Chapter 66: Alen Menggila

870 Words
Alen mengambil sebuah pisau dari dapur rumahnya. Dia menatap benda tajam itu dengan senyuman miring. "Lo bakal mati."' ucapnya saat orang yang ia sangat benci muncul di benaknya. Alen meletakkan pisau itu di saku celananya. Alen berjalan cepat untuk ke tempat tujuan. Sorot mata itu tajam sekaligus berapi-api. Rasa balas dendam sudah menguasai dirinya. Ia tidak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi selanjutnya termasuk resiko dari perbuatannya ini sebab tujuan dia sekarang adalah... menghabisi Chesa. *** "Udah nggak ada yang ketinggalan lagi, kan, Ibu, Ayah? jangan kayak kemarin. Ada yang ketinggalan terus balik lagi ke sini. Kan, Ibu lagi hamil. Kasihan adik aku." ujar Hana. Rumaisa terharu dengan kepedulian Hana. Ia bersyukur karena secepat ini dirinya sudah berjasil mengambil hati putri suaminya. "Tidak ada, Nak." "Mama mau berangkat lagi?" "Kamu jangan bikin keributan lagi." Rumaisa menatap tajam putrinya. Chesa menunduk, ia mengiyakan. Bersikukuh kalau Hana bersalah, hanya akan membuat Ibunya marah. Mungkin sekarang Chesa harus diam saja. Ia akan membuktikannya sendiri. "Sudah siap?" "Iya, Mas." "Ayo," Rumaisa masuk ke dalam mobil dengan Lova di gendongannya. Mereka bertiga pergi lagi. Chesa menghembuskan nafas. Ia masuk ke dalam tanpa mengatakan satu katapun pada Hana. "Heh!" Hana berdiri di hadapan Chesa sembari melipat tangan. "lo liat, kan? Ibu lo lebih percaya sama gue yang bukan anak kandungnya. Ibu lo bodoh. Dia percaya aja omongan gue." "Ibu gue nggak bodoh." Chesa melenggang masuk ke dalam kamar. Hana mendengkus kesal. BRAK! "s**l. Siapa lo?! Main masuk aja ke rumah." misuh Hana pada seseorang yang baru saja datang. "Mana Chesa?" "Lo siapa? Ngapain cari dia." "Bukan urusan lo. Jawab pertanyaan gue. Mana cewek itu?!" Alen menaikkan intonasinya. "Ih! Nyolot banget sih lo! Gak sopan. Ini tuh rumah gue. Harusnya lo yang sopan dong!" Hana balas membentak. Alena melotot. Pisau yang ia bawa, kini dia keluarkan. Alen menodongkan benda tajam itu tepat di depan wajah Hana. "Kasih tau atau gue gores ini ke wajah lo." Hana takut setengah mati. Di sisi lain, dia senang wanita itu mencari Chesa. Itu artinya Chesa akan lenyap! "Di--dia... di kamar itu." jawabnya. Alen membalikkan badan. Perlahan senyum Hana terbit. "Eh, lo mau bunuh dia?" Alen berhenti. Ia menengok ke belakang. "Udah gue bilang, bukan urusan lo." "Gue bisa bantu lo." seraya melipat tangannya, Hana mendekati Alen. Ia lantas menjulurkan tangan saat dekat dengan Gadis itu. "Musuh kita sama. Lo mau kerjasama?" Alen menatap Hana cukup lama. Masalahnya, dia tidak tahu siapa wanita itu. Bisa saja kan suatu saat nanti Hana akan mengkhianati dirinya. "Gak butuh. Lo Kakaknya cewek itu, kan? Lo aja berkhianat sama Adik lo sendiri apalagi sama gue yang bukan siapa-siapanya lo." "Oke," Hana menurunkan tangan. "Jangan lupa buat dia benar-benar mati." bisiknya kemudian menyeringai. Alen melengos. Ia masuk ke dalam kamar Chesa dengan pisau tajam. Alen sudah tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah. Dia dikuasai oleh rasa dendam. Chesa terperanjat mendapati Alen di dekatnya. "Al, kenapa lo--" Alen berlari menerkam Chesa sambil mengarahkan pisaunya. Chesa berteriak histeris. Dia menyingkir untuk menghindari tusukan itu. "Al, lo kenapa?! Jangan berbuat gini, Al. Percuma. Gak akan buat Gio kembali." "Lo harus mati, pembunuh!" "Al, gue minta maaf. Maaf. Jangan gila kayak gini." Chesa mengatupkan tangan. Alen tentunya tidak mudah luluh begitu saja. Dia justru mengejar Chesa, beruntung Chesa masih bisa menghindarinya. Kini dia berlari ke arah pintu. Namun di hadapannya muncul Hana. Chesa terbelalak. Ia memegang kenop pintu, tapi Hana lebih dulu memegangnya, kemudian pintu ditutup. "HANA! BUKA!" teriak Chesa histeris. "Lo nggak akan bisa kabur!" Alen menancap pisau itu. Chesa lagi-lagi bisa menghindar. Alhasil benda tajam itu mengenai tembok. Chesa berusaha membuka pintu kamar mandi. Oh, Tuhan! Kenapa sulit sekali?! Chesa gusar. Ia terus berusaha. Sedangkan Alena semakin berjalan mendekat. "Gue udah bilang, lo gak akan bisa lari." senyum Alena semakin lama makin mengerikan di mata Chesa. Hingga pada akhirnya, Alena berhasil mengunci pergerakan Chesa. "Hari ini, Abang gue meninggal gara-gara lo! Lo pembawa s**l. Kenapa lo muncul di kehidupan abang gue, hah?!" "Sumpah, Al. Ini bukan sepenuhnya salah gue. Ada seseorang yang nembak Gio. Gue nggak tau orangnya karena--" "Orangnya itu lo! Pembunuh Kakak gue itu lo!" tuduh Alena. Chesa menggeleng-gelengkan kepala. "Sekarang saatnya lo mati!" BRAK! "WOY!" Lagi-lagi Alena meleset. Ujung pisau itu justru menyayat lengan Chesa. Chesa berlari ke pelukan Raka yang baru saja datang. Ia begitu ketakutan. Ditambah lagi lengannya yang terasa perih. "Tolong. Dia... Dia mau..." "Diem. Kamu berdiri di belakang aku, oke? Jangan ke mana-mana." Raka mencium singkat kening Chesa. Chesa memejamkan mata, beberapa detik berikutnya Chesa berdiri di belakang tubuh tegap Cowok itu. "Jangan lindungin dia! Dia itu pembunuh yang pantas mati." "Lo nggak berhak merenggut nyawa seseorang. Pergi dari sini atau gue bakal telefon polisi." ancam Raka tidak main-main. "Enggak mau! Gue gak akan pergi sebelum dia mati!" tekad Alen. Ia berlari lagi ke arah Chesa, namun dengan sigap Raka merebut pisau dari tangan Alen. "Balikin!" "Pulang." "Gak! Lo siapanya dia, hah?! Lo jangan ikut campur." "Gue pacarnya dia, kenapa? Gue bertanggungjawab atas keselamatannya dia." "Oh, jadi lo pacarnya? Dasar Cewek gatel! Lo udah punya pacar, tapi masih aja deketin Abang gue." ujar Alen pada Chesa. Chesa menggelengkan kepala. Raka telah salah mengucapkan sesuatu. Mengapa Cowok itu main mengklaim dirinya? "KALIAN BERDUA HARUS MATI! KALIAN PENYEBAB ABANG GUE MENDERITA!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD