Chapter 73: Mengakhiri Hidup

1175 Words
Laki-laki bernetra hitam itu terus memandang lurus, ke arah jembatan yang akan dia datangi. Dia memang sudah mendapatkan keinginannya, tetapi rasa bersalah itu terus menghantui. Setiap malam, dia mimpi buruk. Wajah Cowok yang ia habisi, selalu muncul mengunjunginya setiap malam. Kaki jenjang itu mulai menaiki tepi jembatan. Rintik-rintik hujan mulai turun. Lambat laun, hujan semakin deras. Laki-laki itu menangis. Air matanya bercampur dengan air hujan. Dia menengok ke sekitarnya, tak ada siapapun. Ada rasa sedih ketika mengetahui ternyata dia sendirian sekarang. Namun, memang itu yang dia harapkan, bukan? Sendiri di tempat seperti ini dan mulai loncat ke laut. Laki-laki itu memejamkan mata, ia merentangkan tangan, bersiap untuk terjun. Mungkin dengan ini... masalah hidupnya akan berakhir. Mungkin dengan ini... Hana akan senang dan tidak jengkel lagi ketika melihatnya. Dan mungkin dengan ini juga... rasa bersalah itu akan hilang. "DEVIAN! JANGAN BODOH!" jerit Chesa yang baru saja datang. Chesa menarik tangan Devian dengan sekuat tenaga. Tanpa aba-aba, dia menggampar rahang tegas Devian agar Cowok itu sadar. Devian tidak menggertak apalagi kesal. Dia justru menunduk. Rambutnya yang basah kuyup itu menutupi kelopak mata Devian. "Buat apa kamu coba bunuh diri, Dev? Kamu enggak kasihan sama Ibu dan ayah kamu? Kamu gak mikirin gimana perasaan Mereka? Apa dengan bunuh diri, masalah kamu hilang begitu aja? Jawab, Dev." tangan Chesa bergerak menyingkap rambut Devian yang menghalangi. "Dasar Cowok lemah." gumamnya. Devian mendongak, ia tak terima jika dikatai 'lemah'. Chesa tidak goyah. Ia malah memberi tatapan menantang. "Kenapa? Kamu emang lemah kok. Segini aja udah berpikir mau bunuh diri. Kamu lemah daripada aku. Kamu berasal dari keluarga kaya, sedangkan aku dari keluarga miskin. Di sekolah, Mereka mengejek aku. Kamu pasti lihat, kan, gimana mereka hina aku? Memang aku pernah berpikir untuk bunuh diri waktu itu. Tapi saat aku lihat ibu dan adik aku, seketika aku merasa tujuan hidup aku kembali. Aku harus kuat dan tetap hidup demi Mereka. Aku harus buat senang Mereka yang ada selalu buat aku. Kamu masih mau bunuh diri? Kamu gak mau balas budi ke orang tua kamu? Jangan egois, Dev. Aku tahu kamu udah buat kesalahan yang fatal dan kamu harus jalanin hukuman akibat kesalahan yang kamu buat. Jangan ngelakuin hal bodoh kayak gini dan jangan bikin ibu kamu nangis. Dia udah bertaruh nyawa buat kamu biar kamu hadir dan dapat lihat dunia ini. Masa kamu mau sia-siain pengorbanan ibu kamu begitu aja?" kata Chesa tiba-tiba panjang. "Semuanya udah berubah. Percuma gue hidup di dunia ini. Gue cuma bikin Mereka kecewa." parau Devian, masih terdengar di gendang telinga Chesa. Chesa menggeleng pelan, "Gak ada yang berubah, Dev. Semua masih tetap sama. Pandangan kamu aja yang berubah." jeda. "...justru Mereka akan lebih kecewa kalau kamu lompat dari jembatan itu." Devian menangis terisak-isak. Chesa pun merasa terenyuh. Diraihnya tangan Devian untuk menggenggam tangan Devian dan menyalurkan kekuatan positif di dalam dirinya. "Kamu boleh nangis sepuasnya. Kamu boleh keluarin unek-unek kamu sekarang. Tapi setelah itu, kamu harus terusin hidup ini lagi." Devian tersentuh dengan perkataan Chesa. Gadis yang dulu dia ganggu, Gadis yang dulu dia hina, dan Gadis yang beberapa hari lalu nyaris ia bunuh kini justru ada untuknya dan memberi semangat hidup. Ia menyesal. Sungguh. Andai waktu bisa diputar, ia akan memilih melindungi Chesa dan tidak akan memihak Hana. "Hm? Kamu dengar perkataan aku, kan?" "Gue boleh peluk lo? Sebagai permintaan maaf." Chesa tergemap dengan permintaan Devian, namun mengingat keadaan Cowok itu, ia mengangguk pelan. Devian segera mendekap Chesa, "Maaf. Maafin gue." "Minta maaf ke Gio, bukan ke aku." "Maaf gue pernah nge-bully lo, Chesa." Chesa menggeleng, "Kamu gak perlu minta maaf." Devian melepaskan pelukannya. Dia menatap Chesa dengan penuh harap. "Boleh gue minta sesuatu lagi?" Langsung dibalas anggukan oleh Chesa. "Gue mohon, jaga Hana. Dia Kakak lo juga kan? Bikin dia sadar kalau perbuatannya selama ini salah. Gue enggak mau dia berbuat kesalahan lagi. Cukup gue aja yang berbuat salah." "Iya," "Satu hal lagi," Chesa semakin menatap serius Devian. "Kalau suatu saat nanti terjadi sesuatu di hidup Hana, pelakunya gue. Bukan Raka." kata Devian, melirih di akhir kalimat. Chesa bingung. "Ma--" Belum sempat menyelesaikan ucapan, terdengar bunyi petir menggelegar. Kilatan guntur bahkan terlihat walaupun sekilas. Chesa refleks memegang tangan Devian. Jantungnya berdegup tiga kali lipat. Bukan karena jatuh cinta, melainkan takut. "Ma--maaf," Gadis itu gugup. Dia mundur dua langkah untuk menciptakan jarak. Ia berdeham untuk menetralkan rasa gugupnya. "Dev, jadi... sekarang lo udah siap, kan?" **** Sore yang menjemukan. Hana memerhatikan Rumaisa yang tengah membersihkan halaman depan rumah. Sesekali, Rumaisa menoleh ke arahnya. Hana langsung mengalihkan pandangan dan berpura-pura sedang membaca buku. Namun berdiam diri seperti ini adalah hal yang paling membosankan menurut Hana. Dia butuh hiburan untuk membunuh rasa bosannya. Terlintas ide di benak Hana. Seringaian menyeramkan terbit di wajahnya. Dia berjalan ke Lova di ambang pintu saja, tengah mengeluarkan sepeda baru yang dibelikan oleh Ayahnya. Hana berjongkok untuk menyamai tinggi Lova. "Dek, sini dekat Kakak deh." "Buat apa?" "Sini." titah Hana sekali lagi. Tanpa penekanan. Mengingat, ada Rumaisa di dekatnya. Lova kecil menurut. Hana mendekatkan mulutnya pada telinga anak itu. "Kamu tau enggak, kenapa perut Ibu kamu besar?" Langsung dibalas gelengan. "Karena ibu nyembunyiin bola di perutnya. Nah, bola itu milik Kakak. Kamu mau ngambilin bola itu buat Kakak, kan?" tanya Hana dengan raut memohon. "Cala ngambilnya kayak apa?" Lova balik bertanya. "Gampang kok. Kamu... tinggal tendang perut ibu kamu biar bolanya keluar. Atau bisa... pukul pakai kayu. Gimana? Kam--" "HANA!" Hana membeku. Rumaisa dan Sang suami kompak mendatangi. Baru kali ini Chesa membentak sekeras itu. Pasti ada masalah yang serius. Chesa tidak menduga Hana mengajarkan hal sesat itu. Bisa-bisanya. Ia sungguh geram. "Lo kenapa ajarin adik gue kayak gitu, Han?! Jangan cemari pikiran polos adik gue dengan pikiran kotor lo." "Kenapa? Ada apa?" tanya Suami Rumaisa penasaran. "Kenapa kamu marah pada kakakmu?" kali ini Rumaisa yang angkat bicara. Hana panik. Ini tidak boleh dibiarkan. Dia memasang raut ketakutan. Tubuh tingginya itu berdiri. "Ta-- tadi aku cuma bilang ke Lova tentang cara naik sepeda. A--apa itu termasuk pikiran kotor?" "Gak! Dia bohong. Tadi aku jelas-jelas dengar Hana itu nyuruh Lova buat tendang perut Mama." kukuh Chesa. Hana mengumpat dalam hati. Mengapa parasit itu bersikukuh?! s**l. Rumaisa terperangah, ia menatap putri kecilnya. "Lova, tadi Kak Hana bisikin kamu apa?" Lova dengan wajah polosnya menoleh, "Tadi Kakak itu kasih tau aku cala ngambil bola." "Enggak, Dek. Kamu jujur aja. Gak perlu takut sama Kakak itu." sergah Chesa. "Jawab jujur, tadi kamu dibisikin apa? Dia suruh kamu buat nendang perut ibu. Iya, kan? Jawab pertanyaan Kakak, Lova. Jangan diam." cecar nya justru membuat Rumaisa semakin kesal. "Anak kecil tidak mungkin berbohong, Chesa." tegas Rumaisa. "kenapa kamu selalu menyalahkan Hana? Mamah gak pernah mengajarkan kamu seperti ini." "Sayang, udah. Ayo masuk." Suami Rumaisa mencegah sebelum Istrinya itu marah-marah. Karena tidak baik untuk anak Mereka. "Mamah, aku enggak bohong." ucap Chesa. Rumaisa menggeleng. Dia sudah tidak bisa lagi menghadapi Putrinya. Mereka berdua masuk bersama Lova, sementara Hana masih berdiri di dekat Chesa. "Utututu.. sabar yah. Ibu lo ternyata lebih percaya omongan orang lain dibanding anak sendiri. Makanya, jangan.berani.usik rencana gue." tekan Hana dengan suara pelan. Chesa berusaha untuk tidak membalas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD