Dengan Cara Apa?

1198 Words
Hal-hal yang Ratu khawatirkan, nyatanya tidak terjadi hari itu. Raja tidak mengusiknya sama sekali. Hari ini, lelaki itu lebih banyak berinteraksi dengan Nindy si sekretaris. Ratu bersyukur karena tidak dilibatkan apapun hari ini, dia hanya mengerjakan pekerjaan yang sempat tertunda kemarin dan sekarang adalah akhir jam kerja. Jika biasanya Ratu senang sekali setiap jam pulang tiba, kali ini tidak. Rumah yang biasanya menjadi tempat paling aman dan nyaman untuk melepas lelah, kini berubah menjadi tempat yang sangat ingin dia hindari. Tapi Ratu tidak punya pilihan lain. Menyedihkan. “Eh, beneran nggak jadi nih?” Desy yang sudah terlanjur bersemangat untuk merayakan pergantian atasan mereka, kembali bertanya memastikan pada Ratu. “Lo nggak usah risau soal duit, gue bayarin.” sambung Desy. “Gue aja yang traktir, kebetulan gue lagi senaaaang banget banget hari ini.” Tiba-tiba Nindy menimbrung pembicaraan mereka, padahal rencana mereka sore ini sama sekali tidak melibatkan Nindy. “Senang kenapa lo?” tanya Ratu melirik ke arah Nindy. “Ya senang aja. Bisa interaksi sama bos ganteng, dan yang paling penting…” Nindy menjeda kalimatnya lalu melirik ke sekitar, “Dia masih single!” gadis itu bersorak bahagia. Sedangkan Ratu mencibir. “Nggak penting banget infonya,” sahut Ratu. “Ya, buat lo pasti nggak penting lah. Lo kan udah punya pacar,” balas Nindy. Ratu hanya tersenyum kecut menanggapinya. “Ini, jadi nggak?” tanya Desy yang masih belum menyerah. “Gimana, ya?” Ratu masih mempertimbangkan. Mungkin, ada baiknya jika pergi saja, setidaknya sampai tengah malam agar sedikit terhindar dari Raja. “Ya udah ayo—bentar ya.” Ada panggilan di ponsel Ratu, dia langsung menghindari rekan-rekannya untuk menerima panggilan itu. “Sorry, gue nggak bisa.” Tiga menit kemudian gadis itu kembali dan memutuskan. “Yah…” keluh Desy. “Ya udah next time ya,” sahut Nindy. “Oke.” “Lo mau kemana?” tanya Desy. “Mau ke rumah Bunda.” Senyum sumringah terbit di bibir Ratu. “Tumben.” “Iya, soalnya udah lama banget nggak ketemu Bunda. Sekalian makan malam di sana.” Bunda yang Ratu maksud adalah ibu angkatnya, salah satu teman mamanya Ratu yang sudah meninggal bersamaan dengan sang papa, belasan tahun silam. Ratu kini seorang yatim piyatu, sebatang kara tanpa siapapun, kecuali keluarga angkatnya itu. “Ciye, yang mau ketemu tambatan hati.” “Ih, apa sih. Dia udah gue anggap kakak sendiri kok, nggak lebih.” wajah Ratu memerah mendengar ejekan Desy yang dia paham kemana arahnya. “Tapi kalian nggak ada hubungan darah, sah-sah aja kalau akhirnya kalian nikah.” Desy mengangkat bahunya. “Jodoh nggak ada yang tau, kan?” “Nggak mungkin lah, Kak Bian nggak pernah bersikap ke arah sana sama gue. Dia juga pasti cuma anggap gue adik.” Walau sebenarnya, Ratu sangat berharap ucapan Desy menjadi nyata. Tidak bisa dipungkiri, hidup bersama dan tinggal satu atap bersama sang Kakak angkat, Bian, dan sikap lelaki itu yang begitu baik juga hangat, membuat Ratu menaruh hati pada lelaki itu walau rasanya bagai pungguk merindukan bulan, alias tidak mungkin. “Kan gue bilang, siapa tau. Lagian dia juga masih jomlo kan?” “Iya… kayaknya sih gitu.” Meski akrab, Ratu sendiri tidak tahu bagaimana hubungan percintaan kakak angkatnya itu. Dia juga tidak mau tahu, karena nantinya akan sakit hati. “Kira-kira, kalau motor gue titip di parkiran sini sampai besok, aman nggak ya?” “Aman-aman aja sih, kan ada satpam. Kenapa? lo mau ninggalin motor lo demi dibonceng sama Bian?” “Ih nggak gitu!” sangkal Ratu. “Kebetulan kan kantornya Kak Bian searah, jadi dia mau jemput gue.” “Ehm. Pastikan jantung lo aman, ya?” sindir Desy. “Desy! apaan sih!” Ratu melirik ke sebuah ruangan kotak berukuran tiga kali tiga di pojok kanan, tidak ada tanda-tanda Raja akan keluar dari sana, dia merasa aman. “Ya udah yuk balik.” Ajak Desy. “Iya lo duluan, gue mau ke toilet.” Ratu membuka tasnya, mengambil cushion dan lipstiknya untuk touch up tipis-tipis di wajahnya. Bohong kalau Ratu tidak ingin berprnampilan menarik di hadapan kakak angkatnya, nyatanya sebelum ketemu lelaki itu, dia berdandan. “Kamu, ke ruangan saya!” tutup Lipstik yang sedang dipegang Ratu terjatuh karena gadis itu kaget akan suara yang bersumber dari depan pintu ruangan Ketua Divisi. Dua orang staf yang belum meninggalkan ruangan, sontak menoleh ke arah Ratu. “Pak Raja manggil gue ya?” tanya Ratu memastikan. “Tadi sih, dia nunjuknya ke arah lo,” sahut Mesya, salah satu staf di sana. Dia menutup cushion, lipstik dan kembali menyimpannya di dalam tas. Lalu berjalan menuju pintu ruangan itu. Semoga Raja tidak memanggilnya karena urusan pribadi, maksudnya, urusan pintu mobil yang tergores. Ratu salah mengira, dia pikir akan aman, ternyata tidak segampang itu dia jalani hari ini. “Selamat sore, Pak.” meski was-was, Ratu tetap berusaha bersikap waras, dia sadar Raja sudah jadi atasannya dan tetap menyapa lelaki itu dengan sopan. “Lo sengaja dandan sebelum masuk ke sini?!” sentak Raja, menatap Ratu dari ujung rambut hingga kaki. Memang benar tadi Ratu berdandan, tapi bukan karena akan masuk ke ruangan ini. “Tiap mau pulang, saya selalu begitu. Bukan karena mau masuk ke ruangan ini.” Ratu membela diri. “Oh pantas aja…” Raja menatap rendah pada Ratu. “Maksud Bapak?” “Nggak, nggak apa-apa.” “Maaf Pak, ada apa ya?” Sungguh, Ratu benci sekali harus berlama-lama di sini. Apalagi, dia sudah memiliki janji dengan Bian. Khawatir lelaki itu sudah tiba, tapi Ratu malah belum keluar dari gedung. “Lo masih nanya ada apa?” Ratu mengangguk polos. “Urusan mobil gue gimana? tadi bahasan itu belum kelar.” Nada bicara Raja menuntut jawaban. Lelaki itu berdiri dari kursinya, lalu menuju ke arah pintu dan memutar kuncinya sebanyak dua kali. “Kenapa dikunci?!” sentak Ratu panik. “Ya karena gue butuh jawaban pasti, lo bakalan ganti rugi atau…” Raja berdiri tepat di belakang Ratu, wajahnya didekatkan pada telinga Ratu, dan gadis itu dapat mendengar jelas embusan napasnya. “Jangan macam-macam ya Pak, atau saya teriak!” ancam Ratu, yang reflek menghindar, dia memutar tubuhnya lalu bersandar pada meja kerja. Tapi Raja malah tertawa mendengar ancamannya. “Iya… sa-saya ganti rugi, berapapun bakalan saya ganti.” Ratu tidak punya pilihan lain, daripada hidup dalam ancaman, dan sepertinya lelaki ini cukup berani dan kurang ajar, Ratu memilih mencari pinjaman untuk biaya ganti rugi mobil yang tergores. “Nah, gitu kan enak. Lo kelihatan bertanggung jawab. Oke, besok gue ke bengkel langganan. Nanti berapa biayanya gue kabarin—“ “Terus kalau saya harus bertanggung jawab untuk kesalahan saya yang itu, lantas gimana dengan Bapak?!” balas Ratu dengan emosi menggebu. “Maksud lo?” “Kejadian pagi tadi, bapak cium saya sembarangan, saya mau Bapak juga ganti rugi dan tanggung jawab! itu ciuman pertama saya!” Ratu balas menuntut. “Ganti rugi dengan cara?” Alis Raja terangkat, ketika bertanya. Sedangkan Ratu sendiri bingung harus menjawab apa. Apalagi mendapat tatapan intens seperti itu dari lelaki yang baru dikenalnya hari ini. Tidak, Ratu tidak mengenalnya, hanya sekadar tahu saja. “Dengan cara apa gue harus tanggung jawab?” tanya Raja sekali lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD