Chapter 64: Fitnah

1001 Words
Hana menatap nanar. "Sembarangan! Gue gak bunuh dia! Orang dari tadi gue di rumah aja karena nggak enak badan. Lo nggak punya etika banget sih. Datang-datang langsung marah gak jelas." "Terus kalung itu kalung siapa?" parau Chesa. "Gue terima kalau lo bully dan ganggu gue. Gue terima semua itu. Tapi jangan sakiti orang yang gue sayang. Gue nggak nyangka lo se tega itu sampai-sampai bunuh Gio." "Fitnah. Gue hari ini nggak ke mana-mana, Parasit!" "Berhenti manggil gue parasit, pembunuh!" "Apa lo bilang?! Pembunuh?!" Hana mendengkus tak terima. Dia bahkan tidak ragu untuk menampar Chesa saat itu juga. Chesa tertoleh, namun matanya masih berapi-api sekaligus memerah. Mulai sekarang dia tidak akan takut! Untuk apa takut kepada seseorang yang tidak menghargai kita sama sekali? "Lo pembunuh gak langsung." "Nama dengan awalan huruf 'H' itu banyak! Bukan cuma gue doang. Kalau lo bodoh, mending gak usah menyimpulkan sesuatu!" elak Hana. s**l. Padahal Devian yang membunuh, bukan dirinya. "Siapa? Siapa orang yang punya awalan nama huruf 'H'? Di sekolah, cuma lo doang, Han! Lagian juga Gio selama ini gak punya musuh." Hana mencebikkan bibir. Ia maju, menjambak rambut Chesa. Chesa tidak goyah. Ia tetap berani menatap Hana, tidak seperti biasanya. "Oh, lo sekarang berani, ya. Mentang-mentang ibu lo udah jadi istri ayah gue, lo jadi belagu. Inget kedudukan lo, Chesa. Lo tetap di bawah. Sekalipun orang nyebut lo anak Ayah gue, tapi kenyataannya Ayah lo itu udah mati! Posisi lo tetap di bawah gue dan nggak akan naik. Sampai kapanpun." bisik Hana penuh penekanan. Chesa melepaskan tangan Hana yang mencengkram rambutnya dengan kasar. "Karma. Lo nggak percaya itu? Sekarang gue di bawah, tapi gak ada yang tau. Bisa-bisa, besok gue yang ada di atas lo." Hana tertawa terbahak-bahak. Chesa geram dan semakin benci melihatnya. "Silakan berekspetasi setinggi yang lo mau! Eh, jangan ketinggian. Nanti jatuhnya sakit, lho." Hana lanjut tergelak. Chesa mengepalkan tangan kuat-kuat. PLAK! Tamparan sukses mengenai pipi Hana. Mendadak, tangan Chesa gemetar. Ini... baru pertama kalinya. Pipinya terasa panas. Hana berjanji akan membalas lebih dari ini! Parasit itu tidak punya rasa takut sama sekali. Belum sempat Chesa membuka suara untuk meminta maaf, pintu dibuka oleh seseorang. Chesa menoleh ke samping, ia mendapati Sang Ibu dan Ayahnya tengah memerhatikan dirinya sekaligus Hana. Hana tiba-tiba menangis kencang. Ia berlari ke pelukan Ibunya sambil memegangi pipi bekas tamparan barusan. Oh, tidak. Chesa harap Hana tidak mengatakan sesuatu yang buruk tentang dirinya. Tapi, tunggu-tunggu. Ibunya tadi bilang akan ke luar negeri, namun kenapa malah di sini sekarang? "Ibu... Chesa... Nampar aku," adu Hana. Rumaisa mengamati pipi Hana yang kini telah memerah sekaligus terdapat cap tangan. "Tapi bagaimana bisa? Chesa itu anak baik. Dia tidak mungkin tega menampar kamu kecuali ada penyebabnya." ujar Pandu yang ada di sebelah Rumaisa. Walau dia baru mengenal Chesa, dia sudah tahu sifat Gadis itu seperti apa. "Jadi Ayah lebih percaya dia? Aku Hana, anak kandung Ayah. Chesa fitnah aku, katanya aku pembunuh temannya dia padahal dari tadi aku di rumah, nggak ngapa-ngapain. Badan aku lagi nggak enak, Yah." tutur Hana. "Apa? Pembunuh?" "Pembunuh?" Tanya Rumaisa dan Sang Suami secara bersamaan. Hana melenggut sebagai jawaban. "Ka--kalian bisa tanya ke dia langsung," Rumaisa melewati Hana. Ia menatap tajam Chesa. Chesa menggeleng cepat. "A--aku refleks mukul dia, Ma. Aku gak sengaja," "Siapa yang mengajarkan kamu bersikap seenaknya?" tanya Rumaisa lirih. Ia sangat malu dengan sikap Putrinya yang satu ini. "Ma, a--" Perkataan Chesa terpotong saat Sang Ibu menampar keras pipinya. Panas sekaligus perih. Ini tamparan kedua yang ia terima. Mengapa... ibunya lebih percaya dengan ucapan Hana? "Rumaisa! Kamu tidak boleh menampar dia." Pandu berlari mendekati. Di sana, Hana tersenyum samar melihatnya, tapi dia terbelalak melihat kalung berbandul inisial huruf 'H' terletak tidak jauh dari Ibu dan anak itu. Gawat! Dia harus mengambilnya. Kalau tidak, Mereka pasti berbalik mencurigai dirinya. Hana mendatangi Chesa, ia pura-pura merasa kasihan. "Ibu, jangan tampar dia." ucap Hana membuat Chesa mendecih pelan. Diam-diam, kaki jenjang Hana menendang kalung itu ke kolong sofa hingga tidak kelihatan lagi. "Mas, dia itu sudah memfitnah saudaranya. Dia pantas mendapatkan tamparan itu." ujar Rumaisa. Chesa kembali memandang Sang Ibu. "Aku bukan memfitnah, Ibu. Aku punya bukti." "Tunjukkan." Rumaisa menatap sinis. Chesa melihat ke bawah, dia mencari-cari kalung itu. Tadi perasaan ada di samping kakinya, tapi mengapa sekarang tidak kelihatan lagi? "Mana? Kamu berbohong, kan?" tagih Rumaisa. "Jangan mengambil kesimpulan dulu, Sayang. Kita tunggu Chesa menemukan buktinya." kata Pandu. Chesa berhenti, ia memandang Hana. Saat itu juga Hana tersenyum meremehkan. Chesa menyesal. Andai dia tadi mengambil kalung itu. Pasti sekarang ibu dan ayahnya percaya. "Mana, Chesa Auliza?" tanya Rumaisa, nada bicaranya terdengar kesal. "Tadi... Tadi kalungnya ada di sini. Pasti Hana yang ngumpetin kalung itu, Ma! Aku yakin." "Jangan memfitnah lagi. Saya kecewa sama kamu." mata Rumaisa mulai berkaca-kaca. Dia menarik lengan Chesa untuk masuk ke dalam kamarnya. Namun, baru beberapa langkah, Rumaisa berhenti. Dia menengok ke belakang. "Ini urusan anak dan Ibu, Mas. Jangan ikut campur." *** Hana berhasil mengambil kalung itu kembali. Ia lega, sekarang Ibu dan ayahnya sedang berdebat perihal Chesa. Dia jadi punya kesempatan untuk keluar terlebih dahulu ke suatu tempat. Mobil membelah di tengah-tengah ramainya jalanan kota Jakarta. Hana berhenti ketika sudah sampai di rumah yang ia tuju. Hana menutup pintu mobil. Tangannya semakin menggenggam erat kalung yang ia bawa. Pintu diketuk dengan tempo sedang sebagai waspada saja. Siapa tahu Raka ada di dalam rumah. Tak lama, Devian membuka pintu dengan raut lesu. Sudut bibir tipisnya perlahan terangkat mendapati orang yang dia sukai berdiri di depannya. "Apa kamu udah nerima aku?" Hana tidak menjawab. Ia justru melemparkan kalung itu ke Devian. Devian baru ingat. Itu adalah kalung yang akan ia berikan pada Hana ketika menyatakan perasaannya. Buru-buru ia menangkap kalung tersebut. "Ini... kok bisa ada di kamu?" "Kenapa lo ninggalin bukti, hah?! Lo pengin gue dipenjara?" tanya Hana dengan nada kesal. "Aku nggak sengaja jatuhin kalung itu. Mana mungkin aku pengin kamu dipenjara." "Dasar ceroboh." ejek Hana, dia berbalik badan. Devian segera mencegat Cewek itu. "Han, aku mau bicara sesuatu." "Apalagi sih?!" Hana menatap tajam. "Kamu masih belum mau nerima perasaan aku?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD