Chapter 32: Peringatan Kematian

1011 Words
Ya udah deh! Gue ikut." ujar Chesa sedikit membentak. Pada akhirnya dia yang mengalah. "Gitu dong." ucap Raka, mengambil helm full face, kemudian memakaikannya pada Chesa. Sejenak ia dibuat terpana oleh gadis di depannya. Mata Gadis itu, Raka menyukainya. Chesa terdiam, bibirnya mengatup. Jantungnya sudah jempalitan! "Udah." Chesa melangkah mundur. "Naik." titah Raka. Tanpa disuruh, Chesa juga mengerti. Ia berjalan ke belakang, lantas naik. Raka menjalankan motornya dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, mereka berdua diam. Tidak ada yang mau melontarkan pertanyaan. Raka menunggu serpihan ingatan masa lalunya muncul. Karena setiap dia berada dekat dengan gadis di belakangnya ini, ingatan masa lalu itu muncul. "Belok ke kanan ya. Rumah gue di sana." Chesa angkat bicara. "Udah pindah?" "Iya." "Sejak?" "Kemarin." Raka sedikit menoleh ke belakang. "Jangan bilang lo--" "RAKA AWAS!" Chesa melotot ketakutan. Ia bahkan refleks memukul punggung Raka supaya pandangan cowok itu teralih ke depan. Saat Raka memandang kembali ke depan, seketika dia terbelalak, sama seperti Chesa. Sebuah truk beruntun melaju kencang ke arahnya. Spontan Raka mengendarai motornya ke samping. Mereka berhasil menghindar dari tabrakan truk, namun motor Raka membentur pohon besar cukup keras hingga mereka berdua terpental cukup jauh dan berlawanan arah. Helm yang dipakai Raka terlepas. Kepalanya menghantam batu membuat darah mengalir. Chesa tidak sanggup untuk membuka mata. Seluruh badannya terasa sakit semua. Matanya terpejam rapat. ****** Kedua mata Raka pelan-pelan terbuka. Usai kesadarannya terkumpul, ia terduduk. Netra cokelatnya mengeliling ke setiap sudut ruangan putih yang ia tempati saat ini. Baru saja ia akan berdiri, kepalanya malah terasa sakit. Potongan-potongan ingatan yang abstrak mulai melintas di benaknya. Raka memegangi kepalanya berbalut perban yang terdapat bercak-bercak merah. Gadis itu terus muncul di pikirannya. Sekarang... Raka tersadar kalau... Chesa adalah gadis yang ia cintai. Chesa adalah gadis yang harus ia lindungi. Chesa adalah teman masa kecilnya. Dan juga Chesa adalah cinta pertamanya. Raka menyingkap selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Ia juga mencabut paksa infus yang melekat di punggung tangannya. Raka berusaha keras untuk berjalan di tengah kepalanya yang terasa amat sakit. Mendadak, pandangannya kabur. Ia berpegangan pada dinding, namun tetap saja. Raka tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Raka terjatuh. Tak sadarkan diri. ***** Kedua mata Chesa terbelalak. Ia buru-buru duduk, "Raka. Dia pasti kenapa-kenapa." "Mau ke mana kamu?" tanya Rumaisa yang tengah duduk di sofa. Chesa meringis kesakitan merasakan nyeri di sikunya. Ia baru sadar, ternyata lengannya diperban. Kaki kanannya juga. "Dokter belum mengizinkan kamu ke mana-mana dulu." lanjut Rumaisa, mendatangi Chesa. "Ma, Raka mana, Ma? Dia baik-baik aja kan? Aku harus ke sana, Ma." "Chesa." Rumaisa geram. Ia membuang nafas perlahan, "dia di ruang sebelah. Kamu tidak boleh berjalan ke mana-mana dulu!" ujarnya sekali lagi. "Tapi, Ma. Raka butuh aku." "Duduk, Chesa. Ini permintaan mama." ujar Rumaisa, memaksa mulutnya untuk berbicara halus. Bahu Chesa merosot. Ia terduduk. "Kamu ada hubungan apa sama Raka? Kenapa kalian sampai kecelakaan? Harusnya kalian hati-hati. Kamu ganggu Mama aja! Hari ini Mama mau pergi, tapi gara-gara kamu, semuanya batal." Rumaisa mendengus. "Kenapa Mama bilang kaya gitu? Mama boleh kok pergi sekarang. Chesa bisa ngurus diri Chesa sendiri." responsnya. "Terlanjur. Saran kamu tidak berguna lagi. Lebih baik kamu duduk. Diam di sini sampai dokter bilang kamu sudah sembuh total." tegas Rumaisa. Chesa terdiam. Namun pikirannya terus memikirkan Raka. "Mama mau keluar buat beli makanan. Kamu di sini. Awas kalau kamu berusaha pergi lagi." Rumaisa berdiri, meninggalkan Chesa yang masih terhanyut dalam pikirannya. ***** Raka kembali sadar. Kedua matanya melihat seorang suster yang sedang menutup sebuah kotak obat. Sekarang, ia harus bertemu Chesa. Harus. Selama beberapa bulan ini, ia telah kehilangan ingatan. Itu artinya ia tidak melindungi Chesa dari Hana dan juga Keisha selama itu. "Sus," Suster mengadah. "Iya, ada apa?" "Pasien yang bernama Chesa. Boleh antar saya ke ruangannya?" tanya Raka dengan logat formal. "Tapi keadaan Anda belum begitu pulih." jawab suster, ragu. "Tolong antarkan saya ke sana." pinta Raka sekali lagi. Sebenarnya dia bisa pergi sendiri, tapi ia takut kepalanya sakit lagi dan berujung pingsan. Suster itu diam sejenak. Tampak berpikir. Hingga akhirnya, ia mengangguk setuju kemudian mengambilkan kursi roda yang ada di luar ruangan. Raka menaiki kursi roda dengan dibantu oleh suster tersebut. Sang suster menjalankan kursi roda itu dengan perlahan, namun pasti. Pintu bertuliskan nomor 20 di atasnya itu dibuka oleh sang suster. "Chesa," panggil Raka. Yang punya nama seketika menoleh cepat. Senyum Chesa melebar. Ia hendak berdiri, berlari mendatangi Raka, namun Raka mengarahkan tangan, mengisyaratkan agar Chesa tetap di tempat. "Biar gue yang ke sana." Raka mendorong kursi itu sendiri dengan kedua tangannya. Suster yang tadi mendampingi pun, kini berbalik badan dan memilih untuk menunggu di luar. Raka kontan memeluk Chesa. Chesa tergemap. Bibir yang tadi akan mengatakan sesuatu, kini tertutup rapat. Mengapa Raka tiba-tiba memeluknya? Raka melepaskan pelukan setelah beberapa detik lamanya. "Lo pasti terluka parah ya? Maafin gue udah buat lo celaka." ujarnya menyesal. "Kepala lo..." Chesa berusaha untuk memegang perban itu, tapi ia menurunkan kembali lengannya. Luka itu pasti sakit jika dipegang. "Maafin gue. Selama beberapa bulan ini, gue nggak jagain lo. Maaf." Raka menunduk. Kerutan heran terbentuk di kening Chesa. Muncul dugaan baik di benaknya. "Maksud lo apa, Raka?" "Raka sahabat kecil lo udah kembali. Raka yang sayang sama lo udah kembali. Raka yang janji jagain lo walaupun lo udah punya suami, sekarang udah kembali." jawab Raka bertubi-tubi. "Apa... Ingatan--" "Ingatan gue udah kembali." sambung Raka. Chesa terbelalak. Matanya melotot seakan mau keluar. Ia juga membekap mulutnya sendiri. "Ya ampun... Ini beneran? Raka gue..." air mata menetes. Ini kejadian yang sudah lama ia inginkan, namun mengapa ia malah menangis?! Jemari Raka terulur, mengusap pipi Chesa. "Udah cukup lo nangis selama ini." "Ini gue terharu..." Chesa terkekeh. "Siku sama kaki lo... Maaf," Lagi-lagi Raka tertunduk menyesal. "Nggak apa-apa. Gue senang. Berkat kecelakaan ini, ingatan lo kembali." Chesa tersenyum sendu. "Hana sama Keisha. Seberapa jauh mereka gangguin lo?" tanya Raka. Tersirat amarah dari kedua bola matanya. "Mereka... baik kok." "Baik apanya? Gue tau. Mereka malah semakin menjadi kan?" "Kalau lo udah tau, ngapain tanya?" secara tidak langsung, Chesa mengiyakan pertanyaan Raka.Ia memang tidak menyangkal akan hal itu sebab ketakutan itu masih ada. Entah sampai kapan. Yang jelas Chesa belum berani sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD