Chapter 67: Kerja Sama

978 Words
Alen berlari ke arah Mereka berdua. Menyadari Raka lengah, dia segera mengambil alih pisau miliknya. Alen menendang tulang kering Raka supaya Cowok itu duduk dan dia bisa melukai Musuhnya. Raka meringis kesakitan. Alen mengarahkan pisau tersebut, namun Raka menggenggam pisau itu. Ia menahan kuat-kuat agar benda tajam itu tidak mengenai tubuh Chesa. Tidak peduli dengan darahnya yang kini sudah menetes ke lantai. "Raka! Tangan lo!" teriak Chesa histeris. "Telefon polisi sekarang, Ches. Cepat." "I--iya. Se--sebentar." tangan gemetar Chesa bergerak di atas ponselnya. Ia memencet nomor darurat. Tak lama, suara polisi muncul. Chesa menceritakan segalanya dengan terbata-bata sekaligus panik. Di sisi lain, Raka mengunci pergerakan Alen yang sudah kehilangan kendali itu. Alen terus memberontak, namun bagaimana pun juga, tenaga Perempuan lebih besar dari laki-laki. *** Alen sudah dibawa ke kantor polisi. Chesa merasa lega. Kepanikan nya kembali saat melihat luka sayatan dalam di telapak tangan Raka. "Lo masuk dulu. Biar gue obatin lukanya," "Enggak perlu. Gue bisa ngobatin sendiri." "Jangan nolak, Raka. Ayo, sebentar aja." Chesa menarik lengan Cowok itu untuk masuk ke dalam. Ia menyambar sofa disusul oleh Raka. Keduanya duduk berhadap-hadapan. Melihat luka Raka saja, Chesa jadi ngilu sendiri. Apalagi yang merasakannya. "Sebentar, gue mau ambil kotak P3K dulu." "Nggak perlu, Sa. Lo obati aja luka di tangan lo. Biar gue yang ngobatin Raka. Btw, maaf gue telat dateng karena tadi gue ada di luar." ujar Hana berbohong. Ia tiba-tiba sudah ada di belakang Mereka dengan membawa sebuah kota putih berlogo tanda tambah. "Oke," Chesa menggeser duduknya, memberi ruang untuk Hana. Hana langsung mendudukkan diri di depan Raka. Jarak Mereka dekat hingga lutut Hana menyentuh lutut Raka. Chesa harus menahan diri. Ia tidak boleh cemburu. Lagian niat Hana baik. "Tahan sakitnya, ya. Cuma sebentar kok." Hana meraih telapak lengan Raka, tapi Cowok itu malah menjauh. "Gak. Biar Chesa aja yang ngobatin gue." "Tapi, dia--" "Ches, obatin luka gue." Raka berdiri. Ia mencomot kotak P3K yang berada di pangkuan Hana. Cowok itu kini berdiri di sebelah Chesa. "Ayo," "Hana yang mau ngobatin lo, Raka. Kenapa lo malah ke sini?" tanya Chesa dengan nada kesal. Yang jadi pikirannya, dia takut jika Hana mengusik dirinya lagi. "Gue gak mau. Gue mau diobati lo. Titik." "Gue juga nggak mau ngobatin lo." balas Chesa, ia membuang muka. "Oh, iya udah. Biarin tangan gue jadi terinfeksi terus diamputasi." Chesa terbelalak. Jangan. Ia tidak bisa membayangkan Raka hanya mempunyai satu tangan. "Gak boleh dong! Iya, gue obatin nih." Chesa buru-buru membuka kotak P3K itu. Diam-diam tangan Hana mengepal. Sampai sekarang bahkan Raka belum menerimanya! Menyebalkan. Ia melenggang pergi keluar rumah untuk mencari udara segar. Raka terus menatap paras Chesa. Di situasi apapun, Chesa terlihat cantik. Tangan Raka yang tidak terluka itu bergerak menyelipkan rambut Chesa ke belakang telinga agar tidak menutupi wajah. Pipi Chesa merona. Degup jantungnya mendadak cepat. Ya, Tuhan! Baru segini saja Raka sudah membuat jantungnya serasa akan copot. "Cantik," Chesa mendongak, netra hitam Mereka saling bertemu dalam satu pandang lurus. "Apa?" tanya Chesa kaget. "Lo jelek." Chesa mencebik kesal. Ia menekan luka di telapak tangan Raka spontan Cowok tersebut mengaduh. "Semua wanita itu cantik, Raka. Gak ada yang jelek." "Aduh-aduh, iya. Ampun." *** Proses pemakaman sudah selesai beberapa jam lalu. Seorang Pria berpakaian serba hitam serta topi sekaligus masker dengan warna yang senada, datang ke pemakaman itu sambil membawa sebuket buka. Dia berjongkok, meletakkan bunga tersebut di depan nisan makam Gio. "Maafin gue. Kalau aja lo nggak nyelamatin Cewek itu, mungkin sekarang lo masih hidup." tersirat penyesalan di kedua mata Pria itu. Namun, bagaimana pun juga semua sudah terjadi. Penyesalan selalu datang terlambat, kalau datang di awal namanya pendaftaran. Laki-laki bernama Devian itu pergi meninggalkan pemakaman setelah beberapa menit terdiam meratapi makam itu. Semalaman, dia tidak bisa tidur. Rasa bersalah selalu mengganggu. Dia juga tak dapat apapun setelah melakukan tindak kriminal itu. Hana malah terus terang menolaknya. Hidup Devian sudah hancur. Dia berharap, sang Ibu tidak pernah mengetahui hal ini. *** Raka setia mendengarkan penjelasan Chesa tentang penembakan Gio. Tidak membutuhkan waktu lama, Raka bisa menyimpulkan kalau orang di balik semua ini adalah Hana. "Lo percaya sama gue, kan, Raka? Aku gak bohong." "Gue percaya kok. Sekarang..." Raka meraih tangan Chesa, ia menggenggam erat. "Kita kerjasama, oke?" Chesa mengangguk. Senyum nya perlahan terbit. "Cuma lo doang yang bisa ngertiin gue," "Karena gue bisa bedain mana yang salah dan benar. Orang yang menganggap lo salah, otak Mereka berhasil dicuci dia." kata Raka. Kening Raka mengernyit melihat pipi Chesa yang memerah. Bukan karena blushing. Tapi itu terlihat seperti bekas tamparan. "Pipi lo..." "Eng--enggak apa-apa kok." "Siapa yang nampar lo?" "Bukan ini bukan bekas tamparan, Raka. Tadi gue gak sengaja ngebentur tembok." "Bohong. Jawab jujur, Ches. Gue gak suka kalau lo bohong kayak gini. Lo nggak usah nyembunyiin sesuatu dari gue. Kita ini udah lama temenan. Seharusnya kita lebih saling terbuka." jelas Raka. Chesa bergeming. Ia memikirkan, haruskah dia berbicara jujur? Ah, tidak-tidak. Ia tidak mau Hana marah dan memfitnah dirinya lagi sama seperti kemarin. "Chesa?" Yang dipanggil tersentak. "Ya?" "Lo pasti nyembunyiin sesuatu dari gue." "Nggak kok. Eh, ini udah sore. Lo gak pulang? Pasti Devian nyariin lo." "Devian mah bodoamat gue mau pulang atau nggak." jawab Raka santai. "Tapi kamu kan harus tetap pulang. Masa mau nginep di sini?" "Lo beri izin, kan?" "Izin apa? Nginep? Nggak lah, Raka. Ayah sama Ibu akan marah kalau tau." "Lo tetap tidur di rumah ini, Ches? Gak mau ke apartemen itu lagi?" tanya Raka membuat Chesa sadar. "Gue takut Hana bilang macam-macam ke Ibu kalau dia liat gue pergi sama lo, Raka." jawab Chesa jujur. Ia tentu tidak mau dimarahi oleh Ibunya lagi. Bukan karena takut pukulan, namun yang Chesa khawatir kan adalah kondisi calon adiknya. "Soal itu gampang. Kita perginya jangan barengan. Lo duluan aja, gue yang terakhir." "Bener juga, sih." "Jadi gimana?" Raka memastikan. "Iya, gue mau." "Mau apa?" mendadak Hana muncul di ambang pintu. Chesa gelagapan. Sedangkan Raka masih terlihat santai-santai saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD