Erick, membuat kepalanya pusing tujuh keliling bak orang yang tak henti-hentinya menaiki komidi putar. Erick Navarro sudah benar-benar dimabuk cinta. “Apa ada hal buruk yang sedang mengganggu pikiran tuan saat ini?” tanya Satya, yang saat ini sedang berdiri tepat di samping Erick sambil memegangi sebuah botol wine. Erick menggeleng, bohong. “Tidak. Aku cuman lagi pusing,” kata Erick setelah menenggak segelas wine nya. Satya terdiam sejenak sebelum kembali bicara, “Kalau saya boleh tau .. siapa perempuan muda itu, tuan?” “Bukan siapa-siapa,” bohong Erick sambil menuang wine ke dalam gelas kacanya lagi. ‘Hanya seorang perempuan yang sudah membuatku gila dan jatuh cinta,’ batin Erick miris. Satya menghela napas sejenak, lalu mengganti topik pembicaraannya, “Barusan Katherine menelepon saya.” Seketika dahi mulus Erick langsung mengkerut begitu mendengar nama Katherine disebut. Ya, Katherine Navarro, adik kandung sekaligus satu-satunya saudara kandung yang dimiliki Erick Navarro. Seorang perempuan muda nan cantik yang gaya hidupnya bak sosialita papan atas. Katherine memang sudah hampir dua tahun menempuh studinya di New York, tapi hampir setiap minggu selalu menghubungi kakaknya. Ya, buat apa lagi kalau bukan buat minta uang. Terkadang, Erick sampai kewalahan sendiri dibuatnya. Mungkin bagi Katherine, selain kakak, Erick juga dianggap sebagai mesin pencetak uang otomatis. “Minta uang lagi?” tanya Erick sambil memegangi pelipisnya yang mulai terasa sakit. Satya menggeleng, “Bukan, tuan. Katherine bilang lusa akan berkunjung ke sini.” Seketika, kepala Erick langsung terasa semakin sakit, “Aduh, mati aku ..” “Perlukah saya bilang kalau tuan sedang berada di luar kota?” tanya Satya yang mulai khawatir begitu melihat raut wajah Erick yang nampak begitu kesal dan pusing kewalahan di saat yang bersamaan. Maklum, Katherine Navarro memang tipe cewek yang boros. Mungkin uang lima puluh juta bisa Katherine habiskan dalam waktu tak sampai satu minggu. Erick menggeleng, “Tidak, tidak usah. Setelah terima transferan uang juga pasti dia langsung pergi.” Begitu selesai menenggak gelas wine nya yang terakhir, Erick langsung bangkit berdiri dari sofa empuknya, “Tolong rapihkan gelas-gelas ini, saya mau tidur dulu.” Satya mengangguk, “Baik. Selamat malam, tuan.” Erick langsung menghela napas panjang begitu memasuki kamar tidurnya yang dihiasi lampu remang-remang. Bahkan setelah mendengar kabar kalau adik perempuannya yang boros dan annoying itu mau datang berkunjung, pikiran Erick masih terus tertuju pada Serena. Sedang apakah Serena sekarang? Apakah mungkin sudah terlelap? Apakah Serena suka dengan kamar tidurnya? Dan lagi — apakah Serena juga memikirkan Erick, sebagaimana dirinya yang tak kunjung bisa berhenti memikirkannya? Dengan cekatan, Erick langsung menanggalkan seluruh pakaiannya lalu berjalan cepat menuju kamar mandi yang terletak di bagian pojok kamar tidurnya. Di bawah pancuran air shower yang dingin, Erick mulai menyentuh dan memainkan batang keperkasaannya sendiri, yang sudah berdiri begitu tegak bahkan sejak kedua matanya menatap gundukan ranum milik Serena tadi. “Oh, Serena ..,” desah Erick sambil memejamkan kedua matanya. Napasnya kian memburu, jantungnya berdegup kian kencang. Sambil menutup kedua matanya, Erick terus membayangkan wajah dan tubuh Serena. Membayangkan bagaimana rasanya memasuki Serena. Membayangkan kalau saat ini yang sedang menyentuhnya adalah Serena. Tak lama kemudian, Erick akhirnya mencapai puncak kenikmatannya. Erick langsung menghela napas panjang, lalu beralih mandi cepat seadanya. Begitu kelar mandi dan mengeringkan tubuhnya, Erick langsung mengenakan celana boxer hitamnya lalu membaringkan tubuhnya yang berotot dan terpahat sempurna itu di atas ranjangnya yang empuk. Perlahan, Erick mulai memejamkan kedua matanya. Berharap agar dalam alam mimpinya, Erick bisa mencumbu dan bercinta dengan Serena. Berharap agar suatu saat Serena juga bisa mencintai dirinya, sebagaimana dirinya mencintai Serena .. ❤❤TO BE CONTINUED❤❤
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD