Chapter 30: Kejutan

1010 Words
Hana perlahan menengok, ia memandang wajah Pandu. "Apa lo bisa buktiin ucapan lo tadi? Gue nggak butuh omong kosong lo kaya tadi!" bentak Hana. "Bukti? Kamu ingin bukti? Bukti apa? Kejadian itu sudah bertahun-tahun berlalu. Semua orang sudah melupakannya. Termasuk ayah." Hana malah tertawa sumbang. Pandu mengernyit heran. "Semudah itu lo lupain kesalahan lo yang dulu? Ternyata bener apa kata hati gue. Lo bukan ayah gue. Lo pria b******k! Gue bingung, kenapa Ibu tergila-gila sama lo!" "HANA!" kali ini bentakan Pandu lebih keras daripada yang sebelumnya. Tubuh Hana gemetar. Ia tidak menyangka ayahnya akan membentak nya begitu kasar. Pandu membuang nafas kasar. "Saya tunggu kedatangan kamu ke rumah sampai kapan pun. Pintu rumah akan selalu terbuka. Saya pamit pergi. Saya harap, kamu secepatnya mau melupakan masa lalu dan memaafkan saya." Pandu membalikkan badan tegapnya itu. Setelahnya, ia masuk ke dalam mobil mewahnya. Hana membanting pintu keras-keras. Keisha yang dari tadi menyaksikan hal itu, ia merasa miris sendiri. Tapi, Keisha sadar, dia hanya sahabatnya Hana. Dia tidak berhak ikut campur masalah Hana dengan ayahnya. **** Chesa berkali-kali menengok jam dinding di rumahnya. Jam sudah pukul 7 malam. Ibunya sama sekali belum pulang juga. Mana Lova sudah menangis lagi. "Berhenti sedih, sayang. Kakak ada di sini. Ibu pasti sebentar lagi pulang. Kamu jangan nangis ya, okay?" Chesa berusaha menenangkan Lova. Ia menggendong adiknya ke sana kemari. "Lova tau? Kata Mama, kakak mirip banget kaya kamu waktu kecil. Kakak suka nangis kalau enggak berada di deket Mama. Ditinggal sedikit, Kakak langsung nangis. Sekarang Ka--" "Permisi." Suara berat itu mengalihkan perhatian Chesa. Ia penasaran siapa yang datang malam-malam begini. Perasaan takut muncul. Ia takut, orang yang datang itu adalah orang jahat. Perlahan pintu dibuka. Tampak seorang pria berpenampilan rapih berdiri di hadapannya. Terkejut? Jelas. Ditambah lagi, prasangka buruk pada pria itu menghilang seketika. "Om siapa?" tanya Chesa. "Kamu belum tahu saya? Apa Ibumu tidak pernah bercerita tentang saya?" Chesa membersut. "Nggak tau, Om. Om ini siapa? Kok bisa kenal Mama saya?" "Saya majikan Ibu kamu." Chesa tergelak. Raut wajahnya tidak percaya mendengar pernyataan tadi. Tetapi memang wajar sih, penampilan pria itu tampak rapih dan berkelas. Berbeda dengan dirinya. Bagi Chesa, berpakaian lengan panjang dan rok panjang juga itu lebih dari cukup. Chesa langsung membungkuk sopan. "Saya Chesa, Om. Oh iya, ada apa Om ke sini? Mama saya kok belum pulang? Apa Mama lembur?" Pandu merasa lega. Kelihatannya calon anaknya ini terlihat baik dan ramah. Jadi, ia tidak perlu berusaha terlalu keras. "Ibu kamu ada di rumah saya. Kamu ikut saya, ya? Tunggu, sebelum itu, kamu kemas barang-barang kamu. Malam ini, kamu akan pindah." Pandu menerangkan. Chesa tambah tercengang. Kejutan apa lagi ini?! "Tapi, Om. Buat apa saya pindah? Saya sudah punya rumah ini, Om." jawab Chesa merasa tidak enak. "Rumah ini bukan rumah milik kamu lagi. Kamu akan ke rumah saya dan menetap di sana." "Ma--maksud Om? Menetap di sana?" "Iya. Ibu kamu adalah calon istri saya. Itu artinya, kamu anak saya nanti. Sudah jadi kewajiban seorang ayah memberi rumah terbaik untuk putrinya." terang Pandu. Syok. Rasanya Chesa akan pingsan saat itu juga! Kedua mata Chesa memperhatikan setiap sudut rumah di sekelilingnya. Mewah banget, batin Chesa takjub. Ia kemudian duduk di sofa dengan ragu-ragu. Pria yang katanya majikan ibunya itu belum turun dari mobil lantaran membawa adiknya. Chesa sudah mengatakan agar dia saja yang membawa Lova, namun Pandu menolak dan bersikukuh. “Ibu kamu sedang beristirahat di kamar saya. Kamu bisa ke sana kalau kamu mau menemuinya.” ujar Pandu. Di lengannya sudah menggendong Lova yang tengah tertidur pulas. Baru saja ia membatin tentang orang itu eh, sekarang muncul. Chesa tersenyum. “Mama saya sedang istirahat kan, Pak? saya tidak berani mengganggunya." "Baiklah. Benar juga kata kamu." Pandu mendudukan diri di hadapan Chesa. "Kamu sepertinya seumuran anak saya. Dia cantik seperti ibunya. Tapi sayangnya, hari ini dia tidak mau pulang." "Kalau boleh tau, anak Om tinggal di mana sekarang? Siapa tau, aku bisa ke sana dan membujuk anak om biar mau ke sini." balas Chesa. "Dia tidak mudah untuk dibujuk. Dia keras kepala. Sejak ibunya meninggal, dia membenci saya. Iya, saya tahu saya salah. Tapi saya tidak salah untuk meminta maaf kan?" ucap Pandu mulai membagi unek-unek di pikirannya. "Om tidak salah jika mau meminta maaf. Semua manusia wajar, kok, meminta maaf setelah berbuat kesalahan." ujar Chesa berusaha menenangkan. Seorang pelayan mendadak muncul dengan membawakan dua gelas minuman. "Makasih," Chesa tersenyum ramah kalau pelayan itu meletakkan gelas berisi minuman di depannya. "Nama sekolah kamu apa?" "SMA Ka--" Belum sempat Chesa menyelesaikan ucapannya, Lova sudah menangis duluan. Rupanya adiknya itu belum nyaman digendong orang baru. "Biar saya yang gendong Lova aja, Om." tutur Chesa. Pandu memandang Lova. "Ternyata sudah bangun, hah? Kamu mirip seperti ibumu." ujar Pandu pada Lova. Chesa mengambil alih sang adik. Barulah tangisan Lova berhenti. Mungkin ini yang disebut keterikatan hubungan kakak-adik. "Umur adik kamu berapa?" "Nanti Januari dua tahun, Om." "Chesa? Sejak kapan kamu di sini? Mas kok tidak bilang-bilang mau mengajak mereka ke sini?" Rumaisa yang baru saja bangun pun langsung menghujani dengan bertubi-tubi pertanyaan. "Baru beberapa menit. Saya tidak mau membuat putri kamu ini cemas karena ibunya belum pulang." sahut Pandu. Rumaisa beringsut duduk di samping Pandu. Chesa yang melihat hal itu pun teringat ayahnya. Jika saja orang yang duduk di sebelah ibunya adalah ayah kandungnya sendiri. Rumaisa mengambil Lova dari gendongan Chesa. Hal itu lah yang membuat lamunan Chesa buyar. "Kalau kamu capek, kamu bisa istirahat di kamar, Nak." ujar Rumaisa lemah lembut. Chesa senang mendengarnya. "Nggak, Ma. Aku belum terlalu capek." "Oh iya udah. Bentar ya. Mama ambilin camilan buat kamu." Rumaisa meletakkan Lova terlebih dahulu di sofa. Setelahnya, dia berdiri, namun lengannya dicekal oleh seseorang. "Biar saya saja." ujar Pandu. Rumaisa melenggut, ia kembali duduk. Akhirnya Pandu berjalan ke arah dapur. Chesa menatap ibunya dengan tatapan penuh tanda tanya. "Kita kapan pulang, Ma? Kenapa aku tiba-tiba disuruh tinggal di sini?" tanyanya sepelan mungkin. Ia takut jika Pandu mendengarnya. "Diam kamu. Kamu mau kita tinggal di rumah kotor itu lagi? Lebih baik, kamu tidak protes." Rumaisa balas menatap tajam. Chesa menunduk. Mengapa sikap ibunya berubah? Aneh sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD