Chapter 31: Muka Dua

1010 Words
Mereka bertiga saling mengobrol dan bercanda tawa. Chesa bahagia melihat senyum yang terukir di wajah ibunya. Selama ini, ibunya sering terlihat kelelahan. Tidak ada senyum yang terukir di bibir tipisnya. Tapi sekarang Chesa senang. Ibunya sudah tidak seperti itu lagi. Kini, Chesa tengah duduk di kamar yang sudah disediakan oleh Pandu. Ukuran kamarnya cukup luas. Dindingnya dicat dengan warna putih membuat kesan natural pada ruangan itu. Bunyi notif dari HP nya melantarkan Chesa membuka benda pipih itu. Seketika dia tersentak. Besok tepatnya hari senin adalah peringatan kematian ayahnya. Mata Chesa sukses dibuat berkaca-kaca saat wajah ayahnya terlintas di benaknya. Pintu kamar dibuka oleh seseorang. Chesa buru-buru menoleh. Ia mendesau lega melihat sang ibu. Rumaisa melangkah mendatangi Chesa. "Jangan tidur larut malam." ujar Rumaisa, mendudukkan diri di samping putrinya. Chesa mengiyakan. "Mama inget besok hari apa?" tanya Chesa usai terdiam sesaat. "Hari apa? Ulang tahun kamu? Atau Lova?" tebak Rumaisa. Sorot mata Chesa yang sendu itu kini berubah kecewa. Ibunya bahkan sudah lupa. "Mama kenapa gak inget?" "Maksud kamu? Tidak ingat apa?" tanya Rumaisa terheran-heran. "Ayah. Besok peringatan kematian ayah, Ma. Masa Mama lupa. Padahal, kan, ayah itu suami Mama." Rumaisa yang mendengar itu tidak terima. Suami pertamanya itu sudah meninggal. Otomatis dia berstatus janda bukan sebagai istri lagi. "Diam kamu. Mama bukan lagi istri ayah kamu. Sebentar lagi kamu punya ayah baru. Mama pengin kamu fokus sama ayah baru kamu. Lupain ayah lama. Dia sudah meninggal dan tidak akan kembali lagi." Hati Chesa mendesir perih mendengarnya. "Mama kenapa tega bilang kaya gitu? Walaupun Ayah udah meninggal, Chesa tetap anggap dia ayah aku sendiri, Ma. Mama kenapa sih? Dulu setiap menjelang hari peringatan kematian ayah, Mama selalu antusias buat bersiap-siap ziarah ke makam Ayah, tapi sekarang Mama malah..." "Oh, bagus. Kamu mau Mama terus hidup di dalam bayang-bayang masa lalu? Kamu mau Mama terus sedih? Kamu mau Mama terus mengingat masa lalu? Iya? Itu, kan, mau kamu?" terka Rumaisa. Chesa menggeleng cepat. "Bukan. Bukan itu maksud aku, Ma. Chesa cuma kecewa karena Mama suruh aku buat ngelupain ayah kandung aku sendiri. Chesa nggak bermaksud buat Mama sedih." "Sudah lah. Mama tidak mau dengar omongan kamu lagi. Mama ternyata salah. Seharusnya Mama tidak mendatangi kamu." Rumaisa berdiri, meninggalkan Chesa. Pintu ditutup lumayan keras. Chesa tertunduk lesu. Ia tidak bermaksud seperti itu. Mengapa ibunya tidak mengerti. ***** Dengan membawa sebuket bunga beraneka warna, kaki jenjang Chesa melangkah ke sebuah makam yang sudah rata. Di makam itu sudah terdapat nisan bertuliskan nama ayah kandungnya. Chesa perlahan berjongkok di samping makam itu. "Ayah, Chesa datang. Maaf, Chesa datang sendirian. Mama sama Lova ada di rumah, Yah. Mereka lagi sibuk. Ayah tau? Mama udah dapet pengganti ayah. Ayah jangan sedih ya. Chesa gak bakal lupain ayah walaupun aku udah punya Ayah baru nantinya." lengan kirinya tergerak untuk menyeka air mata. "Gimana keadaan Ayah di sana? Baik-baik aja kan?" Chesa meletakkan sebuket bunga itu di depan nisan sang Ayah. Sebelum dia pergi, Chesa membaca doa terlebih dahulu untuk ayahnya. "Yah, Chesa pergi dulu ya. Nanti kapan-kapan Chesa bakal ke sini lagi. Ayah yang bahagia di sana, ya." ujar Chesa seolah ada ayahnya di sana. Punggung lebar dibalut dengan jaket membuat perhatian Chesa teralih saat itu juga. Orang yang sedang berjongkok di sebelah makam itu sepertinya ia kenal, tapi Chesa ragu dengan dugaannya sendiri. Chesa menggelengkan kepalanya. Ia tidak berani menyapa orang asing itu. Mengingat, ia berada di tempat seperti apa sekarang. Alhasil dia melangkah keluar area pemakaman. Setelahnya, Chesa harus menunggu ojek yang ia pesan secara online datang. Sebenarnya Chesa bisa saja meminjam mobil ayah barunya, tapi ia merasa tidak enak. "Lo kok di sini?" Chesa buru-buru mengalihkan pandangan. Matanya terbelalak. Pantas ia merasa kenal dengan seseorang yang duduk di pemakaman yang ia lihat tadi. Ternyata orang itu adalah Raka. Mengapa dunia sempit sampai-sampai Raka selalu ada di mana-mana. "Iya." sahut Chesa akhirnya. "Mau gue antar pulang?" Raka menawarkan. Chesa mengibaskan tangannya. "Nggak usah. Sebentar lagi ojek dateng kok." "Cancel." "Enggak." tolak Chesa mentah-mentah. "Kenapa hari ini lo ke makam?" tanya Raka penasaran. "Hari ini peringatan kematian ayah gue. Jadi gue ziarah ke makam ayah." jawab Chesa seadanya. Chesa baru teringat. Hari ini juga peringatan kematian ibunya Raka. Tunggu. Apa jangan-jangan ingatan Raka kembali? Kepala Chesa menoleh ke cowok tersebut. Raka masih setia menatapnya. "Kenapa?" Raka bertanya. "Lo..." notif pesan berbunyi. Ucapan Chesa terpotong. Lengan kanannya merogoh saku, mengambil benda pipih tersebut. Bang ojek: maaf neng. Saya hari ini harus menemani istri saya yang mau lahiran. Jadi saya tidak bisa menjemput neng. Sekali lagi saya minta maaf. Chesa: oh, ya, udah. Tidak apa-apa, Pak. Bahunya merosot usai mengetikkan pesan barusan. Ia ingin sekali protes, tapi itu hanya akan sia-sia saja. "Pesan dari siapa?" tanya Raka. "Gak kok. Bukan dari siapa-siapa." respons Chesa, memasukkan kembali ponselnya. "Bohong. Itu pasti dari tukang ojek. Gue liat semuanya, Ches." Raka tersenyum miring. Chesa merinding melihatnya. "Ikut gue. Bahaya buat cewek sendirian di tempat kaya gini. Lo mau kenapa-napa?" Raka berbalik badan, Chesa terus menatap, mengikuti arah ke mana cowok itu pergi. Raka mengambil helm full face, lalu memakaikannya. Setelah itu, Raka naik ke motor dan menjalankannya, namun berhenti tepat di hadapan Chesa. "Naik." titah Raka. "Nggak." Lagi-lagi Chesa menolak. "Yakin?" "Iya." "Tempat ini sepi, gak ada orang selain kita. Kalau gue tinggalin lo berarti lo sendirian di sini. Hari-hari biasa kaya gini jarang ada orang yang mau ziarah." jelas Raka panjang lebar. "Biarin." "Beneran berani?" Mata Chesa mengelilingi, memperhatikan setiap sudut di sekitarnya. Memang benar, sih, apa kata Raka. Di tempat yang ia pijaki sekarang begitu sepi. Tidak ada satu orang pun. Eh, tunggu. Ada orang selain dirinya dan Raka. Orang itu adalah penjaga area pemakaman. Tapi tetap saja. Penjaga itu orang asing baginya. "Berani. Gue bisa jalan kaki kok. Jadi lo gak perlu repot-repot anterin gue. Udah sana." usir Chesa. "Tapi gue gak rela biarin lo sendiri di sini. Cepat naik. Lagian jarak tempat ini ke rumah itu jauh. Lo nggak bakalan sanggup." kata Raka. "Sanggup kok." "Nggak." "Sanggup." "Gak." "Sanggup." "Gue bilang enggak, ya, enggak." raut Raka masih terlihat tenang walaupun gadis di depannya ini sudah dibilang, memancing emosinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD