Chapter 22

1512 Words
"Sera? Ada apa?" kening Devian berkerut. "Dia namanya Sera?" Raka belum begitu mengingat nama seluruh murid di sekolah ini. "Ya." Devian beralih pandang ke arah Raka sejenak, kemudian teralihkan lagi ke Adik kelasnya tersebut. "A-anu... tapi sebelumnya, jangan pernah bilang kalau aku yang ngasih tau ini." Sera gugup. Wajar, baru kali ini ia berbicara sekaligus berjarak sangat dekat dengan 2 kakak kelasnya yang tampan. "Maksud lo?" kali ini dahi Raka yang mengernyit. "Kak Chesa lagi diganggu kak Hana. Kakak nggak nolongin?" tanya Sera pada Raka tentunya. "Apa?" Raka makin terheran-heran. Devian yang panik segera menggiring Sera agar jauh dari Raka. "Loh, kenapa Kakak..." "Ssttt.." jari telunjuk Devian diletakkan di bibir pucat Sera. Sera terkesiap. Setelah berjarak cukup jauh, Devian menatap tajam Sera. "Kakak kenapa bawa aku ke sini?" tanya Sera polos. "Lo jangan ngomong apapun tentang Chesa ke Raka. Please, ini permintaan gue." ujar Devian. Sera menengguk saliva susah payah. Rasanya sangat gugup! Jaraknya sedekat ini. "Lo nggak bakal ngomong lagi, kan? Janji?" Devian menyodorkan jari kelingking. Ia tahu apa hal yang membuat hati Sera luluh. Sikap manis. Wanita semacam Sera sudah sering Devian temui. Pura-pura polos dan simpati untuk mendapat perhatian. "Tapi... kenapa begitu, Kak? Aku kasihan sama Kak Chesa. Masa dia merangkak gitu dan lebih parahnya lagi, Kak Hana sama Kak Keisha malah ketawa." ujar Sera. Devian menggerutu di dalam hati. Makhluk di hadapannya ini susah ditaklukan walaupun sudah diberi tatapan khusus. "Kamu nggak mau diganggu Keisha dan Hana, kan?" ya, Devian mengubah panggilan 'lo-gue' menjadi 'aku-kamu' agar Sera berhenti peduli pada Chesa. "Iya," "Trus kenapa kamu peduli sama Chesa?" "Aku kasihan banget sama dia." "Mau dibully kaya Chesa?" "Nggak." "Ya udah. Kamu jangan lagi peduli sama dia apalagi sampai ngadu ke Raka. Mulai sekarang, janji nggak bakal ngomong ke Raka lagi, okey? Nanti kalau selama dua bulan kamu udah nepatin janji, kamu bakal jadi pacar aku." untuk kedua kalinya, Devian menyodorkan jari kelingking. Sera mengangguk pelan. Jari kelingkingnya ia kaitkan di jari Devian. Ia masih terkejut tak percaya setelah mendengar kata 'pacar'. "Bagus," Devian tersenyum lebar seraya mengusak gemas rambut Sera. "Kalian pacaran?" tanya Raka yang sedari tadi menyaksikan mereka berdua. "Nggak. Cuma teman akrab aja ya, kan?" Devian menilik wajah Sera. "I-iya. Aku mau gabung sama temen dulu." Sera beranjak dari tempat tersebut. Detak jantung dan rasa panasnya harus dinetralkan terlebih dahulu. Namun, Raka mencegat langkahnya. Yang dicegat seketika terhenti. "Di mana Chesa berjanji pada Devian. "Dia udah ngomong ke gue. Ikutin gue aja." ucap Devian. Raka melepaskan genggaman, lantas mengikuti Devian yang sudah melangkah entah akan kemana. Devian berhenti di depan perpustakaan. "Kok lo berhenti di sini?" "Ah, s**l! Dia ngebohongin gue. Katanya Chesa sama Hana di sini." *** Chesa duduk di kamarnya. Ia sedang mengobati luka lecet di lututnya karena perbuatan Hana serta Keisha tadi. Sesekali ia meringis kesakitan. "Lutut kamu kenapa?" raut wajah Rumaisa panik. Chesa melengak. "Ibu nggak nginep di rumah majikan ibu?" "Nggak. Pekerjaan ibu udah beres semua. Lagian juga, ibu kangen tidur di rumah ini." jawab Rumaisa. "Lutut kamu itu kenapa?" lanjutnya bertanya sekali lagi. "Lutut Chesa nggakpapa kok. Tadi pas olahraga, aku jatuh jadi, kaya gini deh." Chesa tersenyum manis. "Kamu nggak hati-hati sih." ujar Rumaisa. Matanya terus menatap lutut Chesa yang terluka. "Jangan khawatir, Mah. Aku baik-baik aja," "Kamu mikirin cowok ya? Makanya jadi nggak fokus waktu olahraga." tukas Rumaisa. "Ih. Apaan sih, Bu. Chesa nggak pernah mikirin cowok." Chesa mencoel sekilas lengan Rumaisa. Ucapan yang dilontarkan ibunya begitu tak masuk akal. Tapi, memang benar sih Chesa memikirkan laki-laki dan cowok itu adalah Raka. "Ceritain ke ibu dong. Apa ada orang yang buat kamu jatuh cinta?" Chesa bertanya-tanya. Baru kali ini ibunya menanyakan hal seperti itu. Biasaya tak pernah. Ibunya terus mengatakan harus mencari laki-laki dari keluarga kaya agar hidup Chesa bahagia. "Ibu kepo ya," Chesa memilih beranjak ke dapur walaupun jalannya masih sedikit lambat. "Kamu itu cantik loh, Nak. Yakin nggak ada yang naksir kamu sama sekali?" Rumaisa menjejeri langkah Chesa. "Ibu ini kesurupan apa? Udah, ah. Chesa mau makan dulu. Laper." deretan gigi-gigi putih Chesa munculkan. *** 23:30 Raka sedang menyaksikan film horor kesukaannya lewat TV. Meskipun sudah menontonnya di handphone, tetapi Raka tetap saja ingin menonton ulang karena alur cerita film itu begitu seru sehingga tak bosan untuk ditonton kembali. "Nggak ngantuk lo?" tegur Devian. Beberapa detik kemudian, ia menguap. "Lo kalau mau tidur, sana. Gue nanti. Jam satu." tandas Raka. "Buset. Malem banget lo tidurnya." Raka tak menjawab omongan Devian. Toh, jika menjawab, maka akan terjadi adu mulut sepanjang malam. Tanpa mengatakan apapun lagi, Devian berjalan menuju kamar. Angin malam yang dingin mendadak serasa menusuk ke tulang Raka. Ia menyelimuti dirinya dengan selimut berwarna cokelat yang sengaja ia bawa. Suara nada dering Morning Glory berbunyi lumayan keras. Raka mendecak kesal selepas menyadari kalau ponsel tersebut milik Devian. Pasti Devian sudah tertidur pulas. Jika tidak, Sahabatnya itu tidak mengizinkan Raka mengangkat telefon dari ponselnya. Tertera nama Citra di sana. "Citra?" samar-samar Raka mengingat wajah seorang gadis. Kepala yang tadinya tidak apa-apa, sekarang terasa sakit. Langsung saja Raka memencet ikon hijau untuk mengetahui, siapa itu Citra? 'Halo... gimana keadaan Raka? Dia masih hilang ingatan?' Raka mengernyit. Bagaimana perempuan itu bisa tahu tentang dirinya? Perasaan Devian tak pernah bercerita tentang wanita bernama Citra itu. "Lo siapa?" 'Raka? I-ini beneran Raka? Lo baik-baik aja kan? Si Devian mana?' "Bentar. Lo jelasin terlebih dahulu. Lo itu siapa?" 'Gue saudara lo. Gue yang jatuh bareng lo di tangga itu.' "Lo jangan bohong." 'Buat apa gue bohong? Nggak ada untungnya kali. Coba deh, lo inget gue.' "Nggak bisa. Semakin gue nginget lo sama Gadis yang namanya Chesa itu, kenapa kepala gue sakit?" 'Chesa itu cinta pertama lo. Kalian berdua udah saling kenal semenjak kecil.' "Nggak mungkin dia cinta pertama gue. Kalau iya, kenapa dia ngedorong gue dari tangga?" 'Hah? Apa? Gue nggak salah denger nih? Yang dorong lo sama gue dari tangga itu, jelas bukan Chesa. Dia orangnya baik. Bisa dibilang lemah lembut.' "Tunggu. Bukannya gue jatuh sendirian di tangga itu?" 'Kata siapa? Lo jatuh sama gue. Nanti habis telefon ini, gue bakal ngirim foto kening gue yang ada bekas lukanya." Ada jeda hening selama beberapa detik. Raka masih mencerna perkataan Citra. 'Halo? Lo masih di sana kan?' "Hm." 'Gue udah ngantuk. Gini, intinya Chesa itu cewek yang paling lo sukai. Lo setiap hari cerita ke gue tentang Chesa. Soal orang yang dorong lo sampai jatuh dari tangga itu bukan Chesa. Dia bukan pelakunya. Sama sekali bukan. Okay?' Baru saja Raka akan menjawab, tetapi sambungan sudah diputus. "Kalau bukan Chesa pelakunya, trus siapa? Dan kenapa Devian nggak pernah cerita soal Citra ke gue?" monolog Raka. Mendadak terdengar notif pesan. Citra mengirimkan foto. Ia segera membuka foto tersebut. Betapa terkejutnya Raka. Ternyata ada bekas luka di kening Citra. Dengan cepat, ia menghapus foto tersebut agar Devian tidak mengetahui. "Jadi, yang benar mana? Apa mereka cuma mempermainkan gue?" *** Hari ini Raka mencari jawaban sendiri. Ia sengaja datang pagi-pagi sekali. Devian masih tertidur. Raka sengaja tidak membangunkannya. Dia bahkan menggunakan motor Devian untuk berangkat. Terdengar suara langkah mendekat. Raka berharap semoga saja itu Chesa. Dan, ternyata dugaannya benar. Gadis yang selalu menunduk itu masuk ke kelas. Ekspresinya begitu terkejut melihat dirinya. "Chesa..." Yang dipanggil diam saja. Chesa menaruh tasnya di kursi, kemudian berjalan ke arah pintu. "Tunggu. Gue mau nanya sesuatu." Raka menghadang di depan pintu. "Apa?" lirih Chesa. "Sejak kapan lo kenal gue?" Perasaan Chesa menjadi janggal. "Sejak lo nginjekkin kaki di sekolah ini." "Apa sebelum gue sekolah di SMA ini, lo udah kenal gue?" "Nggak. Gue nggak kenal dan nggak pernah ketemu lo." tandas Chesa. "Minggir." dia mendorong tubuh Raka lumayan keras. "Masih ada pertanyaan buat lo." ucap Raka. Ia mendorong Chesa kembali dan menutup pintu kelas rapat-rapat. "Buka pintunya." rupa Chesa berubah menjadi sangat panik. Ia takut Hana akan menganggunya untuk kesekian kali jika mengetahui hal ini. "Jawab pertanyaan gue sejujurnya. Lo kenal gue sejak kapan? Apa bener kita udah kenal sejak kecil?" Kepala Chesa menunduk. Kedua tangannya meremas kuat rok yang dipakainya. Tuhan, cobaan apa lagi ini? Ia tak mau ingatan Raka kembali. "Jawan gue, Sa." Raka menguncang bahu kecil Chesa. Namun, samar-samar kejadian melintas di benak Raka. Kepalanya terasa sakit. Sangat sakit. "Lo nggakpapa?" Chesa akhirnya menatap wajah Raka. Raka menangkis lengan Chesa. Dia mundur beberapa langkah. "Jangan sentuh gue. Kenapa setiap gue nyentuh lo, kepala gue jadi sakit? Sebenernya lo siapa? Apa kita begitu deket di masa lalu? Apa lo pacar gue?" Deg Chesa tersentak. Ia bingung harus berkata apa. "Jawab gue." ucap Raka penuh penekanan. "Gue musuh lo." lagi-lagi Chesa berbohong. Mulutnya bagaikan terikat belenggu untuk berbicara jujur. "Hah?" "Gue musuh lo! Kita sering berantem dan itu buat gue muak." tangan Chesa yang bergemetar menunjuk wajah Raka. "Gue yang dorong lo waktu itu." "Jadi bener apa kata Devian. Lo tega dorong gue dari tangga?" "Iya. Kenapa? Gue berani. Gue benci banget sama lo." ujar Chesa menantang. Akan tetapi, bibirnya bergemetar. "Kenapa lo benci sama gue?" Chesa memutar otak. Ia mencari-cari alasan tepat. "Lo... lo udah bikin adik gue celaka."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD