Pernikahan Sandiwara

1754 Words
"Halo, iya, Pak. Maaf banget, ya, Pak. Tadi pagi aku ke sana tapi aku terlibat kecelakaan, aku mohon kasih aku kesempatan lagi, ya, Pak," kata Sishi dengan suara berbisik, ia tidak ingin pembicaraannya dengan seseorang di ujung telepon sana di dengar oleh orang lain. "Kamu tau kan kalau ini kesempatan bagus buat kamu, tapi malah kamu sia-siakan!" sembur seorang lelaki yang menelepon hanya untuk meluahkan emosinya. "Iya, Pak aku tau aku salah. Tapi kesempatan itu masih ada kan?" tanya Sishi dengan suara penuh harap, gadis itu sungguh tidak ingin mendengar jawaban yang tidak ia harapkan. "Enggak bisa, udah di ambil orang lain. Kita udah dapet yang cocok," jawab lelaki itu membuat Sishi melenguh kecewa, terasa hancur sudah segala impiannya dan itu gara-gara lelaki menyebalkan bernama Adrian itu. "Tapi kita butuh satu figuran lagi, kalau kamu mau kamu bisa datang ke kantor besok sore," sambung lelaki itu, sesaat Sishi terdiam tetapi menurutnya itu lebih baik dari pada benar benar kehilangan kesempatan mencapai impiannya. "Iya, Pak, besok sore aku ke kantor. Aku janji," jawab Sishi penuh semangat. "Sebaiknya begitu, karena bisa jadi ini kesempatan terakhir kamu," kata lelaki yang sudah dengan susah payah Sishi dapatkan nomer teleponnya itu, berhari hari gadis itu stalking beberapa akun media sosial untuk mencari nomer telepon asli sang pencari bakat sebuah agensi ternama itu. "Iya, Pak, aku janji. Aku enggak akan bikin Bapak kecewa lagi," kata Sishi sebelum lelaki di ujung telepon sana mematikan teleponnya. Sishi keluar dari bilik kamar mandi tanpa sedikit pun menekan tombol flush pada water closed yang ia duduki karena dirinya memasuki bilik toilet hanya untuk menerima telepon, hal yang sangat di larang saat jam pelajaran tengah berlangsung. "Sishi ... Sishi! Shizuka Davina, udah tadi pagi telat masuk kelas karena terlibat skandal mobil goyang, sekarang ketauan ngumpet di toilet karena sibuk telponan. untung aku temen kamu, coba kalau bukan udah aku aduin kamu sama Bu Tut!" kata Seorang gadis yang lalu merangkul bahu Sishi dengan akrab itu. "Kamu ngapain sih, Din, sengaja ngikutin aku? Mau nguping?" tanya Sishi, kedua gadis itu lalu berjalan keluar dari toilet wanita itu untuk kembali ke kelas dan mengikuti kegiatan belajar yang belum usai. "Aku tau kamu enggak baik baik aja, aku takut kamu bunuh diri makanya aku ikutin kamu," jawab Dini sang sahabat, tetapi Sishi malah menatapnya dengan tatapan protes. "Nggak mungkin lah aku bunuh diri! gila kamu, ya! Yah walaupun aku sebel banget gara-gara Om-om si anak Mama itu aku jadi kehilangan kesempatan buat dapet peran bagus!" gerutu Sishi yang masih begitu kesal. "Udah, sabar, ini rintangan yang harus kamu hadapi. Seorang bintang besar emang harus mendapat rintangan terjal sebelum bisa bersinar di langit," kata Dini sambil mengelus bahu Sishi, gadis itu tersenyum menatap sang sahabat. Satu-satunya orang yang memberinya dukungan untuk meraih impian menjadi seorang selebriti. *** "Kita langsung berangkat aja, pake mobil kamu," kata Karin yang baru saja turun dari mobilnya setelah seharian sibuk bekerja, Adrian yang berdiri di samping mobilnya sambil memasukkan kedua tangan di saku celana hanya menatapnya. Seorang istri yang tidak pernah menganggapnya seorang suami, sama seperti dirinya yang merasa tidak memiliki seorang istri meski mereka telah menikah selama berbulan bulan. "Kamu kenapa enggak nolongin aku tadi pagi?" tanya Adrian membahas kejadian di sekolah tadi pagi, Karin yang sudah hampir memasuki mobil Adrian kembali menatapnya. "Kamu mau bikin aku malu? Aku kesana mau ngisi seminar tentang bahaya seks bebas, bukan anjuran melakukan seks bebas. Apa kata anak anak kalau mereka tau yang berbuat m***m di dalem mobil suami aku?" jawab Karin dengan suara datarnya, Karin adalah seorang wanita independen, tidak ada dalam kamusnya melembutkan suara pada laki laki meski dia adalah suaminya sendiri. "Aku enggak berbuat m***m!" jawab Adrian tidak terima di sebut demikian. "Whatever lah! kamu juga udah bisa nyelesein masalah itu sendiri ngapain di bahas lagi, sih! Yang harus kita bahas itu masalah orang tua kamu, kenapa mereka manggil kita?" kata Karin sambil menatap Adrian yang lalu berjalan menuju pintu mobilnya. "Ya apa lagi, pasti buat bahas soal ramuan itu," jawab Adrian, mereka berdua memasuki mobil lalu sama-sama menghela napas berat. Keduanya tidak saling berbicara lagi hingga sampai ke rumah orang tua Adrian. *** "Karin, apa kabar, Nak?" Bu Sukma menyambut sang menantu dengan pelukan hangatnya lalu begitu juga dengan Pak Wibowo yang menyambut sang putra kesayangan dengan pelukan. Namun, wanita itu mendelik kesal saat Adrian hendak memeluknya. "Udah, biarin aja ntar kalau keselnya ilang juga baik lagi," bisik Pak Wibowo pada sang putra, "emangnya Mama kamu enggak capek seharian ini udah ngomel terus." "Kita makan, yuk, Mama udah masak," ajak Bu Sukma pada sang menantu, kedua lelaki yang ada di ruangan itu mengikuti langkah mereka ke ruang makan, aroma lezat makanan yang Bu Sukma masak menguar. "Adrian mau jelasin sesuatu?" kata Bu Sukma, sebuah hal yang akan dia tanyakan saat sang putra melakukan sebuah kesalahan. "Jelasin apa sih, Ma?" tanya Adrian pelan lelaki itu masih berusaha membohongi sang ibu. "Kamu masih mau ngelak?" tanya Bu Sukma dengan suara meninggi membuat Karin terkejut karena semenjak manjadi menantunya baru kali ini dia melihat Bu Sukma marah. "Kamu juga Karin, kenapa kamu dukung suami kamu buat bohongin Mama. Mama kecewa sama kalian," kata Bu Sukma sambil menatap sang menantu membuat wanita itu tidak bisa berkata apa apa karena memang dia tidak tahu apa yang sedang terjadi hingga yang wanita itu lakukan hanyalah menendang kaki Adrian di bawah meja meminta lelaki itu menjelaskan. "Aku enggak maksud bohongin Mama, aku cuma enggak mau Mama ngerasa enggak tenang. Tadi pagi Karin ada seminar di sekolahan SMA aku susulin dia buat ngasih ramuan itu tapi enggak sangaja aku tabrakan sama orang dan ramuan itu tumpah, terus aku punya ide buat minta tolong dia pura pura jadi Karin dan foto tangannya. Biar Mama yakin kalau Karin udah minum ramuan itu dan Mama tenang," kata Adrian menjelaskan meski tidak semuanya yang terjadi tadi pagi. "Iya, Mah, Karin juga udah mulai seminarnya pas kejadian itu jadi Karin biarin aja Mas Adrian. Karin minta maaf ya," kata Karin mengalah meminta maaf karena tidak ingin masalah itu menjadi panjang. "Tuh kan, Mah, apa Papa bilang. Semua yang Adrian lakukan itu pasti tujuannya baik," kata Pak Wibowo yang memang selalu membela anaknya. "Ya udah deh, kali ini Mama maafin. Lagi pula ramuan itu juga masih banyak, nanti kalian minum, terus kalian bawa pulang juga buat minum di rumah," kata Bu Sukma, Adrian dan Karin saling pandang dalam diam. "Mah, kok, Mama bisa tau sih itu bukan tangan Karin?" tanya Adrian pada sang ibu di sela makan malam mereka, sontak Karin mendelik padanya memberi kode agar tidak lagi membahas hal itu sedangkan Adrian merasa begitu penasaran karena menurutnya semua tangan wanita sama mengapa sang ibu bisa mengetahuinya. "Kamu itu kapan sih bisa perhatiannya? Masa begitu aja kamu tanya, tangan di foto itu enggak ada tai lalatnya, tangan istri kamu kan ada. Jangan jangan tangan istri sendiri juga enggak kamu perhatikan?" kata Bu Sukma membuat Adrian kesulitan menelan makanannya dan Karin sebal merasa lelaki itu membawa mereka dalam masalah baru. Adrian melirik tangan Karin yang sedang menyuap makanan dan benar saja ada sebuah tahi lalat di dekat ibu jarinya. "Iya, aku enggak kepikiran soal itu," jawab Adrian sambil terkekeh. Bisa bisanya sang ibu memperhatikan Karin sampai sedetail itu sedangkan dia sendiri tidak pernah tahu. Bu Sukma benar benar mengambilkan dua gelas besar ramuan yang sudah ia buat untuk di minum oleh Adrian dan Karin usai makan malam, wanita itu bahkan menunggui mereka untuk melihat mereka minum, mau tidak mau sepasang suami istri itu meminum habis isi gelas itu. "Mah, apa menurut Mama ini enggak berlebihan? mereka baru enam bulan nikah loh," kata Pak Wibowo setelah melihat anak dan menantunya bersusah payah meminum habis ramuan itu. "Enam bulan tuh lama loh, Pah. Dulu kita nikah langsung punya Adrian. Jeng Santi juga katanya kosong cuma sebulan langsung punya Karin," jawab Bu Sukma yang memang begitu dekat dengan besannya meski mereka tinggal berbeda kota. "Ya semua orang enggak harus sama Mah," sahut Pak Wibowo meminta sang istri untuk mengerti. "Iya, tapi pokoknya mereka harus usaha ekstra, Papah tau sendiri usia mereka sekarang berapa? Begini kan kalau pada keasikan kerja—." "Mah, kita pamit pulang dulu, ya, katanya harus usaha," kata Adrian yang tidak ingin mendengar ucapan sang ibu merembet kemana-mana sedangkan Karin melotot mendengarnya. "Iya, sana cepetan pulang. Jangan lupa itu botol ramuan dibawa terus diminum besok pagi!" Karin menutup pintu mobil dengan cukup keras lalu menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi, Adrian hanya diam melajukan mobil meninggal halaman rumah orang tuanya. "Aku pikir dengan nurutin kemauan Mama sama Papa buat nikah, masalah bakalan selesai! ternyata makin runyam!" Omel Karin merutuki nasibnya, baginya menikah, berumah tangga dan memiliki anak tidak pernah menjadi cita-cita hanya tekanan dan orang tua yang membuatnya melakukan hal itu. Adrian hanya tertawa sumbang mendengarnya karena dia merasakan hal yang sama. "Mereka enggak akan pernah berhenti sebelum kemauan mereka punya cucu terpenuhi, gimana kalau kita punya anak aja?" tanya Adrian, spontan kedua mata Karin nyaris melompat dari tempatnya. "Gila kamu, ya, punya suami aja udah merepotkan apalagi punya anak! Aku enggak akan pernah mau," jawab Karin dengan sepenuh hati, "atau ... itu cuma akal-akalan kamu aja biar bisa nyentuh aku?" Adrian malah tertawa mendengar kalimat terakhir Karin, "aku tuh bisa nyentuh wanita mana aja yang aku mau, artis-artis di bawah management aku juga banyak yang dengan senang hati menyerahkan diri sama aku, buat apa aku nyentuh kamu yang enggak mau?" Karin hanya diam, memang mereka berdua menyepakati sebuah hal sebelum menikah bahwa mereka tidak akan mencampuri kehidupan masing-masing, termasuk soal kehidupan seksualitas. Bagi mereka berdua, pernikahan mereka tidak lebih dari sebuah sandiwara. Dan khususnya bagi Karin, menikah dengan Adrian adalah upaya untuk menghilangkan lebel perawan tua yang melekat pada dirinya yang membuat kedua orang tuanya merasa malu, maklumlah mereka tinggal di desa. "Maksud aku kamu pura-pura aja hamil, terus nanti kita adopsi anak dari panti asuhan," sambung Adrian memperjelas maksudnya, Karin malah berdecak sebal, "kamu kan pengacara pasti gampanglah ngurus adobsinya. "Justru karena aku pengacara, aku tau gimana ribetnya hal itu. Lagian yang bikin aku enggak pengen punya anak tuh ngurusnya, kamu pikir punya anak cukup hanya dengan hamil dan ngelahirin aja!" kata Karin, Adrian hanya menggedikkan bahunya, "lagi pula kalau nurutin kemauan orang lain tuh enggak ada habisnya, pertama mereka nyuruh aku nikah, terus nyuruh aku punya anak, nanti kalau aku udah punya anak satu mereka minta aku punya anak dua, dan seterusnya." "Jadi ya udah, kita jalani aja begini. Sampe suatu saat mereka enggak menggebu-gebu lagi dan kita bisa pisah," sambung Karin, Adrian hanya mengangguk setuju karena ini bukan pertama kali mereka membicarakan hal itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD