Bagian 1
Aruna menyukai pagi yang sunyi. Ia menyukai bagaimana cahaya matahari menyelinap lewat sela gorden krem, menari pelan di meja makan yang penuh remah roti dari semalam. Dapur belum sepenuhnya rapi, dan itu tak mengganggunya. Ia duduk di kursi rotan, menatap uap tipis yang naik dari cangkir tehnya.
Raka belum bangun. Atau mungkin masih berkutat dengan dunia pekerjaannya di ruang kerja kecil mereka yang beraroma kopi basi dan kabel berserakan. Lelaki itu memang bukan tipe romantis, tapi selalu memastikan dua hal: Aruna sarapan dan rumah tidak kekurangan tisu dapur.
“Aku gak paham kenapa tisu bisa segitu pentingnya buat kamu,” ujar Aruna dulu, sambil tertawa.
“Karena kamu pelupa dan sering numpahin kopi,” jawab Raka santai, tanpa menoleh dari laptopnya.
Itu dulu—saat obrolan kecil seperti itu terasa seperti belanja kebahagiaan harian. Sekarang, segalanya sedikit berubah. Aruna merasakan jarak yang tak kasat mata, meski mereka tinggal di rumah yang sama dan tidur di ranjang yang sama. Bukan karena cinta mereka memudar, tapi mungkin karena rutinitas yang terlalu cepat berubah jadi kebiasaan.
Pintu ruang kerja terbuka. Raka muncul dengan kacamata bertengger di ujung hidung, rambut berantakan seperti biasa. Ia bukan pria tampan seperti di drama televisi, tapi Aruna tahu, lelaki ini tahu cara mencintai dengan tenang—dan itu jauh lebih penting.
“Udah bikin teh?” tanyanya sambil duduk di seberangnya.
Aruna mengangguk. “Tapi kamu telat. Udah keburu gak panas.”
Raka mengambil cangkir itu dan meniup permukaannya pelan, seperti kebiasaan lama. “Panas itu urusan nanti. Yang penting, ada kamu dan teh di pagi hari.”
Kalimat itu seharusnya membuat Aruna tersenyum. Tapi pagi ini, ia hanya menatap ke luar jendela. Ada hal yang tak bisa ia namai—perasaan kosong yang mulai merayap tanpa permisi.
“Raka…”
“Hm?”
“Kalau suatu hari aku lupa semuanya, kamu bakal ngapain?”
Raka menoleh. Dahi berkerut, senyum hilang digantikan keheningan.
“Aku bakal bikin kamu jatuh cinta lagi. Berkali-kali, sampai kamu bosan,” katanya akhirnya.
Aruna tertawa kecil, tidak tahu bahwa kelak, kalimat itu bukan lagi candaan.
Aruna menatap wajah Raka yang kini kembali tenggelam dalam layar ponselnya. Tak ada lagi percakapan, hanya denting sendok kecil menyentuh dinding cangkir dan sesekali tarikan napas dari seseorang yang terlalu lelah untuk bicara.
Sudah tiga bulan terakhir, pagi mereka berjalan seperti ini. Tidak ada pertengkaran, tidak ada tangis, hanya keheningan yang perlahan menjauhkan mereka satu sama lain. Mereka baik-baik saja, tetapi juga tidak benar-benar dekat.
“Raka,” panggilnya lagi.
Pria itu menoleh setengah. “Hm?”
“Kamu libur akhir pekan ini?”
“Kayaknya enggak. Ada revisi tender, terus tim audit juga mau masuk Senin.”
Aruna mengangguk pelan. Ia sudah bisa menebak jawabannya, tapi tetap ingin bertanya. Mungkin berharap jawaban itu berbeda. Mungkin hanya ingin memastikan dirinya masih peduli.
Ia menyesap tehnya perlahan. Suam. Hambar.
“Kamu capek?” tanya Raka tiba-tiba.
“Enggak.”
“Kamu beda hari ini.”
Aruna mengangkat bahu. “Mungkin cuma bosan.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka.
Raka berdiri dan mengambil jasnya dari sandaran kursi. Ia menatap Aruna sejenak sebelum berkata, “Kalau kamu bosan, nanti kita atur liburan, ya. Ke mana pun kamu mau.”
Aruna tersenyum kecil. “Janji?”
“Janji.”
Raka mengecup keningnya singkat—sebuah rutinitas yang tak pernah terlewat, meski terkadang tanpa rasa. Kemudian ia pergi, meninggalkan aroma parfum maskulin yang bercampur kopi dan pagi yang menggantung di udara.
Saat pintu tertutup, Aruna masih duduk di tempat yang sama. Menatap kursi kosong di seberangnya.
Ia mencintai lelaki itu. Tapi kenapa hatinya terasa sepi?
Ia tidak tahu bahwa waktu akan mengajarkan makna baru dari cinta: kehilangan, pengorbanan, dan memilih kembali—meski untuk orang yang sama.
Hari itu berlalu seperti biasa. Aruna membersihkan dapur, membalas beberapa email dari klien butik daringnya, lalu duduk di ruang tamu menonton ulang serial Korea yang sudah tiga kali ia tamatkan. Ia suka adegan-adegan manis yang terasa jauh dari kenyataan—tapi setidaknya menghibur.
Menjelang sore, ia menatap jam dinding. Sudah hampir pukul lima. Biasanya, Raka akan mengirim pesan singkat atau voice note, tapi hari ini ponselnya sepi. Tidak ada notifikasi masuk selain promosi toko roti dekat rumah yang katanya sedang diskon besar.
Ia tidak ingin mengganggu. Raka bisa sangat serius saat bekerja. Tapi ada suara di dalam dirinya yang mendesak—entah rindu, entah cemas.
Tangannya sudah memegang ponsel ketika suara deru mesin motor tetangga mengalihkan perhatian. Ia menengok ke luar jendela. Langit berubah abu, seperti menyembunyikan sesuatu.
Hujan turun pelan saat Aruna akhirnya memutuskan keluar rumah. Ia berniat ke minimarket, hanya untuk membeli sabun mandi, tapi dalam hati ia tahu—ia hanya butuh alasan untuk keluar. Untuk mengusir sepi.
Ia mengenakan mantel tipis dan membawa payung lipat. Jalanan basah dan licin, tapi langkahnya ringan. Ia menyukai suara hujan yang menabrak daun-daun, aroma tanah yang menyeruak dari sela trotoar. Dunia terasa bersih. Hampa, tapi bersih.
Di pertigaan, sebuah mobil melaju terlalu cepat. Aruna berhenti sejenak, melihat ke arah suara itu. Semua terjadi begitu cepat—terlalu cepat.
Kilatan lampu. Bunyi rem yang melengking. Suara teriakan seseorang. Dan lalu—
gelap.
Aruna syok saat ini tubuhnya sudah terkapar di aspal, tubuhnya lemas dan hawa ngantuk menguasai dirinya. Satu kata yang terucap sebelum pingsan.
“suamiku.”
❤️❤️❤️
Hujan belum reda saat ponsel Raka bergetar di atas meja kerjanya. Lampu kantor sudah sebagian dimatikan, menyisakan ruang remang yang hanya diterangi layar laptop. Di seberangnya, tumpukan berkas menanti, tapi pikirannya mulai melayang. Ia merasa lelah, tapi tidak tahu kenapa—seolah tubuhnya menolak tenang tanpa alasan.
Notifikasi pertama ia abaikan. Kedua, ia lirik sekilas.
Nomor tidak dikenal.
Biasanya, ia tidak akan peduli. Tapi ada sesuatu yang membuat jemarinya bergerak cepat membuka layar.
“Permisi, ini dari RS Siloam Balikpapan. Apakah ini benar dengan Bapak Raka Adinata?”
“Kami ingin menginformasikan bahwa ada pasien wanita atas nama Aruna Devi yang baru saja masuk UGD karena kecelakaan lalu lintas. Kami mohon Anda segera datang.”
Raka membeku. Detik itu, suara hujan seperti hilang dari dunia.
Ponselnya hampir jatuh saat ia berdiri terburu-buru, kunci mobil diambil tanpa sadar, dan langkahnya nyaris berlari meninggalkan ruang kantor. Ia tidak peduli pada berkas, laptop, atau jam kerja. Yang ada hanya satu: Aruna.
Aruna.
Nama itu berputar di kepalanya. Terngiang. Menikam.
Mobil melaju menembus deras hujan, wiper bergerak panik di kaca depan. Lampu-lampu jalan terlihat buram, jalanan basah memantulkan cahaya yang menyilaukan mata. Tapi Raka tidak berhenti. Tidak bisa.
Pikirannya dipenuhi kemungkinan terburuk. Kecelakaan. Rumah sakit. UGD. Kata-kata itu menghantam dadanya satu per satu.
“Apa kamu baik-baik saja?” bisiknya sendiri.
“Apa kamu lihat jalan?”
“Kamu pasti ketakutan, ya...”
Tangannya mencengkeram kemudi begitu kuat sampai buku jarinya memutih. Ia mencoba bernapas tenang, tapi seluruh tubuhnya menolak. Perasaan takut itu begitu nyata. Bukan ketakutan kehilangan nyawa—tapi kehilangan sosok yang selama ini diam-diam menjadi pusat dunianya.
Sesampainya di rumah sakit, ia nyaris tak merasakan hujan yang mengguyur tubuhnya saat keluar dari mobil. Ia berlari ke dalam, mencari UGD, jantungnya berdegup begitu cepat hingga nyaris menyakitkan.
“Maaf, saya mencari pasien atas nama Aruna Devi. Dia dibawa ke sini karena kecelakaan!” katanya nyaris berteriak pada resepsionis.
Petugas itu langsung berdiri. “Tunggu sebentar, Pak. Silakan duduk dulu.”
“Tolong... jangan suruh saya duduk! Di mana istri saya?”
Seorang dokter muda datang menghampiri, wajahnya tenang tapi penuh simpati. “Bapak Raka Adinata?”
“Iya. Saya suaminya. Aruna di mana?”
“Ikuti saya. Kondisinya stabil, tapi ia masih belum sadar. Kami sudah lakukan CT Scan, dan—”
Raka berhenti berjalan. “CT Scan?”
“Ada benturan di kepala. Tidak parah, tapi cukup untuk menyebabkan gegar ringan.”
“Gegar otak?”
“Kami belum bisa pastikan seberapa besar dampaknya, Pak. Tapi kami akan pantau terus. Untuk saat ini, izinkan dia istirahat dan tunggu hingga sadar.”
Dokter itu mempersilakan Raka masuk ke ruang observasi.
Dan di sanalah dia melihatnya—Aruna.
Berbaring lemah dengan infus di tangan, oksigen di hidung, dan perban kecil di pelipis.
Wajah itu masih wajah yang sama. Tapi sangat berbeda saat mata itu terpejam.
Raka mendekat perlahan, lututnya gemetar. Ia duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan istrinya yang terasa dingin.
“Sayang... aku di sini.”
Ia mengecup tangan Aruna dengan bibir yang bergetar.
“Kamu gak boleh ninggalin aku. Kita belum sempat liburan. Kamu bahkan belum nyoba naik balon udara di Cappadocia, ingat? Dan... aku belum sempat bilang betapa aku sayang kamu. Tolong bangun…”
Tidak ada jawaban.
Hanya suara mesin pemantau detak jantung yang terus berbunyi pelan dan teratur.
Dan hujan yang masih jatuh, seperti langit pun ikut menangis.