Chapter 65: Surat

1142 Words
"Pake tanya lagi! Sampai kapanpun gue nggak akan pernah mau jadi pacar lo, Dev! Hari itu gue udah kasih kesempatan, tapi lo malah gagal menuhin syarat gue." jawab Hana sukses membuat Devian sakit hati. Devian sudah berusaha keras melawan kata hatinya untuk tetap berani melakukan tindak kriminal itu. Tapi usahanya malah tidak ternilai di mata Hana. "Beri gue syarat lagi, Hana. Please," mohon Devian. "Eng.gak." Hana menekan kata-katanya sebelum ia pergi meninggalkan Devian yang masih setia menatap Hana. *** Chesa menangis sesegukan. Dia mengambil ponsel di nakas untuk menghubungi seseorang. Namun sudah puluhan kali dia mencoba menelepon Raka, tetap saja. Tidak membuahkan hasil sama sekali. Sekarang, dia butuh kehadiran Cowok itu. Raka pasti satu-satunya orang yang akan memahami sekaligus mempercayai dirinya. Tidak hanya menelepon, Chesa juga mengirimkan pesan berkali-kali. Tapi mengapa Raka mendadak susah dihubungi? Chesa jadi bingung sendiri. Chesa berdiri. Tanpa sengaja, matanya melihat pipinya yang merah karena tamparan Sang ibu berkali-kali dan Hana. Ia memegang bekas gamparan itu. Seketika Chesa meringis. Ia lanjut menengok jam di sudut dinding sana. 19:00. Belum terlalu malam. Chesa bergegas untuk ke apartemen. Tidak lupa, dia memakai masker untuk menutupi bekas tamparan itu. Chesa memakai mantel kasual berwarna hitam. Ia membuka pintu secara perlahan, kepalanya menengok ke kanan kiri untuk memastikan ayah dan ibunya sudah tidur. Suasana sepi membuat Chesa berani melangkah keluar. Ia berjalan mengendap-endap keluar rumah. Chesa menghentikan sebuah taksi. "Ke apartemen dekat rumah sakit, Pak. Tau tempatnya, kan?" "Iya," *** Pintu apartemen milik Raka, ia buka. "Raka... lo di mana?" Kosong. Tidak ada tanda-tanda Cowok itu ada di sana. Chesa membuka juga pintu kamar mandi. Dia tidak menemukan Raka juga. "Raka, lo di mana sih? Gue mau bicara sesuatu sama lo," "Raka!" "Permisi," Suara itu membuat Chesa menengok. "Ya?" "Apa Anda bernama Chesa?" "Iya, saya sendiri." Pramuhubung Perempuan itu menyerahkan sebuah surat. "Raka menitipkan ini," Chesa menerima. Surat? Dia jadi tidak sabar membukanya. "Terimakasih," "Iya. Saya permisi," Chesa langsung membuka surat tersebut. Sebenarnya ada apa sampai-sampai Raka menulis surat seperti ini? Dari Raka untuk Nyonya Farhanadi. Maaf, aku enggak kasih tau kamu dulu sebelum pergi. Ayah aku hari ini nikah, Ches. Aku dipaksa buat ke sana. Maafin aku. Kamu pasti sekarang lagi khawatir, kan, karena aku hilang tiba-tiba? Oh iya jangan lupa telefon aku buat update keadaan kamu gimana. Jangan lupa makan. Jangan nangis cuma gara-gara Hana. Jangan begadang. Nanti kecantikan kamu pudar. Jangan senyum di depan Cowok lain. Nanti Cowok itu suka. Inget larangan aku yang terakhir ini ya. Tertanda, Raka Farhanadi. Melihat dirinya dikatai 'nyonya', Chesa jadi terkekeh sekaligus malu. Mana ada marga di belakangnya lagi. Dia kan jadi ke ge'eran. Tapi setidaknya, Chesa lega setelah membaca surat dari Raka. Rasa penasarannya kini telah terjawab. Ia kembali mengambil telefon. Siapa tahu Raka akan meresponnya. Dia mencoba beberapa kali lagi. Hasilnya tetap sama. Tidak diangkat ataupun di respons. Ia lihat pesannya sudah dibaca, tapi mengapa tidak dibalas juga? *** Seorang Pria berjas rapi memandangi ponsel milik Sang Putra. Ia membaca pesan demi pesan yang masuk tanpa berniat membalasnya. Ternyata anak itu sudah mempunyai teman dekat, pikirnya. Mendengar suara langkah kaki, Dani meletakkan kembali benda pipih itu di nakas. "Boleh saya kembali lagi ke Jakarta?" tanya Raka, nada bicaranya begitu formal. "Kenapa secepat itu? Kau tidak mau menyambut ibu barumu? Ayo, sambutlah dia. Bersikap layaknya anak baik-baik." "Gak. Buang-buang waktu." Raka bergerak untuk mengambil ponsel di nakas. Namun, sebelum dia benar-benar mengambilnya, Dani malah... "Saya mau bicara." "Apa lagi? Soal istri baru Anda? Maaf, saya tidak tertarik untuk membicarakannya." Raka membuka laci tersebut, belum sempat membuka ponsel, Ayahnya membuka suara. "Bukan. Tapi tentang Gadis yang terus berusaha untuk menghubungimu." Raka diam sejenak. Barulah dia sadar kalau wanita yang dimaksud Sang Ayah adalah Chesa. "Apa?" akhirnya Raka bertanya. "Jangan menikah dengan wanita yang berbeda kasta. Keturunan Saya nanti bisa tercemar. Menjauh lah dari dia. Ayah akan mencarikan Gadis yang setara dengan level kita." Raka mendecih. Wajah Dani semakin datar memandang Putranya. "Anda juga mencemari keturunan. Wanita itu diambil dari hiburan malam, kan? Anda pikir saya tidak tahu? Seharusnya Anda bercermin terlebih dahulu sebelum memprotes saya." "Kamu berani melawan saya? Anak s****n! Kamu tidak ada bedanya dengan Dewi!" Dani mencengkram kuat kerah Raka. Rahangnya mengeras. Ia berusaha mati-matian untuk tidak melayangkan pukulan mautnya ke anak ini. "Jangan sebut nama Ibu saya. Nyatanya Anda yang b******k. Anda tega membiarkan orang sekarat daripada menolongnya." "Anda lebih memilih batu kerikil dibandingkan Berlian." "Anda Pria tidak waras." Raka mengatakan semua ejekan tanpa rasa takut sama sekali. Alhasil sebuah pukulan mendarat sukses di rahangnya. Tidak hanya itu, Dani juga menginjak-injak punggung Raka tanpa belas kasih. "Didikan siapa kamu, hah?!" "Kamu berani mengatai saya tidak waras?!" "Siapa yang mengajarkan semua itu, hah?!" "Mas! Udah! Kasihan dia." Renata datang. Ia bahkan memeluk Raka dari belakang supaya Sang suami berhenti. Raka yang merasakan itupun langsung berdiri. Ia mendorong tubuh Renata supaya menjauh. "Jangan dekat-dekat gue!" bentak Raka kasar. Ia mengusap darah yang keluar dari sudut bibirnya. "Raka!" "Udah, Mas. Biarin." Renata memegang lengan Dani guna mencegah pertengkaran. Raka melepas dasi secara paksa, lantas ia buang ke sembarang tempat. Tujuannya sekarang adalah untuk ke kamar seseorang yang sudah ia tidak temui selama puluhan tahun. Pintu dibuka oleh tangan besarnya. Dia masuk, melihat setiap sudut kamar yang sudah lama tidak terpakai. Wajar ada debu yang mengganggu indra penciumannya. Satu demi satu sudut kamar itu mengingatkan Raka pada kenangan masa lalu. Raka rindu sosok itu. Dia menyingkirkan kain putih yang menutupi foto berukuran besar itu. Foto wanita cantik. Bibir pucatnya selalu tersenyum ke semua orang. Tanpa sadar, air mata Raka menetes. Ia membawa foto itu ke dalam pelukannya. "Aku kangen Ibu," *** Esoknya, Gio dimakamkan secara Kristiani. Semua pelayat yang hadir ikut menangis saat mendengar tangisan pilu dari Alen. Gadis itu terlihat sangat terpukul serta tidak mau Sang Kakak dimakamkan. "Tenang, Dek. Walaupun Gio meninggal, kamu masih punya Kakak. Kamu harus rela," "Nggak, Kak! Aku enggak akan rela! Dia abang aku! Dia tempat curhat aku! Bang Gio juga selalu ada buat aku disaat Kak Ilona lagi sibuk kerja." "Kak Lona, tolong jangan biarin Bang Gio tidur di peti. Jangan biarin dia dikubur, Kak!" "Bang Gio bangun! Bangun! Jangan tidur kelamaan , Bang!" "BANG GIO!"' " KALIAN JANGAN KUBUR ABANG GUE! DIA MASIH HIDUP! GUE LAPORIN KE POLISI KALAU KALIAN TETAP NGELAKUIN!" Lengkingan Alen membuat beberapa penggali kubur bingung sendiri. "Dek, tenang. Dengerin Kakak. Abang kamu mau istirahat. Dia udah bahagia sama Ayah dan Ibu di atas sana. Kamu jangan begini. Kamu kira, kalau kamu teriak-teriak kayak gini, Gio bakal bangun? Enggak, kan? Percuma, Al. Malah kelakuan kamu sekarang ini pasti bikin Abang kamu sedih. Kamu nggak mau dia sedih, kan?" "Omong kosong. Gue bukan anak kecil yang mudah nurut sama penjelasan tadi. Minggir!" Alen mendorong tubuh Ilona ke samping. Ia menerobos semua pelayat yang menghalangi jalannya. "Dek--" Ilona mengurungkan niat untuk mengejar Adiknya itu. Ia beralih memandang tukang gali kubur untuk tetap melanjutkan proses pemakaman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD