Kabar Buruk Bagi Tobias

1099 Words
Alea dan Rendra sampai rumah subuh, saat adzan menggema dimana – mana. Lelaki itu membawa tas ransel Alea dan membawanya hingga depan pintu. “Aku harus ketemu orang tuamu.” “Orang tuaku sudah meninggal. Omku lagi kerja di luar kota. Aku belum tahu kapan pulangnya.” Rendra memandang Alea dengan perasaan kasihan. Matanya bahkan berkaca – kaca saat memandangnya namun ia mengusap matanya dengan dua ibu jari untuk menutupinya. Alea mengernyit, memandang Rendra yang sedang mengusap matanya. Ia bisa merasakan kalau lelaki itu merasa kasihan kepadanya. Padahal ia sendiri sudah lupa seperti apa rasanya hidup bersama orang tua. Beberapa kenangan memang masih ada di ingatannya, terutama saat mamanya sakit dan ia harus merawatnya sendirian. Lalu saat kritis dan meninggal, ia masih ingat bagaimana histerisnya saat itu. Lebih buruk lagi, setelah mamanya meninggal. Ia harus tinggal dengan paman dan bibi dari pihak papanya. Selama beberapa bulan, hidupnya sangat buruk. Paman dan bibinya hanya menginginkan harta. Tetapi setelah tahu harta orang tuanya tidak bisa diambil, ia mengalami siksaan yang luar biasa. Alea menggeleng keras, membuang kenangan buruk masa kecil yang sulit dihilangkan. Membuatnya trauma pada kegelapan, petir dan suara guntur. “Apa kamu baik – baik saja?” tanya Rendra, membuat Alea tersadar dan segera mengulas senyum. “Aku nggak papa. Senang bisa pergi sama kamu. Next time kita pergi lagi ya.” “Tentu saja. Aku harus ke rumah sakit sekarang. Kamu masuklah. Aku akan pergi setelah mendengar suara pintu terkunci.” Kedua mata Alea melebar. Lelaki itu sangat perhatian sekali bahkan untuk hal sekecil ini. Ia menurut saja dan segera masuk ke rumah. Rendra akhirnya melangkah menjauh setelah mendengar suara pintu terkunci. Alea memandang lelaki itu pergi dari balik kaca jendelanya. Entah mengapa tiba – tiba ia teringat lelaki dari masa lalunya. Tidak mungkin dia, karena Alea memutuskan untuk menutup semua akses dengan orang – orang yang ada di masa lalunya. Ia hanya ingin kehidupan baru bersama omnya. Ah, teringat hal itu, ia segera menghubungi Matias. “Halo, Om. Kapan Om pulang,” ujarnya begitu telepon tersambung. “Besok, Sayang. Maafin Om ya.” “Kok besok sih. Aku kesana ya, Om. BTW emang Om lagi dimana sih?” “Om lagi di Bali ini. Ada kerjaan penting disini.” “Aku kesana, ya.” “Besok kan, Om balik. Kapan – kapan saja kita ke Bali buat liburan.” Bibir Alea mengerucut, kecewa karena dilarang pergi menyusulnya. Padahal ke Bali dengan Matias pasti menyenangkan. Berjalan di tepi pantai memandang sunrise lalu menikmati makan malam di Jimbaran. Alea mengembuskan napas berat sambil melangkah menuju kamar Matias. Kerinduan membawanya ke tempat itu. Kamar Matias sangat sederhana dengan sentuhan jayu jati yang membuat suasana kamar begitu terasa damai. Ada rak buku di seberang ranjang. Matias sangat menyukai buku dan sewaktu kecil, Alea juga sangat menyukainya. Hanya saja ada satu orang lagi yang juga suka buku, yang setiap kali teringat padanya, Alea tak ingin mengikuti jejaknya. Lelaki yang dulu sangat ia sayangi. Cinta pertamanya namun sekaligus orang pertama yang ia benci. Tiba – tiba saja Alea menangis, masa lalu yang buruk membuatnya tertekan. Bayang – bayang itu selalu datang saat ia sendirian apalagi jika ada sesuatu yang mengingatkannya, seperti yang dilakukan Rendra tadi. Alea bersandar di tepi ranjang, menyandarkan punggungnya sambil memeluk kedua kakinya. Tenggelam dalam kenangannya, tangis tak bisa dicegah. Perasaan down yang membuatnya mengasihi dirinya sendiri. Alea membiarkan tangisnya pecah dan sesaat membiarkan dirinya mengasihani dirinya sendiri. Jika sudah puas, ia akan kembali bangkit. Namun saat teringat uangnya tinggal sejuta, tangisnya kembali pecah. Astaga! Alea membuka mata dengan posisi miring. Entah sejak kapan ia telah tertidur dan entah berapa jam ia tertidur. Tapi hari sudah sangat siang saat ia terbangun. Hal pertama yang ia lakukan adalah mengecek pesan – pesan yang muncul di gawainya. Salah satu chat datang dari Rendra yang mengabarkan kalau papanya Tobias telah meninggal dunia. Tanpa pikir panjang ia meminta alamat tempat tinggal Tobias untuk berbela sungkawa. Meskipun lelaki itu pelit dan menjengkelkan, tetapi ia tak bisa cuek saat mendengar bahwa salah satu orang tua lelaki itu meninggal dunia. Ia pernah merasakan betapa sakitnya sebuah kehilangan dan ia berkewajiban datang untuk mengungkapkan rasa bela sungkawa sekalipun tak berharap akan diterima dengan baik. “Andai aku punya uang seratus lima juta, aku bakal baliki duit itu secepatnya,” ujarnya dalam hati. Alea bersiap, mengenakan pakaian serba hitam serta kerudung hitam. Ia mengambil kunci Corolla Altis milik Matias. Dengan terpaksa menggunakan mobil sang om. Membawa mobil dengan hati – hati sambil mengikuti arahan dari suara perempuan yang merupakan pemandunya. Alea mengikuti panduan dari GPS hingga tiba di kawasan perumahan elit dengan tanda bendera kematian di depannya. Alea sempat menganga saat melihat rumah mewah dengan arsitektur ala Yunani. Pilar – pilar besar dengan ukiran – ukiran khas berwarna putih serta deretan mobil mewah yang berjajar di depannya. Alea yakin papa Tobias orang yang sukses dilihat dari kendaraan para pelayat yang datang. Alea memarkirkan mobilnya di depan pagar rumah Tobias. Ia melangkah masuk sambil memandang beberapa pria yang mengenakan peci, kemeja, celana bahkan sepatu hitam. Sudah jelas mereka bukan pelayat akan tetapi para bodyguard yang disewa untuk mengamankan tempat ini. Apa papa Tobias seorang Jenderal sampai harus dijaga ketat, batin Alea. Saat hendak masuk, salah satu dari lelaki berbadan besar itu memeriksa kartu identitas setiap orang yang datang. Membuat Alea harus ikut dalam barisan sebelum bisa masuk ke rumah mereka. Sebuah pengamanan yang baru sekali ini ia ketahui. Saat melangkah masuk ke pekarangan rumah Tobias. Sekali lagi Alea melongo melihat keindahan rumah itu. Taman yang indah dengan pot – pot besar dengan pohon yang tidak ia ketahui namanya, menghias di sepanjang jalan menuju teras. Rendra berada di depan teras, mempersilakan para pelayat untuk masuk dan saat melihat kedatangannya, lelaki itu segera mendekatinya. “Kamu datang? Kupikir kamu tidak akan datang, Alea.” “Aku harus datang. Dimana dia?” “Tobias ada di dalam. Ayo.” Rendra mengantarkannya untuk masuk bahkan mempertemukannya dengan Tobias. Lelaki itu sangat pucat dan tatapannya kosong. Duduk di dekat jenazah papanya yang masih disemayamkan, perasaan kasihan itu membuatnya menepuk pundak Tobias. Tobias hanya memandangnya sekilas masih dengan tatapan kosong. Sesaat Alea melihat air matanya jatuh namun segera dihapus dengan dua ibu jari, sama seperti yang dilakukan Rendra saat melihatnya dini hari tadi. “Sabar, Tobias.” Alea tak tahu kata – kata penghiburan seperti apa yang harus ia katakan selain satu kata klise itu. “Terima kasih,” jawabnya lemah, sungguh tidak seperti Tobias yang biasanya. Tobias berdiri lalu melangkah menjauh dengan langkah lemah. Hal itu mengingatkan Alea pada dirinya sendiri saat kehilangan sang ibu. Alih – alih ingin sendirian, Alea tahu saat ini Tobias membutuhkan seseorang dan karena dorongan hati itu, Alea mengikuti langkah Tobias. Bagaimana kelanjutannya, ikuti terus ya….                                    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD