Chapter 68: Happy Birthday!

2259 Words
Chesa menatap Raka sekilas, memberi isyarat untuk menjawab pertanyaan Hana. Kalau soal berbohong, dia tidak bisa, kecuali saat dalam keadaan terdesak. “Gue nawarin dia buat sarapan bareng besok pagi. Terus dia mau.” Bohong Raka. Hana dengan mudahnya percaya. “Oh, ya? Kenapa Cuma dia aja yang diajak? Kok gue enggak?” “Emang lo mau?” “Mau lah.” “Yakin?” “Yakin.” jawab Hana mantap. Chesa terperangah. Sebenarnya apa yang direncanakan Raka? Mereka bertiga hening kembali. Chesa baru teringat akan tugasnya. Ia berdiri seraya berkata, “Gue mau keluar dulu,” “Ke mana?” tanya Hana curiga. Ia menatap dua orang di dekatnya ini secara bergantian. Chesa gugup. Ia harus bilang apa coba. Mana dia belum menyiapkan alasannya lagi. “Kok diem?” nada bicara Hana berubah ketus. “Gu—gue mau ke—“ “Udah. Biarin aja dia mau ke mana. Sejak kapan lo peduli sama dia?” potong Raka. Ia berlagak memihak Hana. Hana kaget dengan sikap Raka yang tidak dingin lagi. "Iya juga, sih." "Han, lo tau enggak? Wajah lo makin hari makin cantik." Raka memulai sandiwaranya. Entah mengapa Chesa tidak suka mendengar hal demikian. Melihat Chesa masih mematung di tempat, Raka memberi tatapan isyarat agar pergi. Chesa pun mengangguk samar. Dia berjalan pelan-pelan keluar. "Ah, masa sih." Hana tersipu malu. Ia menyelipkan sisa-sisa rambutnya di balik daun telinga. "Iya. Serius. Di bandingkan dia, lo lebih cantik." bisik Raka. Hana tersenyum malu-malu lagi. Tapi rasa curiganya muncul ketika Raka melihat ke arah luar. Hana melihat sekitar. Ia baru sadar kalau Chesa sudah pergi. "Kamu liat apa, Raka?" tegur Hana. Raka menggeleng. Terdapat keringat di pelipisnya. "Gue ngecek aja. Siapa tahu tukang bakso lewat. Soalnya gue laper." "Oh, kamu laper? Kenapa enggak bilang dari tadi? Sebentar. Aku masak makanan buat kamu." Hana mulai berdiri. "Enggak usah. Sebentar lagi gue pulang." Hana yang tidak jadi berdiri pun duduk kembali. "Pulang? Secepat ini? Baru aja Chesa pergi. Masa lo mau pergi juga." jangan-jangan kalian sembunyiin sesuatu dari gue, lanjut Hana dalam batin. "Udah sore, Han. Enggak baik juga kalau tetangga lo liat kita berdua." Raka bangkit. Ia mengambil jaket hitamnya. Hana merasa ada yang salah. Tentu dia tidak akan membiarkan Mereka berdua. Ia benci itu. Alih-alih menyembunyikan rasa jengkelnya, Hana tersenyum. "Iya udah. Gue anterin." "Gak usah. Kalau lo habis nganterin gue, lo kan pulangnya sendiri. Bahaya." "Emm, oke. Hati-hati, ya." Raka tak menyahut. Ia berjalan pergi. *** Chesa keluar dari rumahnya. Ia berjalan ke arah Halte. Namun, niatnya dia urungkan ketika melihat sosok wanita yang ia kenal tengah berdiri di hadapannya. "Kak Ilona?" Ilona tersenyum. Ia mengangguk. Chesa buru-buru mendekati Ilona. "Kakak ada apa ke sini?" "Bicaranya di dalam mobil aja. Mau?" "Iya." Ilona membalikkan badan, lanjut melangkah ke mobilnya. Chesa setia mengikuti dari belakang. Ia masuk ke dalam saat Ilona membuka pintu mobil untuknya. "Jadi ada apa, Kak?" tanya Chesa sekali lagi. "Begini, Alen tadi datang ke rumah kamu, kan? Kakak mau minta maaf karena perilaku Alen yang udah membahayakan nyawa kamu. Kakak enggak menyangka dia bakal ke rumah kamu tadi. Ngomong-ngomong, kamu nggak pa-pa, kan?" "Aku baik-baik aja, Kak. Soal Alen, aku bisa maklumin dia kok. Adik mana sih yang enggak sedih dan marah kalau Kakaknya pergi?" Sudut bibir Ilona tidak berhentinya tertarik. Ia beruntung karena telah mengenal Chesa. Gadis itu ternyata adalah Gadis baik-baik. Walau semua menganggap Chesa merupakan pelaku pembunuhan Adik laki-lakinya, Ilona tidak percaya. Chesa juga merupakan korban. "Kak, kenapa ngeliatin aku kayak gitu?" tanya Chesa tidak enak. Ilona meneteskan air dari maniknya yang basah. Ia merangkum Chesa. Chesa tahu. Ilona terpukul atas kepergian Gio. Ia jadi merasa semakin bersalah. Tangannya itu mengusap punggung Ilona. "Maafin aku, Kak." Ilona melepaskan pelukan. "Kamu nggak perlu meminta maaf." "Kakak enggak nyalahin aku sama seperti yang lain? Aku orang kedua yang ada di TKP, Kak." "Kakak percaya penuh sama kamu." Suara motor terdengar melintas. Chesa melihat ke arah jendela. Ia tergemap mendapati Raka lah yang mengendarai kendaraan itu. Bagaimana caranya ia bilang kalau dirinya masih ada di sini? "Setelah ini, Kakak mau pindah ke luar negeri." Pernyataan itu membuat Chesa tambah kaget lagi. "Apa? Luar negeri?" "Iya. Tepatnya di Amerika." "Kenapa, Kak? Kenapa sejauh itu?" Ilona menyeka air matanya. "Kota ini banyak kenangan tentang dia. Kakak enggak mau berlarut-larut dalam kesedihan." Chesa menggeleng pelan. "Enggak--" "Kakak boleh minta sesuatu ke kamu?" "Boleh," "Tolong tengok makam Gio sebulan sekali, ya?" parau Ilona. Chesa menyengguk. "Iya, Kak." "Janji?" "Janji." *** Tidak terasa hari sudah gelap. Ia berjalan ke halte, namun tidak melihat keberadaan Raka di sana. Suasana halte begitu sepi membuat Chesa bergidik takut. Ia memutuskan untuk kembali ke rumah saja. Pintu lebar itu dibuka. Chesa masuk ke dalam, ia menutupnya kembali. Setelahnya ia menuju ke kamar. Hari ini begitu melelahkan. Chesa menguap, rasa kantuknya sudah datang. Ia berusaha bersikap biasa saja setelah mendapati Hana sedang tidur di sebelah ranjangnya. Chesa menarik selimut, ia menghadap jendela. Sementara di luar sana, ada seseorang yang mengetuk-ngetuk jendela. Kedua mata Chesa yang tadinya akan terpejam, seketika membulat sempurna usai tidak sengaja melihat Raka di luar sana. "Raka. Buat apa lo ke sini?" lirih Chesa sambil menekan kata-katanya. Ia bergerak membuka jendela itu. "Bukannya lo udah pergi tadi?" "Ssst." Raka meletakkan jari telunjuknya di bibir tipis Chesa. "pelan-pelan. Nanti Hana bangun." lanjutnya kisik-kisik. Chesa mengangguk cepat. "Ayo keluar." Kali ini Gadis itu menggeleng. Ia membuka jendela, kepalanya menyundul ke luar sana. "Gue nggak jadi ke apartemen. Lagian Hana udah nggak ganggu gue lagi kok. Lo liat, kan? Dia udah tidur." "Tapi sewaktu-waktu dia bisa bangun terus berbuat sesuatu buruk ke lo. Lo enggak takut?" "Enggak, Raka." Chesa menjeda. "ada Tuhan yang jaga gue. Lo sebaiknya pergi. Udah malam. Tidur." Raka luluh dengan tatapan Chesa. Ia seperti di hipnotis. "Hey, kok malah bengong?" "Ah, enggak." "Sana pergi." "Beneran lo enggak apa-apa nanti?" "Beneran, Raka." Chesa berusaha bersabar. "Iya udah. Lo tutup jendelanya. Nanti gue pergi." ucap Raka. "Enggak. Lo dulu yang pergi. Baru gue masuk ke dalam." "Nggak. Lo dulu." "Lo duluan." "Lo." Chesa menghembuskan nafas. "Oke. Gue duluan." "Nah, gitu dong." Raka merasa lega sekarang. Dia memerhatikan Chesa hingga Gadis itu merebahkan diri kembali dan menutup tirai jendela. Raka melangkah mundur. Ia berlalu. Meninggalkan rumah besar itu. **** Alarm berbunyi. Chesa terperangah. Ia menghentikan aktivitas melipat selimutnya. Ia melihat ponsel, alarm yang barusan bunyi tadi bukan untuk membangunkan dirinya melainkan sebuah pengingat. Hari ini hari ulang tahun Raka yang ke 18. Chesa hampir saja melupakannya. Ia bersyukur telah memasang pengingat di ponselnya. Kalau tidak, entah bagaimana nanti. Tiba-tiba ponselnya direbut. Chesa tersentak melihat Hana tahu-tahu sudah ada di sampingnya. "Berisik banget. Apaan nih?!" Hana membuka ponsel itu. Ia ternganga memandang nama Raka di sana. "oh, jadi hari ini ulang tahunnya dia." "Han, ponsel gue..." Chesa menunduk. Ia meremas kuat ujung bajunya. "Apa?! Balikin gitu? Nih!" Hana dengan teganya membanting ponsel tersebut di lantai begitu saja. Chesa memejamkan mata. Ia tak berani menoleh ke Hana. Hingga suara langkah terdengar semakin menjauh, barulah Chesa berani melihat ke arah ponselnya. Ia mendesau lega. Ternyata benda pipih itu rusak sama sekali. Chesa membungkuk, ia mengambilnya. "Kayaknya hari ini gue harus ke apartemen Raka," gumam Chesa. Dia lanjut ke luar kamar. Chesa sedikit was-was akan keberadaan Hana. Setahunya di jam segini, Hana akan pergi bersama Keisha. Mungkin ia harus menunggu puluhan menit lagi. Chesa mengambil sapu di sudut sana, ia berlagak sedang menyapu. Melihat pakaian Hana yang sudah rapi, ia bisa menebak Cewek itu akan pergi. "Keisha! Gue tungguin lo dari tadi, malah sekarang nyampenya." Hana merengut kesal. "Ya, maaf. Gue kesiangan." Keisha menguap. Jujur, sampai sekarang pun dia masih mengantuk. "Udah siap, kan, lo?" tanya Hana memastikan. "Udah. Eh, by the way, ngapain lo panggil gue pagi-pagi begini?" "Gue mau ke toko kue ulang tahun!" "Hah? Siapa yang ulang tahun? Lo? Perasaan tiga bulan lagi deh." Keisha berusaha mengingat. Setelah beberapa detik, ia merasa semakin yakin. "Bukan gue yang ulang tahun. Tapi Raka." "Wah, yang ke berapa?" "Delapan belas." "Ciee... Ciee... Udah semakin dewasa aja. Gue tunggu kalian pacaran, loh. Lo enggak berpikir buat menyatakan perasaan lo sekarang, Han?" tanya Keisha dengan nada menggoda. Sudah lama ia ingin Hana berpacaran dengan Raka, namun sampai hari ini keinginannya tidak kunjung terwujud. "Niatnya, sih, gitu, tapi..." "Tapi apa?" "Harusnya Raka yang nembak gue dong. Masa gue yang nembak dia. Enggak ah." "Lo jadi Cewek pemalu banget sih? Jangan sampe kayak si parasit itu." Keisha melirik ke arah Chesa yang sedang tertunduk sambil menyapu. "Amit-amit gue kayak dia. Yuk langsung pergi aja. Tokonya udah buka nih." "Yuk." sahut Keisha. Keduanya meninggalkan rumah. Chesa menengok ke arah pintu. Huh! Akhirnya! Usai mendengar suara mobil keluar, Chesa menutup pintu rumah rapat-rapat. Dia menggunakan celemek bernotif buah stroberi itu. Chesa mempersiapkan adonan untuk membuat kue. Untung saja Bi Surti sudah membeli segalanya kemarin. Jadi tidak ada yang kurang satupun. *** Apartemen itu kini tertutup rapat. Suasana di sekitarnya sepi. Chesa memencet bel itu. Tak lama, seorang laki-laki dengan baju putih polos serta kaus bermotif SpongeBob muncul. Ia menguap, matanya menyipit memerhatikan Gadis di hadapannya. Chesa memerhatikan Raka dari atas sampai bawah. Penampilan Cowok itu membuatnya hampir saja tergelak. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha mati-matian untuk tidak tertawa. Mendadak pintu ditutup. Chesa gelagapan, "Eh, kok pintunya ditutup?!" ________________69 "Raka, buka dong." "Gue tadi enggak liat kok." "Beneran." "Raka, gue bawain sesuatu buat lo. Buka pintunya please," Ia tak hentinya mengetuk pintu tersebut. Mengapa Raka tidak kunjung membukanya? Chesa menghembuskan nafas panjang. "Iya udah. Gue pergi lagi." Chesa membalikkan badan, saat itulah pintu kembali dibuka dan bahunya dipegang. "Tunggu." Chesa berbalik, celana Raka kini sudah berwarna biru polos dan tidak bermotif. "Gue kira lo marah," "Marah kenapa? Sini masuk." Chesa menurut. Ia masuk, menyambar sofa yang ada di ruang tamu. Tak lupa, dia meletakkan barang bawaan nya. Tidak banyak. Hanya dua bungkus yang berisi sesuatu spesial. "Jadi lo mau apa ke sini? Kangen gue kah?" Chesa tertawa kecil. "Kamu enggak ingat ini hari apa?" tanyanya. Mendengar Chesa berbicara dengan sebutan 'aku-kamu', Raka terkesiap dan jantungnya sukses dibuat berdegup tak karuan. "Hari apa? Ini hari minggu, kan?" "Anak TK juga tau kalau ini hari minggu, Raka." "Iya terus hari apa?" "Berapa umur kamu sekarang?" Chesa malah menanya balik. "Delapan belas." "Tahun kelahiran kamu?" "Dua ribu dua." "Hari kelahiran?" "Rabu." "Bulan?" "November." "Tanggalnya?" "Tujuh." Sudut bibir Chesa tertarik. "Jadi hari ini berarti..." "Ulang tahun aku, kan?" "Nah, itu tau. Kenapa tadi harus dibimbing kayak gitu coba." ujar Chesa sedikit jengkel. Chesa membuka bungkusan yang ia bawa. Tampaklah kue dengan rasa cokelat dan lilin berbentuk '18' tertancap di atasnya. "Happy birthday, Raka!" ucap Chesa penuh semangat. "Kamu tau? Aku baru pertama kali buat kue ulang tahun , loh. Jadi maklumin aja kalau rasanya enggak enak." "Wah, serius?" "Iya, Raka. Masa aku bohong." Chesa mengeluarkan korek api. Dia mulai menyalakan lilin itu. Raka bersiap. Ia mencondongkan wajah, meniup lilin tersebut. Dalam waktu sekejap, api itu padam. Chesa bertepuk tangan. "Yeay!" "Pisaunya mana?" "Oh, iya, bentar." Chesa membuka tas satunya. Ia mengambil benda tersebut. Raka memotong kue cokelat itu. Ia mengarahkannya pada Chesa. "Suapan pertama buat kamu karena kamu orang kedua yang selalu ada buat aku." Chesa tersenyum. Ia menggigit kue tersebut. "Orang ke satunya siapa?" "Ibu." jawab Raka dengan mata yang menyiratkan kesedihan mendalam. Chesa memegang pundak Raka. Dia menggeleng pelan. "Jangan nangis di hari bahagia." "Btw, aku bawa hadiah." Chesa akan membuka tas satunya, tetapi dia ditarik. Raka memperkikis jarak di antara Mereka. Chesa terpaku di tempat. Yang ia rasakan terakhir kali adalah pinggang dan pipinya dipegang. Ia memejamkan mata. Cowok itu lantas mengecupnya. *** Hana mengetuk pintu kos-kosan yang Raka tempati dengan senyum mengembang. Ia sudah tidak sabar lagi! Pasti dirinya lah yang mengucapkan selamat ulang tahun pada Cowok itu. Lihat saja nanti. Tak lama Raka akan luluh. Ekspetasi Hana seketika hancur mendapati Devian muncul di balik pintu. "Raka mana?!" tanya Hana tanpa basa-basi. Tidak mau dia berlama-lama dengan makhluk macam Devian ini. "Raka. Raka. Raka. Gue muak dengar nama itu, Han." jawab Devian frustasi. Bawah matanya kini menghitam. Akhir-akhir ini ia bahkan tidak bisa tidur karena wajah Gio selalu terlintas di benaknya. "Jawab gue. Raka mana?!" tekan Hana. Tangan Devian mengepal. "Sampai kapan lo mengharapkan sesuatu yang enggak pasti? Gue sahabatnya Raka. Gue kenal dia lebih dari lo. Asal lo tau, Hana. Raka itu cuma suka sama Chesa. Mereka sahabatan dari kecil, sedangkan lo hanya Cewek yang baru kenal Raka tiga tahun ini. Lo itu sebenarnya enggak suka apalagi cinta sama Raka. Lo terobsesi. Obsesi yang berlebihan. Gue mohon, lo sadar secepatnya sebelum obsesi itu hancurin diri lo sendiri." Hana mencebik. Ia tak segan menunjuk wajah Devian. "Diem! Bisa diem enggak lo?! Lo bukan ibu, ayah, ataupun teman gue. Lo bukan siapa-siapa gue! Ingat itu. Jadi jangan ngatur gue buat berhenti deket sama seorang Cowok. Bilang aja lo iri sama Raka. Iya, kan? Nilai, kepopuleran, wajah, semua itu Raka jauh lebih baik daripada lo." Hana melengos. Ia pergi meninggalkan Devian yang masih mematung dengan tangan terkepal kuat. Hana sudah menghinanya. Hana juga sudah meremehkan dirinya. "Aarggh!" Devian mengacak rambutnya. Dia benci. Benci pada dirinya sendiri. **** "A--aku... A--aku mau ke kamar mandi dulu." Chesa bergegas menjauhi Raka. Di belokan sana, dia berhenti dan menyandar di tembok. Ya Tuhan! Mengapa degup jantungnya sangat cepat. Peristiwa beberapa menit lalu terputar otomatis di benak Chesa. Hal itu membuat dia senyum-senyum sendiri. Pipinya bahkan sudah memerah seperti kepiting rebus. "Sabar. Tenang. Cuma segini doang, Chesa. Jangan baper." monolognya. "Ches, udah selesai?" Suara berat Raka terdengar di belakang sana. Chesa panik. Ia berlari ke kamar mandi. "Belum! Sebentar, ya!" teriaknya berlagak sedang menggunakan WC padahal dirinya berbohong untuk menormalkan degup jantungnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD