Chapter 63: Berani

1018 Words
Sapu lidi yang dipegang Pak Yadi terjatuh. Dia bergegas menghampiri Chesa dan Gio. "Ya ampun, Neng. Dia kenapa?" "Ada orang yang menembak dia, Pak. Cepat bawa dia ke rumah sakit!" Pria paruh baya itu langsung mengangkat tubuh Gio--menuntunnya turun dari rooftop. Keringat membasahi seragam Chesa. Ia memandangi tangannya yang berlumur darah. Gara-gara dirinya Gio jadi tertembak. Harusnya dia saja yang terluka! Chesa perlahan berdiri untuk menyusul Pak Yadi. Namun, kakinya terasa menginjak sesuatu. Ada yang mengganjal. Chesa menoleh ke bawah, dia mundur sedikit. Tampaklah sebuah kalung emas berbandul huruf 'H'. Chesa membungkuk untuk mengambil kalung tersebut. Melihat inisial 'H', Chesa jadi ingat akan seseorang. Ia menyimpan kalung itu di sakunya. Chesa lanjut berjalan menyusul pak Yadi. Semua murid spontan berteriak heboh. Suasana seketika menjadi riuh setelah melihat keadaan Gio yang berlumur darah. Gio ditaruh di ruang UKS dahulu untuk sementara. Beberapa anak PMR datang, berusaha agar pendarahan Gio terhenti. Chesa panik melihatnya. Ia berdoa pada Tuhan di dalam hati semoga saja Gio selamat dan baik-baik saja. Chesa tidak memedulikan semua murid yang berbisik padanya. Tak lama, ambulance datang. Gio dibawa ke dalam. Tidak lupa, Chesa ikut. *** "Peluru sudah menembus jantungnya. Pasien tidak bisa diselamatkan." Perkataan Sang Dokter membuat Chesa seketika lemas. "Enggak. Dia masih hidup!" Chesa menabrak Dokter yang menghalangi jalannya. Dia menerobos masuk ke dalam begitu saja. Seluruh badan Chesa bergetar hebat. Kaki jenjangnya itu berjalan perlahan mendekati brankar, di atasnya terletak tubuh Gio yang sudah ditutupi oleh kain putih. Keringat deras mengucur dari kening Chesa. Tangan tremornya itu membuka kain putih yang terdapat bercak-bercak darah. Wajah Gio begitu pucat. Bibir merah muda itu kini berubah warna menjadi putih pudar. "Enggak! Lo enggak mungkin meninggal! Bangun, Gi! Bangun! Gue... Gue ada di sini. Cewek yang lo dicintai ada di sini. Gue mohon, bangun! Jangan pergi secepat ini!" Chesa menangis histeris. Berkali-kali dia mengguncang badan Gio, namun Cowok tersebut masih belum juga membuka matanya. Chesa beralih memegang hangat telapak tangan Gio. Mengusapnya agar tangan Cowok tersebut tidak dingin lagi. "Sadar, Gi. Please, sadar. Gue... gue akan Terima cinta lo. Asalkan, lo harus bangun. Sadar. Gue mohon," parau Chesa. "Dasar pembunuh!" Mendadak seseorang menarik lengan Chesa dari belakang. Tamparan keras berhasil mendarat di pipi tirus Chesa. Chesa terkesiap mendapati Alen lah yang telah menamparnya. "Kenapa lo bunuh Abang gue, hah?! Abang gue salah apa?!" Alen mencengkam kerah seragam Chesa. Ia mendorong Chesa hingga terbentur tembok. Alen tidak puas begitu saja. Dia melayangkan tamparan untuk kedua kalinya. Chesa pasrah. Toh, dia yang salah. Dia yang menyebabkan Gio meninggal. Dia pantas mendapatkan itu. "ALEN!" Ilona menjauhkan Adiknya dari Chesa. Detik berikutnya, dia menampar Alen hingga tersungkur ke bawah. Mata merah Alen menatap nanar Ilona seraya memegang pipinya. "Kakak belain pembunuh itu? Adik Kakak siapa sih? Dia?" tanyanya dengan suara gemetar. "Bukan gitu. Dia bukan pembunuh. Kakak yakin, Chesa gak mungkin ngelakuin hal itu." "Enggak mungkin? Jangan tertipu sama wajah polosnya!" "Bu--bukan aku yang bunuh Gio, Kak. Tadi pagi, ada seseorang yang berusaha bunuh aku di rooftop, tapi Gio nyelamatin aku. Alhasil dia yang tertembak." tenggorokan Chesa terasa tercekat. Sebisa mungkin, ia harus menerangkan semuanya. Alen mendecih. "Karangan yang bagus." "Alen!" "Kenapa, Kak?!" Ilona menyeka air matanya. Ia beralih memandang sendu Chesa. "Lebih baik kamu pergi dulu," Chesa mengangguk pelan. Tubuh ringkihnya itu berjalan keluar. Namun, tidak disangka Alen malah menjambaknya dari belakang. Chesa memekik kesakitan. "Alen, lepasin dia." titah Ilona merasa geram. "Gue benci lo!" "Benci! Benci!" "Lo harus mati!" "ALEN! LEPASIN DIA!" ulang Ilona. Dia menarik adiknya menjauh. Dengan rambut acak-acakan, Chesa pergi dari rumah sakit. Semua mata menatap ke arahnya. Semua orang membicarakan dirinya. Mereka menilai dari apa yang Mereka lihat tanpa tahu yang sesungguhnya. Chesa mengeluarkan kalung dari sakunya. Ia meninjau cukup lama benda tersebut. Ya, sepertinya dia tahu, tujuan selanjutnya akan ke mana. *** Devian membuka topengnya. Kedua matanya berkaca-kaca memandang pistol yang ada di genggamannya. Dia sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Yang ia inginkan adalah balasan cinta dari Hana. Namun, Hana membuat dirinya melakukan hal nekat. Devian melangkah lebar ke rumah besar yang terletak di tengah-tengah kota itu. Hari telunjuknya memencet bel berkali-kali. Seorang Gadis membuka pintu. Siapa lagi kalau bukan Hana. Senyum Hana mengembang melihat baju Devian terdapat bintik-bintik darah. Cowok itu pasti sudah melaksanakan keinginannya dengan baik! Hana tiba-tiba memeluk Devian erat. "Makasih, sayang." bisiknya tepat di telinga Devian. "Maaf," Dahi Hana mengernyit. "Maksud lo?" Nada bicara Hana kembali lagi seperti dulu. Ketus sekaligus tidak bersahabat. Hana melepaskan pelukan. Ia menunggu apa yang diucapkan Devian selanjutnya. "Kenapa, Vian? Kok lo diem?" "Setelah dengar pernyataan aku, kamu bakal tetap baik, kan?" bodohnya Devian bertanya demikian padahal ia sudah tahu betul apa yang terjadi selanjutnya. Hana pasti kecewa. "Lo ngomong apa, sih?" "Aku... aku salah nembak orang." Hana membelalakkan mata. Telapak tangannya mengepal kuat. "Siapa yang lo tembak?! Kenapa bisa salah sasaran?" "Gio. Dia tiba-tiba datang dan nyelamatin Cewek itu." "Bodoh! Tembak lagi dong, kan, bisa." Hana memijit keningnya. Ah, padahal dia sudah bahagia tadi. Mengapa akhirnya jadi seperti ini?! Bibir tipis Hana menggumam, "Apa sekarang, Chesa masih hidup?" Devian melenggut lemah. "Pergi lo dari sini!" usir Hana mentah-mentah. Devian gelagapan. "Tunggu. Jangan usir aku, Han. Aku udah ngelakuin hal buruk demi kamu. Kamu sama sekali enggak menghargai perjuangan aku?" "Menghargai? Jangan harap." Hana membanting pintu, menutupnya rapat-rapat. "Han, buka, Han!" "Buka!" "Aku mau ngomong sesuatu!" "Han, hargai perjuangan gue sekali aja," "Hana Maheswari!" "Buka pintunya!" "Hana!" "Aku udah ngelakuin yang kamu mau, sekarang kamu harus balas cinta aku!" "HANA!" "s**l!" Devian meninju tembok. Ia mengacak rambutnya, frustasi. "KAMU AKAN JADI MILIK AKU SUATU SAAT NANTI, HAN! INGAT ITU!" teriak Devian sebelum meninggalkan rumah besar nan megah tersebut. Hana tetap duduk santai seakan tidak terjadi apa-apa. "Gak akan bisa gue jadi milik lo, Devian bodoh." *** Chesa keluar dari taksi. Tatapannya berapi-api seolah tidak akan membiarkan seseorang lepas begitu saja. Dia menerobos masuk begitu Hana membuka pintu. "Lo bolos sekolah?!" Seketika Chesa melempar kalung emas itu tepat di wajah Hana. "Itu kalung lo, kan?!" Hana murka. "Gak sopan banget sih lo!" "Lo yang lebih enggak sopan!" "Jawab! Lo pembunuhnya, kan?!" "Lo yang tadi pagi dateng ke sekolah dan nembak Gio, kan?!" "Jawab jujur, Han!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD