Chapter 02

1407 Words
Joseon, 1423. Di musim dingin yang membekukan alam, sama persis dengan keadaan tujuh belas tahun yang lalu. Salju-salju yang berjatuhan dari langit dan menyelimuti bumi, udara dingin yang membekukan genangan air. Sepasang kaki menyusuri jalan setapak yang hampir tertutupi oleh salju. Berlindung di balik jubah bulu yang menyapu salju di bawah kakinya, Cenayang Kim, wanita yang kini telah berada pada usia lima puluh tahunan itu hampir tak berubah sama sekali. Tetap secantik dulu, meski terdapat beberapa keriput yang kini menghiasi paras cantiknya. Berjalan seorang diri menyusuri jalan setapak di tengah hutan, seakan dinginnya udara saat itu tak mampu menghentikan niatnya untuk terus berjalan. Langkah kecilnya yang begitu tenang itu mengarah ke dataran yang lebih tinggi. Rambut hitam legam yang menutupi bahunya terkena beberapa salju yang turun dari langit. Sesekali terlihat kepulan asap yang keluar dari mulutnya, namun seakan mati rasa, wajah itu terlihat begitu tenang. Tatapan mata yang dalam itu masih sama. Begitu lembut dan memikat, namun bisa menjatuhkan seseorang ke dalam kegelapan. Mengakhiri perjalanan musim dinginnya. Cenayang Kim memasuki halaman sebuah gubuk di tengah hutan, di mana tak ada satupun rumah penduduk di sekitar sana. Langkah itu tanpa ragu menaiki tangga kayu yang tampak sudah rusak. Jemarinya yang terlihat memerah karena udara dingin di sana lantas terangkat untuk membuka pintu gubuk itu. Suara pintu berdecit menunjukkan seberapa tuanya bangunan sederhana itu. Dan kedatangannya kala itu berhasil menarik perhatian dari seorang pemuda yang duduk di lantai dalam keadaan tangan yang terikat oleh rantai dan kaki yang terpasung. Jangan tanya bagaimana penampilan pemuda itu. Karena itu akan terdengar sangat menyedihkan. Netra yang sebelumnya terpejam itu perlahan terbuka. Pendengarannya menangkap suara langkah kaki Cenayang Kim yang datang mendekat dan hanya berselang detik telah berdiri di hadapannya. Pemuda itu menyeringai dengan netra bagian kiri yang tiba-tiba menggelap dan berwarna hitam pekat. Pemuda itu lantas mengangkat wajahnya dengan gerakan pelan dan tersenyum semakin lebar ketika mendapati wajah Cenayang Kim. Dengan sikap tenangnya yang kontras dengan tatapan tajamnya, Cenayang Kim lantas memberikan teguran pada pemuda itu, "harus berapa kali kukatakan padamu? Jangan tersenyum seperti itu di hadapanku, Kim Tae Hwa." Kim Tae Hwa, bayi laki-laki yang diambil oleh Cenayang Kim pada awal musim dingin tujuh belas tahun yang lalu. Bayi kecil itu kini telah tumbuh menjadi pemuda yang rupawan dan bahkan wajahnya yang kotor itu tak bisa menyembunyikan seberapa rupawannya pemuda itu. Namun sangat disayangkan karena dia harus berakhir dengan menghabiskan sisa hidupnya dalam pasungan. Semua bermula saat Cenayang Kim yang termakan ucapannya sendiri yang ia katakan pada pemuda bernama Chae Hyeong Won, tujuh belas tahun yang lalu. Pada kenyataannya ia tidak mampu menghadapi jiwa lain yang berbagi tubuh dengan bayi laki-laki itu. Dan yang saat ini dihadapkan padanya bukanlah putra asuhnya, Kim Tae Hwa. Melainkan jiwa lain yang berbagi kehidupan dengan pemuda itu. Tae Hwa berucap dengan suara yang terdengar lebih berat dari suara asli pemuda itu, "siapa Kim Tae Hwa? Bukankah kau sudah membuang putramu itu, Nenek tua?" "Kau masih sama seperti kemarin. Apa yang sebenarnya kau inginkan dari putraku?" Tae Hwa tertawa sinis. Namun suara tawa yang semula terdengar lirih itu semakin keras dan sampai membuat bahu pemuda itu berguncang. Netra gelap milik Cenayang Kim menunjukkan tatapan tak suka. Wanita itu lantas mendekat dan menjatuhkan satu lututnya di samping pemuda itu. Tawa itu terhenti, mengarahkan tatapan tajamnya pada Cenayang Kim. Dia kemudian berucap, "aku akan membunuhnya untukmu." Cenayang Kim tersenyum. Namun bukan senyum tulus, melainkan senyum yang mematikan. Dia kemudian berucap, "jika kau mampu, kenapa tidak kau lakukan sejak dulu?" Tae Hwa terkejut. Cenayang Kim melanjutkan, "ayo, bunuhlah putraku. Bunuhlah dia sekarang jika kau memang mampu untuk melakukan hal itu." Tae Hwa menggertakkan giginya dan bergumam penuh penekanan, "manusia rendahan!" "Kau sama rendahnya dengan kami. Kenapa kau marah? Kau tidak bisa membunuh putraku? Itukah sebabnya kau marah?" Dengan amarah yang tertahan, Tae Hwa menggerakkan tangannya untuk menyerang Cenayang Kim. Namun tepat saat tangannya hampir menyentuh Cenayang Kim, pergerakannya terhenti di udara seakan-akan ada yang menahannya. Tae Hwa tampak terkejut. Memandang tangannya sendiri. Saat itu Cenayang Kim tertawa pelan seakan ingin mengejek Tae Hwa dan kemudian semakin menyulut kemarahan pemuda itu. Cenayang Kim berucap, "kau melihatnya? Lihatlah baik-baik. Kau tidak akan bisa melukai siapapun karena putraku tidak akan mengizinkanmu." "k*****t kau!" Tae Hwa memberontak, namun saat itu pemuda itu justru berteriak histeris sembari mencengkram wajahnya sendiri. Menunduk dalam dan tampak kesakitan. Pemuda itu meracau, "tidak! Jangan lakukan ini … jangan lakukan ini, Bodoh! Manusia lemah sepertimu, aku akan membunuhmu, aku akan membunuhmu! Argh … tidak! Jangan … argh …" Tubuh itu semakin menuju ke lantai, dan setelah teriakan terakhirnya. Napas itu terdengar lebih berat dan memburu. Tangan yang sempat menutupi wajah lantas beralih pada kepala. Memberikan sedikit penekanan pada rasa sakit yang kembali menyergap. Melihat hal itu, Cenayang Kim lantas menegur dengan suara yang kembali melembut, "kau, kah itu, Kim Tae Hwa?" Tae Hwa tampak terkejut. Dengan cepat pemuda itu menegakkan tubuhnya dan memandang Cenayang Kim. Namun tepat saat itu ia bergerak sedikit menjauh dan tampak ketakutan. Berbeda dengan sikap agresif yang sebelumnya ia tunjukkan. Cenayang Kim tersenyum lembut ketika melihat netra kiri Tae Hwa yang sebelumnya menggelap, kini terlihat lebih jernih dan manusiawi. Dia kemudian menegur, "kenapa kau tidur terlalu lama, Nak?" Tae Hwa tak menjawab dan bahkan kehilangan keberanian untuk menatap netra gelap Cenayang Kim. Tangan kiri Cenayang Kim terangkat, hendak menyentuh wajah kotor Tae Hwa. Namun pemuda itu justru menghindar. Menolak kontak fisik dengan wanita yang ia panggil dengan sebutan 'Ibu asuh' itu. Namun entah kapan terakhir kali ia memanggil Cenayang Kim. Pemuda itu tidak lagi mengingatnya. Tangan Cenayang Kim lantas tertahan di udara. Senyum lembutnya tertarik dengan sempurna, membimbing telapak tangannya untuk mengusap pelan surai hitam yang tampak kusut itu. Saat itu pula, bahu Tae Hwa berguncang pelan. Dengan wajah yang tertunduk dalam, lagi-lagi pemuda itu menangis ketika sang ibu asuh datang berkunjung. Cenayang Kim menatap iba, meratapi nasib pemuda yang tak bisa ia selamatkan. Dia kemudian berucap, "untuk ke sekian kalinya, ibumu ini meminta maaf padamu … jangan membenciku. Aku tidak bisa menyelamatkanmu. Maka dari itu, selamatkanlah dirimu sendiri." Bahu itu berguncang semakin keras, begitupun dengan suara tangis pilu itu. Namun sayangnya seberapa keras pun suara tangis itu, orang yang mendengarnya tidak akan berani mendekat karena rumor yang telah beredar di kalangan penduduk di sekitar tempat itu. Waktu yang terus berjalan. Membawa butiran salju itu mulai menumpuk di halaman. Tangis pemuda itu tak lagi terdengar, begitupun Cenayang Kim yang telah berdiri di ambang pintu. Sekali lagi, wanita itu memandang pemuda malang itu untuk mengucapkan kalimat perpisahan. "Kim Tae Hwa, dengarkan ibumu berbicara. Setelah ini, kakakmu akan datang untuk merawatmu. Perlakukan dia dengan baik … ibu akan pergi sekarang." Cenayang Kim berbalik memunggungi Tae Hwa dan berjalan keluar. Tepat setelah pintu tertutup dari luar, pandangan pemuda itu mengarah pada pintu. Kelopak mata yang berkedip menuntun air mata kembali menuruni wajah kotornya. Pandangan itu lantas mengarah ke lantai. Lalu setelahnya ia berucap dengan suara lirih yang terdengar sedikit serak, "tunggu sebentar … jangan pergi. Apa salahku, ibu …" Pemuda itu kembali menangis. Di sisi lain, langkah Cenayang Kim terhenti di ujung halaman ketika ia dihadapkan dengan seorang wanita muda berparas cantik. Kim Ji Soo. Gadis kecil tujuh belas tahun yang lalu kini telah menjelma sebagai gadis muda berparas cantik layaknya seorang dewi. Wajah tenang namun dengan netra tajam yang terlihat dalam itu seakan tak ingin mengingkari bahwa dia adalah putri dari Cenayang Kim. Meski pada kenyataannya dia hanyalah seorang putri asuh. Ji Soo sejenak menundukkan kepalanya untuk memberi salam kepada sang ibu asuh. "Ibu asuh sudah ingin pergi?" Cenayang Kim tersenyum. "Jangan terlalu berbaik hati padanya. Kau tidak akan mampu menahannya." "Aku mengerti, aku akan selalu berhati-hati." "Masuklah, adikmu sudah menunggu." Cenayang Kim kembali melangkahkan kakinya. Melewati Ji Soo dan kemudian kembali berhenti setelah mendapatkan teguran dari putri asuhnya itu. "Ibu asuh akan kembali ke istana?" Cenayang Kim sedikit menoleh. Membiarkan ekor matanya menangkap sosok Ji Soo yang tengah memandangnya. Dia lantas berucap, "kau ingin melihatnya?" Ji Soo tampak bingung. "Apa yang Ibu asuh maksud?" "Istana, kau ingin melihat seperti apa tempat itu?" Ji Soo tampak kaget. Dengan cepat ia segera menundukkan kepalanya dan berucap, "tidak Ibu, aku tidak ingin pergi kemanapun." Cenayang Kim kembali tersenyum. Ia kemudian berucap, "baiklah kalau begitu, itu akan jauh lebih baik untukmu. Selamat tinggal, Ji Soo." Ji Soo menunduk lebih dalam untuk mengantarkan kepergian Cenayang Kim. Dan setelah wanita itu berjalan cukup jauh, Ji Soo mengangkat wajahnya. Memandang sang ibu asuh sebelum berbalik dan bergegas menuju gubuk untuk melakukan rutinitas hariannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD