Chapter 74: 18 Tahun

1273 Words
"Mengadili, menyatakan terdakwa Devian Braveno bersalah telah melakukan tindak pidana pembunuhan, menjatuhkan hukuman pidana 18 tahun penjara." putus Sang Hakim. Palu dipukul tiga kali. Devian menunduk. 18 tahun bukanlah waktu yang singkat. Dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri kalau waktu selama itu, dia bisa melewatinya. Sesekali, dia menengok ke belakang. Sosok yang dia harapkan tidak kunjung muncul juga. Empat polisi menggiring Devian keluar dari tempat pengadilan itu untuk ke lapas yang letaknya lumayan jauh. Tapi, belum sampai di ambang pintu, terdengar langkah kaki yang memburu. "DEVIAN!" Empat polisi itu berhenti. Semuanya menjadi hening. Bola mata Mereka memerhatikan pintu, penasaran dengan siapa yang akan datang. Seorang wanita berpakaian rapi sekaligus elegan dengan Gadis kecil di sebelah nya muncul. Disusul oleh Chesa dan Raka di belakang Keduanya. Dada Ibu Devian sesak. Ia sungguh tidak percaya ini. Putra yang dia miliki satu-satunya sekarang memakai baju berwarna oren. Dia tak sanggup melihat ini. Sorot maniknya terpancar kekecewaan yang mendalam. Ibu Devian tanpa aba-aba segera menampar Sang Putra. Rahang Devian terasa panas bahkan netranya juga ikut memanas. Devian semakin merunduk. Dia tidak punya keberanian untuk menatap Ibunya. "Ayo, tatap Ibu! Kenapa kamu melakukan ini, Nak?! Kenapa?! Apa Ibu dan Ayahmu pernah mengajarkanmu untuk membunuh seseorang?! Jawab, Vian! Selama kamu kecil, ibu dan Ayahmu tidak pernah lupa memberikan perhatian padamu. Setiap malam, Ibu berdoa agar kamu menjadi penerus yang baik untuk perusahaan Ayahmu. Ibu ingin kamu tumbuh menjadi pria yang baik-baik. Hanya itu keinginan dan harapan Ibu. Tapi kenapa kamu tidak mewujudkan keinginan Ibu? Apa itu terlalu berat?" parau Ibu Devian. "Kakak jahat! Kakak udah buat Ibu aku nangis!" kata Adik Devian, Dila. Chesa seketika berjongkok di samping Dila, lantas membisikkan, "Ssst. Ikut aku beli ice cream, yuk." "Aku nggak bawa uang." sahut Dila dengan raut polos. "Aku yang beliin." Chesa bergerak membawa Dila keluar dari ruangan tersebut. Dia tidak mau anak se kecil itu menyaksikan pertengkaran. Kasihan. Nanti psikisnya terganggu. Sebenarnya tadi Chesa sudah melarang Dila untuk ikut, namun anak itu masih saja mengikuti. Sementara di dalam ruangan sana, Ibu Devian masih meluapkan kekecewaannya. Raka bergerak memegang pundak Ibu Devian agar Wanita itu tenang. "Maaf, Ibu." parau Devian, dia bertekuk lutut di depan Sang Ibu. "Siapa yang suruh kamu seperti ini? Siapa, Vian?" tanya Ibu Devian di tengah tangisannya. Devian menggeleng refleks. Tidak. Dia tak mau membawa nama Hana. Dia masih menyayangi Hana. Sekeras apapun Hana membencinya, dia tetap suka. Cinta membuat semua orang melakukan apapun untuk mendapatkannya. Empat polisi itu menggiring Devian kembali untuk ke lapas. Tangis Ibu Devian semakin menjadi. Raka terenyuh mendengarnya begitu juga orang-orang di sekitar Mereka. Meski begitu, Ibu Devian tetap mengikuti Sang Putra. Chesa yang baru saja selesai memberikan ice cream untuk Dila pun bergegas mendekat. Ia berusaha menguatkan Ibu Devian. "Tenang, Tante." Chesa berjongkok. Ia membawa Ibu Devian ke dalam sandaran bahunya. "Di--dia tidak mungkin melakukan ini." tenggorokan Ibu Devian terasa tercekat. Hidungnya memerah. Entah sudah berapa banyak air mata yang jatuh. "pasti ada yang menyuruhnya untuk membunuh." Ibu Devian memegang pundak Chesa. Tatapan nya penuh harap. "Tolong. Kamu cari orang di balik semua ini. Kamu bisa mencarinya, kan? Saya mohon, buktikan kalau Devian tidak bersalah. Buktikan. Tolong lakukan untuk seorang ibu yang kecewa ini. Kamu mau menolong saya, kan? Saya mohon," pintanya. Chesa menggeleng samar. Ia bahkan tidak berani menatap Ibu Devian. "Di--dia udah terbukti ngelakuin kesalahan. Dia sendiri yang mengaku, Tante..." lirihnya. Tangannya terulur untuk mengusap punggung Ibu Devian. Dia ikut terisak juga. "Raka, kenapa kamu diam saja? Kamu bahkan tidak bisa mengawasi Devian dengan baik. Kamu bilang, Devian sudah kamu anggap seperti Adikmu sendiri, tapi kamu seolah membiarkan Devian melakukan hal buruk sampai di penjara seperti sekarang. Tante menempatkan kami satu kos bersama Devian. Seharusnya kamu tahu tugas kamu itu apa." Ibu Devian mulai menyalahkan Raka. Sorot dari kedua manik wanita itu membuat Raka merasa bersalah. Padahal Devian bukan anak kecil lagi yang harus dibimbing setiap langkah. Tetapi, dia sepertinya memang salah karena tidak pernah mendengar keluh kesah Sahabatnya. -•••••••- "Eh, lo dengar berita itu gak?" tanya Keisha, ia menutup ponselnya. "Berita apa? Skincare favorit lo lagi diskon?" Hana balik bertanya, masih menatap ponsel di genggamannya. "Bukan. Ish, singkirin HP lo dulu deh. Liatin gue." titah Keisha. Hana merotasikan bola matanya. Diletakannya ponsel tersebut di meja. "Nih. Gue udah liat lo, kan? Berita apa? Jangan berita yang gak bermutu. Awas lo." "Hari ini sidang keputusan kasusnya Gio. Dan lo tau apa keputusannya?!" "Ya enggak lah. Gimana sih." Hana mendengus sebal. "Dengar dulu gue ngomong." Hana menguap, setelahnya dia menatap malas Keisha. "Iya-iya." "Devian dipenjara delapan belas tahun!" pekik Keisha heboh. Kedua mata Hana yang tadinya akan terpejam itu, seketika terbuka segar. "Apa?!" "Bodoamat. Kenapa lo kasih berita gak penting itu?" Keisha tidak menyangka dengan perkataan Hana barusan. Bisa-bisanya teman sekelas baru saja divonis hukuman belasan tahun, namun reaksi Hana biasa saja. Kadang Keisha bingung. Hana ini manusia atau bukan, sih. "Ya ampun, Han. Gak boleh gitu." kata Keisha mengusap d**a. Memang dia tukang bully juga sama seperti Hana. Dia juga tak menyukai Devian, tetapi dia masih punya rasa kasihan. "Terus gue harus apa? Nangis gitu. Hiks hiks hiks." Hana berlagak sedang terisak. Detik selanjutnya, dia malah memeletkan lidah. "Sorry. Gue gak suka nangis." "Heh, gue enggak percaya Devian berani bunuh Gio. Emang si Gio salah apa sampai-sampai dibunuh? Aneh. Pasti Devian disuruh orang deh." Baru saja Hana akan minum, ia tak jadi. Takut tersendak dan Keisha curiga nanti. "Ah, masa sih. Lagian siapa juga yang mau bunuh Gio? Untung enggak, rugi iya." "Ya, siapa tau Cewek yang punya dendam sama Gio. Nggak mungkin lo gak tau sifatnya Gio kayak gimana." "Kalau emang iya benar ada Cewek yang suruh Devian buat bunuh, Devian mau aja gitu? Notabene nya kan dia anak orang kaya. Ayahnya juga jalin pekerjaan bisnis sama Ayah gue. Ya kali dia kekurangan uang sampai mau matiin orang." Hana sebisa mungkin berusaha untuk tidak gugup. Dia harus menyembunyikan rahasianya dengan rapih. Tidak boleh ada yang tahu. "Benar juga kata lo." "Menurut gue, sih, Chesa yang ada dibalik semua ini. Bisa jadi si Devian suka sama Chesa. Nah, Gio, kan, keliatan dekat tuh sama parasit itu. Devian nggak terima dan di--" "Dia membunuh Gio biar nggak ada saingannya gitu, kan?" potong Keisha melanjutkan. "Ya." Keisha bodoh, lanjut Hana dalam batin. *** "Makan, Raka. Dari tadi pagi aku lihat kamu belum makan," Chesa berusaha sabar saat Raka menolak makanan yang ia tawarkan untuk kesekian kali. "Kamu beneran enggak mau makan?" "Aku buatin nasi goreng ini khusus buat kamu, lho." "Kamu nggak menghargai kerja keras aku? Dikit aja. Cobain deh." Percuma. Kata-katanya itu seolah tidak dihiraukan sama sekali. Bahu Chesa melemas. Dia mengambil piring itu. Mungkin dia harus memberi waktu terlebih dahulu. "Aku taruh di dapur, ya. Kalau kamu mau makan, tinggal ambil aja." katanya lembut sambil bangkit dari tempat duduk. "Menurut kamu, aku salah?" Chesa menyambar tempat duduk kembali. "Enggak. Semuanya udah takdir, Raka." dua tangannya terulur, menangkup pipi Cowok tersebut. "Gak sepenuhnya salah kamu." "Nggak sepenuhnya? Devian di penjara gara-gara gue lalai, Ches. Gue lalai nggak ngawasin dia. Gue biarin aja waktu dia kelihatan frustasi. Gue nggak jadi pendengar dia. Gue bodoh." Raka memalingkan muka. Dia memijit pelan keningnya. "Raka," panggil Chesa. Cowok itu tidak tertarik untuk menoleh. "Coba lihat aku. Sebentar aja." "Tinggalin aku sendiri." tegas Raka. Terdengar helaan nafas. Chesa mengambil tas slempangnya. Dia berlalu. Sedangkan Raka berdiri, akan masuk ke dalam apartemennya. Namun, melihat sepiring nasi goreng yang dibuatkan oleh Chesa, dia mengambil piring itu dan membawanya. Untuk sementara ini, dia benar-benar tak mau diganggu. Dia butuh ruang untuk sendiri. Pintu apartemen sedikit terbuka. Tampak Seorang Gadis duduk di salah satu sofa. Dahi Raka mengernyit. Siapa lagi ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD