Chapter 29: Pemgganti

1032 Words
"Minggir." Hana memicing tajam. Beruntung, Raka sedang tidak memperhatikannya. "Minggir, Hana." ulang Devian dengan nada halus. "Nggak mau. Tempat aku duduk di sini." ucap Hana bersikukuh. "Gue bilang gak boleh, ya, gak boleh, Han." Devian menghela nafas. Ia berusaha untuk bersabar. "Raka, kamu nggak mau belain aku apa?" Hana merengut kesal. Ia mencoel pundak Raka. "Bener kata Devian. Cewek duduk sama cewek. Lo gak tau aturan itu?" jawab Raka dengan nada sinis. "Tapi kan, gue mau--" "Berdiri, Hana." potong Raka. Hana mendengus kesal. Ia akhirnya kembali ke tempat duduknya semula. Dia janji, besok ia akan menyuruh ayahnya untuk membuat peraturan baru supaya dirinya bisa duduk dengan Raka! **** "Mai, ajak anak kamu makan malam. Saya juga akan mengajak anak saya. Kita berempat akan berkumpul supaya bisa lebih dekat." Pandu memasukkan potongan steak ke dalam mulutnya. Sedangkan Rumaisa sedari tadi menutup mulutnya untuk menahan rasa mual. "Mai?" panggil Pandu lantaran dari tadi tak mendapat jawaban. "Iya, Mas. Eh, Tuan." sahut Rumaisa. "Panggil saya sesuka kamu. Sebentar lagi saya akan menjadi suami kamu jadi jangan terlalu formal memanggil saya." Rumaisa melenggut. "Sebentar, Mas." ia berlari meninggalkan Pandu yang masih terdiam di tempat dengan ekspresi penuh tanda tanya. Pandu bergerak mengikuti jejak calon istrinya itu. Benar. Seperti dugaan, istrinya itu mentah-mentah layaknya orang hamil seperti biasa. "Kayaknya aku harus pulang, mas. Maaf." ujar Rumaisa setelah rasa muntah itu hilang. Tubuhnya bersandar di wastafel. "Kamu tidak perlu pulang. Kamu bisa menginap di rumah ini." "Tidak. Lova pasti sudah menunggu saya, Mas." ya, Rumaisa memang tidak membawa anak keduanya itu ke sini sebab badannya terasa lemas jika membawa anaknya tersebut. "Saya akan bawa dia ke sini. Kamu tidak perlu cemas. Ayo, saya antar kamu untuk istirahat." Rumaisa akhirnya menurut. Dia dituntun oleh Pandu. Rumaisa mengikuti ke mana calon suaminya itu membawanya. Langkah Pandu terhenti di depan kamarnya. Ia menyuruh Rumaisa untuk masuk dan beristirahat di sana. "Tapi, Mas. Kamar ini..." "Mulai sekarang ruangan ini milik kamu juga." ucap Pandu membuat Rumaisa sedang dalam hati. "Tidak apa-apa, Mas?" tanya Rumaisa memastikan. Pandu mengangguk sekali. Rumaisa tersenyum. Ia melangkah perlahan ke dalam kamar itu. Ia tidak menyangka atas apa yang terjadi hari ini. **** Suara ketukan pintu berulang kali sekaligus memburu membuat perhatian Keisha teralihkan. Tumben sekali jam segini ada yang datang ke rumahnya. Daun pintu itu dibuka. Tampak lah seorang laki-laki yang Keisha tidak menyangka sama sekali kalau pria itu akan datang. "Om Pandu?" Keisha tergemap. "Ada apa, Om?" "Hana ada? Panggilkan dia. Suruh dia menemui Om sekarang juga." titah Pandu. Jelas dan padat. Begitulah sikap Pandu. Ia tidak suka bertele-tele karena... itu sangat membuang waktu. "Sebentar, Om. Saya akan panggilkan. Om bisa masuk. Gak enak, kan, nunggu di luar." "Tidak perlu. Om hanya ingin Hana menemui Om sekarang juga." tandas Pandu sekali lagi. "Ba--baik, Om." Keisha berbalik badan. Kakinya mengayun menuju kamar, tempat Hana berada. Apalagi yang dilakukan Hana selain rebahan dan bermalas-malasan. "Han, bangun." Keisha mengguncang pundak sahabatnya itu. "Han!" "Bangun woy!" Keisha berbicara lirih, namun penuh penekanan. Hana yang mulai terusik pun langsung terbangun. "Apaan sih?! Lagi tidur juga. Malah diganggu!" protes Hana. "Ayah lo ke sini." Seketika Hana duduk. Tatapannya itu penuh pertanyaan. Ngapain ayah ke sini? batin Hana. "Cepet ke sana. Nanti disangkanya gue gak sampein pesan lo ke ayah lo lagi!" desak Keisha. Hana menyingkap selimut yang menutupi setengah tubuhnya. Ia menarik langkah menuju pintu. Kini... Hana berhadapan dengan ayahnya. Ayah yang baru kali ini menemuinya. Ayah yang sangat jarang menanyakan keadaannya. "Ngapain lo ke sini?" tanya Hana to the point. Ia tak berniat untuk menjabat tangan sang ayah. "Pulang ke rumah." jawab Pandu dengan raut datar. "Buat apa?" "Kamu tidak mau tinggal dengan ayah? Sudah cukup kamu tinggal di rumah Keisha. Sudah waktunya kamu tinggal bersama ayah." jelas Pandu. "Ke mana aja lo selama ini? Kenapa baru sekarang lo ajak gue pulang? Kenapa gak dari dulu? Kenapa lo waktu itu gak cegah gue pergi?" "Yang sopan, Hana! Saya itu ayah kamu!" gertak Pandu. Hana mendecih. "Ayah gue udah mati 8 tahun lalu!" "HANA!" "Kenapa, hah? Lo mau marahin gue? Lo mau pukul gue? Silahkan! Gue gak takut!" tantang Hana. Ia bahkan melipat tangannya di d**a. Tatapannya itu terlihat meremehkan Pandu. Pandu tak bergeming sekali pun. Ia menatap datar putrinya. "Ayah minta, kamu ikut ayah pulang." "Gak! Gak semudah itu. Gue gak bakal kembali ke rumah orang yang udah bikin ibu gue meninggal. Gak akan pernah!" "Ayah tidak menyebabkan ibu kamu meninggal, dia--" "Cih! Lo pikir gue percaya?!" mata Hana memerah. Detik berikutnya netra cokelatnya itu sukses berlinang air mata. "Waktu gue umur sembilan tahun, di umur sekecil itu, gue liat lo sama perempuan lain. Gue jijik. Gue berusaha buat lupain kejadian itu. Tapi susah. Gue udah bilang ke Ibu, tapi Ibu lebih percaya pria pembohong kaya lo! Kenapa lo khianatin orang sebaik ibu gue, hah?! Sampai akhir hidupnya pun, Ibu masih berpihak sama lo! Gue benci! Gue benci lo! Pergi lo dari sini!" Hana mendorong tubuh Pandu hingga pria paruhbaya itu terdorong ke belakang. Pandu diam. Memang, itu semua salahnya. Namun, apa salahnya jika ia berniat menebus kesalahan itu? Hana baru saja akan menutup pintu, tapi Pandu menahan kuat pintu itu dengan kakinya hingga Hana kesulitan. "Pergi!" "Ayah akui, ayah salah saat itu. Tapi tidak salah kan, ayah ke sini untuk meminta maaf dan menebus kesalahan Ayah dulu? Ayah tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi." Pandu tampak begitu memohon. "Nggak. Gue gak akan maafin lo. Sebaiknya lo pergi." Hana memalingkan muka. Ia sama sekali tidak ingin menatap Pandu. "Ayah mohon. Apa pun, ayah lakukan supaya kamu memaafkan ayah. Kamu ingin apa dari Ayah?" tanya Pandu. Hana menoleh, "gue ingin lo pergi dari sini dan gak usah nemuin gue lagi selamanya!" "Sudah delapan tahun berlalu. Kamu kenapa tidak bisa melupakan masa lalu? Jika kamu terus seperti ini, saya yakin Ibu kamu tidak akan rela." "Mau rela atau nggak, gue enggak peduli! Sekarang lo pergi dari sini! PERGI!" Hana membentak. Pandu terkejut mendengar suara tinggi putrinya. Hana kembali memalingkan wajah. Ia mengusap kasar air matanya. Ia tidak boleh menangis! Dia harus terlihat kuat! Pandu maju tiga langkah. "Sayang, maafin Ayah. Ayah janji tidak akan mengulang masa lalu. Setiap orang pasti punya kesalahan kan? Anggap saja Ayah telah melakukan kesalahan, tapi cukup satu kali."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD