Chapter 21:

1509 Words
Setelah kejadian tangga berdarah itu, Raka dirawat di rumah sakit selama 2 minggu lamanya. Sedangkan Citra dimarahi habis-habisan oleh kedua orangtuanya dan sejak saat itu Citra sangat diawasi oleh kedua orangtuanya. Hari ini, tepatnya hari senin, Raka yang kemarin baru pulang dari rumah sakit kini berangkat sekolah. Raka tidak mengingat apapun. Devian yang selalu memperkenalkan orang-orang pada Raka setiap Raka bertanya penasaran. Chesa bersyukur karena Raka kini tidak lagi mendekatinya dan dia bisa bersekolah dengan tenang. Saat Chesa sedang membawa buku untuk diantar ke perpustakaan, tiba-tiba ada seseorang yang menabraknya. "Aduh, maaf." ucap Chesa tidak enak. Salahnya tidak melihat jalan dan melamun. Chesa berjongkok. Dengan cepat, dia mengambil buku yang berserakan. "Enggakpapa," Chesa terkesiap mendengar suara itu. Untuk memastikan, dia mendongak. Ternyata dugaannya benar. Nampak Raka yang sedang menatap Chesa kebingungan. Chesa berusaha untuk tidak menunjukkan ekspresi terkejutnya. Karena buku sudah tersusun rapih di kedua tangannya, Chesa segera berdiri dan meninggalkan Raka begitu saja. "Tunggu," Chesa terhenti. Dengan perlahan, dia menoleh ke belakang. Raka menghadap Chesa. "Nama lo siapa?" "Chesa," tak ingin Hana melihatnya sedang bersama Raka, dia berbalik badan dan melangkah cepat setelah menjawab singkat pertanyaan Raka. Mendadak kepala Raka merasa sakit. Sangat sakit ketika mendengar nama 'Chesa'. Semakin Raka berusaha mengingat, maka rasa sakitnya mendera semakin dahsyat pula. Raka memegangi kepalanya. Chesa yang melihatnya ingin menolong, akan tetapi ia takut Hana melihat. Gadis itu memilih untuk pergi. "Lo..." Raka tidak kuat berkata apapun lagi. Ia berjalan sembari menyentuh tembok untuk menjaga keseimbangannya. Semoga saja Raka tidak ingat sama sekali tentang Chesa. Gadis itu sangat takut jika ia diganggu lagi oleh Hana dan Keisha. Chesa awalnya lega, tapi entah kenapa dia merasa seperti ada yang kurang dalam hidupnya. Chesa rindu sikap Raka yang selalu mendekatinya. Lamunan Chesa seketika buyar. Nampak Hana yang sedang memegangkan tangannya. Dan untuk kesekian kali, lengan Chesa memerah. "Eitss, jangan pergi dulu. Gue mau ngomong." ujar Hana. "A-apa?" Chesa sudah menduga ia akan dibully lagi. Tapi dia berbuat salah apa? "Ikutin gue!" Koridor yang sepi. Hana berpaling ke belakang agar berhadapan dengan Chesa. "Lo tau Raka hilang ingatan kan?" Chesa mengangguk pelan. Kepalanya terus menunduk dan tak berani menatap Hana. "Jangan sekali-kali lo deketin dia. Kalau gue lihat lo lagi deketin Raka, gue enggak bakal biarin hidup lo tenang!" Chesa sudah menduga. Untuk kedua kalinya, ia mengangguk tanpa mengucapkan satu kata apapun. *** Hari sudah larut malam, namun Devian dan Raka masih belum tidur. Devian disibukkan bermain ponsel, sedangkan Raka sibuk memikirkan sesuatu. "Dev, kenapa setiap gue berusaha mengingat sesuatu, pasti kepala gue itu sakit." ucap Raka. "Jangan maksain diri. Kalau lo enggak inget sesuatu, ya udah jangan dipaksa." sahut Devian tak mengalihkan pandangan dari ponsel yang dia genggam. "Lo kenal Chesa?" Devian terkesiap. Ia sekarang menatap Sahabatnya dengan tatapan serius. "Lo tau nama itu dari mana?" "Kebetulan gue papasan sama cewek itu di perpus. Pas dia nyebutin namanya, kepala gue kok rasanya jadi sakit banget," jawab Raka. "Karena dia yang nyebabin lo hilang ingatan. Dia yang dorong lo sampe lo jatuh," pernyataan Devian begitu mengejutkan. "Beneran?" raut muka Raka tidak percaya. Devian berdeham. Ia sudah terbiasa berbohong. "Tapi, mukanya itu..." "Muka gak menjamin tingkah laku. Dia jahat sama lo. Dia dendam karena lo udah buat pacarnya pergi ninggalin dia," Dahi Raka berkerut. "Ninggalin?" "Lo waktu itu mergokin pacarnya si Chesa lagi selingkuh. Tanpa pikir panjang, lo ngelaporin kejadian itu ke Chesa. Saat lo udah ngadu, lo malah difitnah kalau lo ngarang cerita buat hancurin hubungan dia dan pacarnya. Lo sama Chesa akhirnya berantem sampai akhirnya pacar si Chesa dateng dan ngira lo itu selingkuhannya Chesa. Seketika Chesa diputusin pacarnya dan sejak itu dia benci banget sama lo," jelas Devian panjang lebar. Sangat berbeda dengan fakta yang sebenarnya. "Lo tau itu semua dari mana? Apa lo ngikutin gue?" "Ya. Gue ngikutin lo karena curiga. Biasanya kalau udah larut malam, lo nggak bakal keluar rumah. Tapi waktu itu, lo keluar." jawab Devian dengan nada bicara tenang tanpa ada rasa gugup. "Kenapa gue waktu itu peduli banget sama si Chesa?" "Ya mana gue tau. Mungkin lo saat itu lagi tergila-gila sama cewek itu," "Tapi, dari matanya dia baik dan Chesa kelihatan ketakutan saat ketemu gue," Devian memetikkan jari. "Nah, itu. Dia ketakutan lo bakal ngadu ke orang lain kalau dia yang dorong lo," ucapnya. "Mulai sekarang, lo harus jauhin dia. Kalau nggak, hidup lo bakal nggak aman," *** Bu Vita sedang menjelaskan materi di depan kelas. Namun, pandangan Raka menatap ke arah lain. Ia terus memerhatikan Chesa yang sedang fokus menyimak pelajaran. Kkriinngg kriingggg Bel berbunyi. Bu Vita terlihat menutup buku yang tadi ia pegang. Wanita paruhbaya itu membalikkan badan. "Kita lanjutkan kamis yang akan datang. Sejauh ini, kalian paham materi yang saya sampaikan?" "Paham, Bu..." jawab Murid serempak. Setelah Bu Vita meninggalkan kelas, barulah seisi kelas berhamburan keluar begitupun Raka serta Devian. "Sa, kita ke kantin bareng yuk." ajak Hana. Tanpa menjawab apapun, Chesa berdiri pertanda mau. "Rambut lo panjang ya," jari telunjuk Hana menyentuh ujung rambut Chesa. Kemudian Hana mendekatkan mulutnya di telinga Chesa. "Gue gemes buat potong rambut ini," "Jangan." lirih Chesa. Dia bagaikan curut kecil yang sedang dikelilingi oleh kucing garang. Tak berdaya. "Bodoamat! Tangan gue nggak sabar buat potong rambut lo." Hana beranjak. Chesa diam di tempat membuat Keisha mendecak kesal. "Ikutin kita, parasit." ujar Keisha penuh penekanan. Mau tak mau Chesa mengikuti Mereka berdua. Ke siapa dia akan meminta tolong? Sekarang tidak ada Raka. Raka yang saat ini adalah Raka baru yang sama sekali tidak mengenalnya. Andaikan Tuhan mengembalikan ingatan Raka kembali, maka Chesa akan sangat merasa bersyukur. "A-" ucapan Hana terhenti. Kepalanya menabrak d**a seseorang. Emosinya mulai tumbuh. Langsung saja dia mendongak untuk memarahi orang yang menabraknya. Namun, seketika ia terkejut. Tidak jadi marah. "Raka?" "Sorry. Gue nggak sengaja." ujar Raka. "Lo nggak ke kantin?" gaya bicara Hana begitu halus. "Ke kantin kok. Uang gue ketinggalan di tas." Raka kembali melanjutkan langkah. Dia sekilas melihat ke arah Chesa yang terus saja menunduk sedari tadi. Tanpa disengaja, lengannya menyenggol bahu Chesa dan ketika itulah kepala Raka terasa sakit. "Akh..." Raka memegang kepala nya. Kedua mata nya terpejam erat. 'Gue bakal terus jagain lo walaupun lo udah punya suami.' 'Jangan deket-deket gue. Gue nggak butuh belas kasih lo.' Kata-kata itu terngiang di telinga Raka bersama dengan samar-samar wajah seorang gadis yang terlintas di ingatannya. Semakin berusaha mengingat, semakin pula kepalanya sakit. "Raka, lo nggakpapa?" tanya Hana khawatir. "Kepala lo sakit?" Raka menggeleng pelan. Mengapa saat dirinya dekat dengan Chesa, kepalanya menjadi sakit? Mengapa? Apakah dirinya begitu dekat dengan Chesa sebelum ingatannya hilang? "Gue anterin ke UKS yuk." bujuk Hana. "Nggak. Nggak perlu." Raka melanjutkan menggeleng-gelengkan tangan, lantas melanjutkan langkahnya. 'Raka...' panggil Chesa dalam hati. Baru ia sadari ternyata dirinya tak bisa hidup tanpa Raka. Ia rindu Raka yang dulu. Raka yang selalu ada untuknya. "Ayo kita ke kantin." ajak Hana pada Keisha dan Chesa yang masih saja mematung. *** "Nggak! Gue nggak akan ikut kalian!" elak Chesa. Ia tidak ingin rambut indahnya dipotong oleh 2 gadis yang menurutnya tirisan iblis. "Ayo, sayang. Lo berani ngelawan kita berdua? Hah?! Lo tau apa akibatnya kan?" Chesa tersungkur, kemudian bertekuk lutut di hadapan Hana dan Keisha. Tak lupa ia mengatupkan kedua tangan. "Gue mohon... jangan ganggu gue sehari aja." "Heh. Lo kita bakal nurutin permintaan lo?" Hana mendecih. "Miskin aja belagu!" "Jangan belagu lo! Sekarang nggak ada yang belain lo kaya dulu." imbuh Keisha. Tak cukup sampai di situ, Chesa meraih kedua kaki Hana dan Keisha, lantas memegangnya dengan erat. "Hih. Mau apa lo?!" dongkol Hana dengan tatapan jijik. "Tenang, Han. Kita manfaatin keadaan ini." ujar Keisha memegang sekilas pundak Hana. "Parasit, buruan cium sepatu kita." titahnya seraya menatap Chesa. "A-apa?" kepala Chesa melengak. "Lo budeg ya?" tanpa belas kasihan, Keisha menendak bahu kecil Chesa hingga yang ditendang tergeser kasar ke belakang. "Buruan!" gertak Hana. Chesa meringis kesakitan. Dengan merangkak secara perlahan, ia mendekati kaki Hana dan Keisha untuk menuruti permintaan Mereka. Saat sudah dekat dan berhasil meraih kaki Hana, Keisha malah mundur. "Kaki gue belum. Sini." ledek Keisha. "Han! Mundur." ucapnya menarik lengan Hana untuk menjauh. Kontan genggaman Chesa terlepas. "Sini parasit. Ini hukuman lo karena lo udah nolak buat dipotong rambutnya." Keisha menatap sinis. Chesa tak menyerah begitu saja. Ia terus merangkak mendekati Mereka. Akan tetapi, Hana serta Keisha makin menjauh dari dirinya. Keadaan di sekitarnya sepi. Lagian juga, jika ramai tidak ada bedanya. Semua akan menertawakan dirinya. "Berhenti," lirih Chesa. "Hah? Apa? Terus? Oh ya.. ya. Tenang aja. Gue sama Keisha bakal terus mundur kok." Hana tersenyum lebar. "Eh. Lo harus tetap merangkak sampai pulang. Okay?" Keisha membungkukkan badannya untuk menilik wajah Chesa yang sudah mulai menangis. "Heh! Kok lo diem aja sih?!" Keisha lagi-lagi mendorong tubuh Chesa menggunakan kakinya. "I-iya." jawab Chesa tergugup. *** "Laper apa doyan lo?" Raka menatap jengah Devian yang sedang memakan begitu lahap. "Laper. Gue udah masak mie, tapi lo habisin semua." Gigi-gigi putih Raka nampak berderetan. "Maaf. Itu akibatnya kalau lo nggak amanin mie goreng lo." "Padahal gue ke kamar mandi sebentar. Lo main nyomot aja." sorot mata Devian begitu kesal sekaligus kecewa. "Kak Raka..."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD