Chapter 23

1510 Words
Kecurigaan Raka kembali muncul. Pernyataan yang dilontarkan Chesa sangat berbeda dengan Devian. "Kapan gue buat adik lo celaka?" "Dua bulan lalu. Lo udah buat adik gue jatuh dari tangga." bohong Chesa. "Trus adik lo udah sembuh? Apa dia masih di rumah sakit?" "Dia koma. Dia dirawat di rumah." "Bawa gue ke rumah lo. Gue mau jenguk." Chesa tersentak. "A... anu... eng... enggak usah. Adik gue nggak mau lihat lo," ucapnya terbata-bata membuat Raka semakin curiga. "Enggak. Pokoknya gue mau ke rumah lo habis pulang nanti." Raka menatap wajah Chesa sejenak. "Cantik," "Apa?" Raka tak menjawab. Ia memalingkan muka, lantas membuka pintu dan keluar. Chesa mendesau lega. Dia mendudukkan diri di bangku milik Hana sembari memegangi d**a sebab jantungnya dari tadi berdetak cepat. "Ih! Kok lo duduk di tempat gue?! Bangun enggak?! Tempat gue jadi tercemar." hardik Hana yang baru saja sampai. Chesa terpelonjat. Kenapa ia sangat lengah dan tidak menyadari sama sekali? "Bersihin!" gertak Hana. Chesa segera mengusap-usap bangku Hana. Tapi bagi Hana itu tak cukup. "Bersihin pake tas lo!" Hana melepaskan paksa tas hitam Chesa. Tanpa berkata apapun, Chesa menurut. Dia mengelap bangku Hana menggunakan tasnya. "Lebih kenceng dong! Lo enggak punya tenaga?!" lagi-lagi Hana menggertak. *** "Naik." titah Raka setelah menghadang Chesa menggunakan motor milik Devian. Sahabatnya itu tidak masuk. Entah apa alasannya, namun Raka tak memikirkan itu sekarang. Dia harus mencari tahu jawaban sebenarnya. Hana dan Keisha yang melihat itu hanya bisa melotot tidak terima. Chesa dengan ragu-ragu naik ke motor itu. Ia sekarang tak berani merangkul apalagi dekat-dekat dengan Raka. Bagaimanapun juga, Raka yang sekarang adalah Raka yang baru. "Rumah lo di mana?" tanya Raka sembari terus mengendarai motor dengan kecepatan sedang. "Lurus aja," lirih Chesa. Ya ampun! Chesa harus apa sekarang? Tidak mungkin ia menunjukkan rumah sebenarnya. Seharusnya dia tadi menolak diajak oleh Raka seperti itu. Kenapa dirinya begitu bodoh? "Pegangan." aba-aba Raka saat akan melewati polisi tidur. Chesa tak menghiraukan aba-aba itu. Alhasil, saat melintasi polisi tidur itu, dia refleks memegang pinggang Raka. Deg Raka terdiam sesaat. Mendadak terlintas kejadian sama persis seperti saat ini di benaknya. Dia merasa familiar dengan posisi seperti ini. Siapa? Siapa sebenarnya Gadis yang ada di belakangnya ini? "Maaf." Sudah sekitar 20 menit Raka mengendarai motornya. Tidak ada aba-aba dari Chesa dan juga dia merasa dari tadi berputar-putar di jalan itu-itu saja. "Lo ngerjain gue ya?" protes Raka yang kesabarannya sudah habis. "Berhenti di situ." Raka mengangguk sekali. Di tepi jalan, motornya ia hentikan. Chesa turun dari kendaraan roda dua itu. "Apa pernah gue bonceng lo sebelum ini?" tanya Raka. "Eng-enggak." dusta Chesa. "Yakin? Kenapa wajah lo tadi terlintas di kepala gue?" "Enggak tau. Mungkin itu cuma hayalan aja." balas Chesa berusaha acuh. Ia melangkah ke sebuah g**g sempit, jalan di mana menuju rumahnya. Raka segera mengikuti dari belakang. Tidak. Chesa tidak bisa menunjukkan rumah sebenarnya. Dia khawatir ingatan Raka kembali karena itu. Chesa segera berbalik badan menghadap Raka. "Gue enggak bisa." Chesa merasa tidak enak. "Hah?" bukannya Raka tidak mendengar, tapi ia tak mengerti maksud dari perkataan Chesa barusan. "Lo mending pulang sana. Lo enggak bisa ke rumah gue. Nanti Ibu marah," terang Chesa. "Loh, kita udah sampai di sini. Lo tega suruh gue balik lagi?" Raka sungguh tidak percaya. "Ya... maaf. Gue baru inget sekarang. Ibu gue paling enggak suka kalau gue bawa cowok." Chesa tertunduk dalam. Raka menghela nafas. Ia berbalik arah dan berlalu begitu saja. "Maafin gue," lirih Chesa. Sangat lirih. Setelah Raka sudah tidak terlihat lagi, ia buru-buru melangkah ke dalam rumah. Ternyata Raka sebenarnya tidak pergi. Dia terus mengikuti Chesa dari belakang dengan langkah pelan. Raka tidak sebodoh itu. Ia tahu Chesa menyembunyikan sesuatu. "Oh, jadi di sini rumahnya." monolog Raka. Chesa masuk ke dalam rumahnya. Ia melepas sepatu, ganti pakaian kemudian merebahkan diri di sofa sembari membaca buku. Rumahnya begitu memprihatinkan. Wajar jika Chesa tidak mau menunjukkan tempat tinggalnya ini. *** "Kemana aja lo? Jam segini baru pulang." Devian mulai menginterogasi Raka layaknya ibu pada anaknya. "Kenapa lo bohong?" tanya Raka tanpa basa-basi. "Maksud lo?" "Chesa bilang, dia ngedorong gue dari tangga karena gue buat adik dia celaka. Bukan karena pacarnya." tandas Raka. "Hah? Apa? Chesa bilang kaya gitu ke lo?" "Sebenarnya siapa yang jujur? Siapa yang bohong? Gue benci. Andaikan gue enggak hilang ingatan kaya gini." sesal Raka. "Gue yang jujur. Chesa bohong." tukas Devian. Raka tak menjawab. Saat ini, dia tidak bisa mempercayai siapapun. *** Bunyi telefon berdering. Rumaisa meletakkan sapu di pinggir sofa. Dengan cepat, dia mengambil telefon rumah itu dan menempelkannya di telinga. "Halo, ini siapa?" "Kamu siapa? Mas Pandu nya mana?" "Oh, Tuan lagi siap-siap di kamar. Mbak ini siapa ya?" "Saya Kay, kekasihnya." Bagaikan ribuan belati tajam menusuk d**a, Rumaisa sakit mendengar kata barusan. "A-apa perlu saya panggilkan Tuan Pandu sekarang?" "Enggak perlu. Saya cuma ngecek keadaannya. Oh ya, kamu jangan berani deketin Mas Pandu. Camkan itu." Rumaisa menutup sambungan. Degup jantungnya mendadak berpacu cepat. Perasaan konyol apa ini? Di lain tempat, Pandu sedang mencari dokumen-dokumen penting untuk rapat hari ini. Ia sudah mencari sekeliling kamar, namun hasilnya nihil. "s**l!" Pandu mengacak rambutnya frustasi. CCTV! Tiba-tiba benda itu terlintas dibenaknya. Pandu segera berjalan ke ruang CCTV yang kebetulan terletak di samping gudang. Ruangan itu lumayan berdebu. Wajar, sebab jarang dikunjungi. Pandu sampai terbatuk-batuk. Dia duduk di bangku yang di depannya terdapat laptop yang berisi video ruang yang ia tempel CCTV. Pandu mencari data rekaman 4 hari lalu. Saat dia membukanya, ia begitu terkejut dan begitu tak menyangka selepas melihat rekaman CCTV yang diletakkan di kamarnya. Malam itu, apa dia benar-benar 'menyentuh' pembantunya? Pandu memutar ulang video itu. Hasilnya tetap sama. Jika benar dia melakukan itu, mengapa Rumaisa tidak mengatakan apapun? Ini salah. Pandu merasa dirinya seperti Laki-laki berengsek sekarang. Dia melangkah keluar. Tiba-tiba sudah ada Rumaisa. "Tuan ngapain di sini?" Rumaisa menilik ke dalam. "Kenapa kamu sama sekali nggak bilang?" "Maksud Tuan?" kening Rumaisa membersut. "Malam itu." Deg Kejadian itu sudah berlalu. Rumaisa juga samar-samar sudah melupakannya. Namun hari ini, mengapa kembali diungkit? "Maksud Tuan apa ya? Saya enggak ngerti sama sekali." bohong Rumaisa. "Jangan pura-pura nggak tau! Malam itu saya nyentuh kamu kan?" Pandu memegang erat bahu pembantunya tersebut. "Eng-enggak, Tuan." Rumaisa menggerak-gerakkan bahu. Ia berusaha melepaskan cengkraman Pandu. "Jawab yang jujur, Rum. Video malam itu ada di CCTV. Saya sudah melihatnya." "Enggak, Tuan." Rumaisa tidak mau terus terang. Dia takut apa yang Pandu lakukan padanya setelah tahu. "Kamu bisa lihat video nya sekarang." Pandu menarik Rumaisa ke dalam ruangan itu lalu memutar ulang video tersebut. 1 menit berlalu. Rumaisa memejamkan mata. Tak sanggup melihat video tidak sopan itu. Tanpa mengatakan apapun, dia pergi begitu saja. "Hey, tunggu!" Pandu mengejar Rumaisa. Wanita itu berbeda dari perempuan lain. Tidak meminta pertanggung jawaban atau pun protes. Tangan Rumaisa berhasil diraih. Pandu tak akan membiarkannya lepas. "Saya mau mengundurkan diri, Tuan." ujar Rumaisa tiba-tiba. Pandu yang mendengarnya sangat tak menyangka. "Loh, kenapa?" "Saya enggak mau jadi perusak hubungan orang." "Maksud kamu?" Pandu sama sekali belum mempunyai kekasih. Perkataan Rumaisa membuat dirinya terheran-heran. "Kay itu kekasihnya Tuan, kan? Saya nggak mau hubungan Kay dan Tuan rusak gara-gara malam itu." Lagi-lagi Kay mengaku sebagai Kekasihnya padahal Mereka hanya rekan kerja yang terbilang sudah cukup lama. "Kay itu bukan pacar saya. Kamu tau Kay dari mana?" "Kay telefon tadi. Dia nanyain keadaan Tuan," "Jangan percaya apapun omongan dia. Kamu harus tetap kerja di sini." tegas Pandu. "Tapi..." "Satu bulan. Setelah satu bulan, kamu boleh pergi." potong Pandu. Dia melewati Rumaisa yang masih mematung di tempat. *** "Ngapain lo mau dibonceng dia?! Lo seharusnya nolak, parasit!" Hana menjambak kuat rambut panjang Chesa hingga Gadis itu terpekik kesakitan sekaligus bergumam meminta ampun. "Han, Raka mau lewat. Lepasin dia." bisik Keisha. Refleks Hana melepaskan jambakan. Dia tersenyum manis, tangannya meraih lengan Chesa, bersikap sok akrab kepada Gadis malang itu. "Kita mau makan apa nih? Nanti gue yang bayarin deh," tawar Hana. Dia memulai sandiwaranya kala Raka sudah semakin dekat. "Eum... makan apa ya? Gue terserah Chesa aja." sahut Kila menggandeng tangan Chesa, sama seperti Hana. "Ayo dong, lo mau makan apa, Sa?" Hana membungkuk, lalu menolehkan wajah ke samping untuk menilik muka Chesa. "Bakso." lirih Gadis malang itu. Raut mukanya sedikit ketakutan. "Oke. Let's go!" seru Hana semangat. "Eh, Raka. Lo mau ke mana?" sapa Hana tak lupa, senyum manis ia munculkan. "Ke lapangan basket." Raka membalas senyum singkat. Dia melihat Chesa sebentar. "Oh," Hana, Keisha dan Chesa melanjutkan langkahnya kembali. "Gue kira, dia enggak punya teman. Ternyata punya." gumam Raka sangat lirih. Setelah dirasa cukup lama, Hana melongok ke belakang. Punggung Raka bahkan sudah tidak kelihatan lagi. Dia melepaskan genggaman. "Makan tuh bakso!" gertaknya memdorong tubuh Chesa dari belakang hingga tersungkur. "Ih! Tangan gue jadi tercemar, njir." sesal Keisha. Ia menempel kan salah satu tangannya di tembok. "Lo jangan pernah mau dibonceng Raka. Jangan dekat-dekat dia! Kalau lo ngelanggar perintah gue," Hana memetikkan jari 3 kali. "Out dari sekolah ini!" Mereka berdua meninggalkan Chesa. Hana menginjak kaki Chesa dan melewatinya tanpa rasa dosa sama sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD